Semua orang setuju bahwa tidak ada agama yang memberikan ajaran kepada pengikutnya untuk melakukan kekerasan serta kejahatan. Segala gerakan radikalisme sangat bertolak belakang pada nilai agama yang dalam hakikatnya menekankan kebaikan bagi semua makhluk-Nya. Bukan hanya untuk manusia yang merupakan mikrokosmos, namun juga untuk semua makhluk-Nya yang juga merupakan makrokosmos (Musa, 2014: 126).
Manusia dituntut agar dapat menjaga hubungan yang harmonis antara makrokosmos dan mikrokosmos. Ketika terjadi ketidakseimbangan antara keduanya, alam dan kehidupan manusia pada gilirannya terancam serius. Ketidakharmonisan dapat mengakibatkan kotornya tangan manusia yang tidak dapat menghargai kehidupan serta nilai kemanusiaannya. Agama Islam tegas mengutuk segala bentuk kekerasan.
Dalam perjalanan umat manusia, radikalisme seringkali muncul dalam buah pemikiran maupun gerakan (Azra, 1996: 18). Adanya bentuk radikal yang terjadi di masyarakat diikuti oleh beberapa akar penyebab. Salah satu akar permasalahan utamanya, jika ditilik dari kajian Studi Islam, yakni pemahaman yang kurang benar terkait hakikat ajaran agama Islam serta pemahamannya yang tekstual yang parsial dan dangkal terhadap teks-teks agama (Al-Qaradhâwî, 1989: 59-67).
Dalam etimologisnya, istilah radikalisme asalnya dari bahasa latin, radix, dengan artinya akar. Radikalisme yakni suatu paham atau perbuatan yang ada dalam diri manusia ataupun sekelompk manusia yang ingin adanya perubahan sosial dan politik melalui bentuk kekerasan. Istilah tersebut mulanya digunakan di suatu kajian sosial budaya, tetapi seiring perkembangannya kerapkali dikaitkan dengan persoalan politik dan agama (Umar, 2014: 292).
Azyumardi Azra, yang merupakan cendikiawan Muslim Indonesia menjelaskan radikalisme yakni suatu ekstrim dari revivalisme. Kebangkitan itu sendiri merupakan salah satu bentuk penguatan batin dalam Islam yang berarti menerapkan iman hanya pada diri sendiri. Meskipun radikalisme umumnya berwawasan keluar, kemudian arti lain kerapkali disebut dengan fundamentalisme (Azra, 1999: 46).
Para fundamentalis telah mereduksi, mendistorsi, serta menjustifikasi terhadap pemahaman teks-teks keagamaan. Bahwa pemikiran dan gerakannya yang radikal adalah bagian daripada legitimasi tindak kekerasan dalam Islam dan dianggap sebagai jihâd fî sabîlillâh. Oleh karenanya, diperlukan peninjauan ulang terhadap pemaknaan konsep jihad secara utuh dan komprehensif, tidak hanya secara tekstual, namun juga kontekstual.
Berkaitan dengan peninjauan ulang terhadap pemaknaan jihad di al-Qur’an, sebetulnya istilah jihad mempunyai beragam makna. Pemaknaan jihad dari yang membela agama, mengangkat senjata, hingga jihad melawan hawa nafsu. Yang menarik adalah pembacaan Murtadha Muthahari dalam memahami konsep jihad. Menurutnya, ada empat kelompok dan tahapan dalam membaca ayat-ayat perang dan jihad dalam al-Qur’an.
Sebagaimana Ayang Utriza mengutip pendapat Muthahari (Yakin, 2016: 209) bahwa: pertama, ayat-ayat yang memerintahkan perang tanpa syarat untuk selamanya. Kedua, ayat-ayat yang memerintahkan perang dengan beberapa syarat. Ketiga, ayat-ayat tersebut adalah dakwah Islam yang tidak diiringi dengan senjata. Keempat, ayat-ayat yang menjelaskan Islam sebagai agama yang sarat dengan kedamaian.
Dari pembacaan Muthahari di atas, tampak poin dua sampai empat lebih tepat untuk konteks kekinian, terutama di Indonesia, dimana Islam dan seluruh agama lainnya menjunjung tinggi pesan-pesan damai. Karenanya ayat-ayat jihad, sebagaimana digambarkan poin pertama, sudah seharusnya dikesampingkan, kecuali untuk keadaan tertentu dan darurat seperti di Palestina. Jihad di Indonesia sudah bukan lagi dengan jiwa, melainkan dengan harta, perbuatan yang baik, dan ilmu pengetahuan.
Sehingga menurut hemat penulis, pada konteks hari ini, ayat-ayat pedang tidak lagi memiliki legitimasi otentik dari teks al-Qur’an maupun fakta sejarah Islam. Sebab konteks peperangan pada zaman Rasulullah Saw., semuanya bersifat devensive, bukan ofensive. Konteks pada saat itu sejatinya hanya bersifat perlindungan dan perdamaian. Inilah salah satu prinsip ajaran Islam yang juga sebagai pembawa rahmat bagi seluruh alam (Azra, 2008: 223).
Dalam konteks global, paham-paham radikal seringkali berujung pada aksi-aksi teror. Fenomena global ini dapat dikaitkan dengan pembantaian suku Rohingya oleh nasionalis Buddha dan kelompok militer, serta penembakan brutal terhadap umat Muslim oleh warga Australia. Artinya, radikalisasi yang mengarah pada aksi terorisme sangat mungkin terjadi pada kelompok sosial manapun di luar kelompok Muslim.
Aksi radikal terorisme yang identik dengan kekerasan bahkan pembantaian tidak semata-mata telah selesai dalam dunia nyata. Ia terus berkembang pesat dan senantiasa mengalami pergeseran paradigma. Di dunia maya misalnya, yang seringkali disebut dengan era digital, arus perkembangan paham-paham radikal justru mendapat ruang yang lebih luas bahkan tersebar dan diterima lebih cepat oleh masyarakat di tengah era digital.
Ambillah contoh, seringkali dijumpai oleh segelintir ustad medsos yang secara vokal menyebarkan paham-paham radikal di berbagai media digital. Mereka dengan bebas menuangkan gagasannya yang memicu pada pemecah belah antar umat beragama atau bahkan antar sesama bangsa. Narasi-narasi kebencian yang digaungkan tidak lain adalah seperti wacana intoleransi, anti NKRI dan pancasila.
Oleh karena itu, persoalan penafsiran al-Qur’an yang biasanya menyangkut ayat-ayat radikal selalu menjadi penting. Tidak dapat dipungkiri bahwa hasil tafsir al-Qur’an juga berperan penting dalam memberikan warna pemahaman Islam kepada masyarakat. Dialog tentang urgensi nilai-nilai Islam moderat dan nilai-nilai mempertahankan NKRI merupakan salah satu upaya memerangi radikalisme dalam pemikiran dan gerakan.
Isu radikalisme yang terus berkembang di era digital atau dunia maya, juga harus segera di antisipasi dan dicarikan solusi. Kajian-kajian tafsir al-Qur’an di media sosial, seyogianya terus ditumbuh-kembangkan di masyarakat, dengan basis elaborasi penafsiran konvensional dan modern-kontemporer. Sebab al-Qur’an bersifat shâlih likulli zamân wa makân, maka penafsirannya juga bersifat objektif dan kontekstual, tidak dangkal dan parsial.
Upaya-upaya tersebut adalah bagian daripada “melek digital” atau bisa juga disebut sebagai penanaman literasi digital. Jika masyarakat bijak dalam pemanfaatan dunia digital, tentu akan membuahkan hasil yang sangat positif dan luar biasa. Memperkenalkan berbagai macam metode penafsiran al-Qur’an, tentu juga akan dapat menambah wawasan pengetahuan dalam memahami isi kandungan al-Qur’an.
Dengan begitu, era digitalisasi menjadi suatu perubahan zaman yang sangat membantu dalam menyebarluaskan produk-produk tafsir. Dampak perubahan zaman ini pun pada gilirannya mengajak sederet kelompok tertentu untuk menciptakan penafsiran yang moderat dan progresif, agar tidak muncul asumsi-asumsi negatif bahwa Islam adalah agama yang keras dan sempit.
Di sisi lain, pemerintah juga harus segera melakukan regulasi untuk dapat mencegah penyebaran konten-konten yang bersifat radikal. Contohnya ISIS, ajakannya untuk bergabung dengan kelompok militan melalui media sosial sudah memakan banyak korban, terutama di kalangan pemuda dan pemudi. Oleh karenanya, peran pemerintah menjadi sangat penting dalam menanggulangi isu radikalisme di era digital. Jika tidak, paham-paham radikal akan menjadi bom waktu bagi masa depan bangsa dan negara.