Di era ‘melek’ digital ini pergeseran paradigma dalam beragama merupakan hal yang tak dapat di hindarkan lagi, sebagaimana yang di istilahkan Kuntowijoyo sebagai “muslim tanpa masjid”. Jargon ini merupakan hasil pengamatannya terhadap gejala sosial-keagamaan kontemporer. Kesalehan yang pada awalnya identik dengan rumah ibadah bergeser ke internet, atau dalam arti lain dari masjid ke media sosial.
Garry Bunt seorang dosen senior studi Islam di university of Wales mengistilahkan fenomena tersebut dengan cyber islamic environment/CIE (lingkungan siber Islam). Menurut Bunt, teknologi dan media digital saat ini banyak dimanfaatkan kelompok jihadis/radikal untuk memobilisasi korban, mulai dari perekrutan, pendanaan, bahkan penyebaran konten-konten berbasis radikal (Garry Bunt, 2018).
Kehadiran teknologi digital diakui telah memberikan warna baru bagi kajian keberagamaan. Namun otoritas keagamaan digital/online sangat berpotensi merubah pemahaman dan ekspresi keberagamaan seseorang. Dalam konteks kajian Islam, diskursus jihad merupakan isu yang tiada habis-habisnya dibahas, baik di kalangan akademisi, agamawan, dan lainya. Apalagi ketika wajah e-jihad dan cyber jihad menjelma menjadi fenomena yang aktual saat ini.
Jihad dan E-Jihad dalam Narasi Radikalis
Jihad dalam narasi radikalis sering kali diartikan sebagai berjuang/berperang di jalan Allah melawan musuh-musuh Islam. Salah satu ayat al-Qur’an yang menjadi legitimasi kebenaran berjihad dalam arti “perang terhadap musuh-musuh Islam” adalah QS Muhammad: 4:
Maka, apabila kamu bertemu (di medan perang) dengan orang-orang yang kufur, tebaslah batang leher mereka. Selanjutnya, apabila kamu telah mengalahkan mereka, tawanlah mereka. Setelah itu, kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan. (Hal itu berlaku) sampai perang selesai. Demikianlah (hukum Allah tentang mereka). Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia menolong (kamu) dari mereka (tanpa perang). Akan tetapi, Dia hendak menguji sebagian kamu dengan sebagian yang lain. Orang-orang yang gugur di jalan Allah, Dia tidak menyia-nyiakan amal-amalnya.
Ayat di atas sangat potensial melahirkan distorsi pemahaman ketika hanya dipahami secara tekstual. Padahal realitasnya al-Qur’an tidak turun dalam ruang yang kosong, tentu ada sebab yang melatarbelakanginya. Namun bagi aktivis militan fundamentalis, analisa konteks sejarah dan signifikansinya tidak dapat di terima sebab mereka menolak penafsiran yang kritis apalagi bernuansa hermeneutik.
Fenomena e-jihad bisa dikatakan embrio yang lahir dari konsep cyberreligion. Konsep ini menggambarkan pergeseran preferensi keberagamaan masyarakat saat ini yang masif mencari dan mengakses konten keagamaan di internet (Musyaffa, 2020). Artinya, aktualisasi keagamaan secara online telah mengilhami hadirnya konsep e-jihad.
E-jihad secara pengertian merujuk kepada upaya berjihad yang dilakukan di dunia digital. Bentuk dan media yang digunakan pun sangat beragam, mulai dari video, foto, film, situs web, dan sebagainya (Setia, 2022). Oleh karena itu pemaknaan ayat-ayat jihad dalam konteks ini perlu bahkan urgent untuk dinarasikan kembali dengan perspektif Islam Wasathiyah.
Memahami Islam Moderat: Antara Realitas dan Idealitas
Kata moderat berasal dari bahasa Latin moderatio yang memiliki makna ke-sedang-an (tidak lebih dan tidak kurang). Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) terdiri dari dua pengertian, yakni: pertama, pengurangan kekerasan. Kedua, penghindaran keekstreman. Adapun Islam moderat dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah Islam wasathiyah (RI, 2019).
Istilah tersebut jika dikaji secara bahasa memiliki dua padanan kata, “Islam” dan “Wasathiyah”. Namun secara khusus tulisan ini hanya berfokus pada term wasathiyah. Dalam Maqayishul Lughah, Ibnu Faris menjelaskan bahwa rangkaian huruf waw-sin-tho menunjukkan makna adil dan pertengahan. Term wasathiyah sebagaimana firman Allah pada QS al-Baqarah: 143 dipahami sebagian mufassir sebagai umat pertengahan, umat terbaik, umat yang paling mulia dan bermartabat (Musyaffa, 2020).
Berdasarkan pemaknaan tersebut, maka ketika kata ‘Islam’ dipadukan dengan term ‘wasathiyah’. Ia dapat diartikan sebagai keseimbangan antara keyakinan yang kokoh dengan sikap inklusif dan toleran yang dibangun melalui nilai-nilai luhur Islam. Keseimbangan yang diusung Islam wasathiyah dapat dilihat dari kemampuannya menyinergikan antara wahyu dan akal, spiritual dan material, teks dan konteks, individu dan kelompok, dan berbagai keseimbangan yang mengantarkan pada al-shirat al-mustaqim (Agus Zaenul Fitri, 2015).
Penggunaan istilah wasathiyah sebagai representasi yang merefleksikan Islam rahmatan lil ‘alamin pada hakikatnya bukan istilah baru, alih-alih mengambil terminologi Barat. Sebab dalam rahim literatur Islam sendiri, esensi ajaran keseimbangan sangat banyak ditemukan. Dengan demikian Islam wasathiyah dapat di maknai sebagai Islam yang berada di antara realitas dan idealitas. Idealnya Islam memiliki cita-cita yang melangit untuk menyejahterakan manusia di dunia dan akhirat. Namun ketika di hadapkan pada realitas, maka ia bersedia untuk membumi.
Digitalisasi Tafsir Ayat-ayat Jihad dalam Bingkai Tafsir Moderat
Transformasi tafsir dari media tradisional ke media modern merupakan suatu keniscayaan. Tafsir yang identik dengan kajian keagamaan, kajian tokoh, kajian sejarah seringkali dipandang ‘horor’ bagi milenial karena desain klasiknya. Artinya saat ini degradasi keilmuan yang merujuk pada literatur orisinil/murni, kalah dengan literatur-literatur yang bersifat praktis.
Digitalisasi tafsir perlu diakui memunculkan berbagai corak dan ragam dalam penafsiran al-Qur’an. Keberagaman tersebut seharusnya menjadi khazanah keilmuan bagi umat Islam untuk mengetahui setiap perbedaan dan corak dari masing-masing mufassir (Mubarok & Romdhoni, 2021). Namun faktanya perbedaan tersebut justru menciptakan sebuah (mis)konsepsi ketika satu penafsiran dijadikan legitimasi klaim kebenaran dan alat menyalahkan yang lain, bahkan berujung pada sikap saling mengkafirkan.
Hilangnya otoritas keilmuan dalam menafsirkan al-Qur’an di media digital memicu kebebasan setiap individu untuk mengekspresikan semangat keberagamaannya. Di sinilah letak pentingnya digitalisasi tafsir yang moderat sebagai upaya menangkal perilaku dan pemahaman yang tidak sejalan dengan esensi Islam.
Abdul Mustaqim, guru besar kajian Tafsir UIN Sunan Kalijaga, menegaskan bahwa penafsiran al-Qur’an dan hadis hendaknya mengedepankan semangat moderasi. Menurutnya ini penting dilakukan, sebab tafsir al-Qur’an yang moderat ampuh dalam mencegah penyebaran paham radikalisme, terkhusus di media digital.
Muncul sebuah pertanyaan, bagaimana metodologi tafsir yang moderat itu? Dalam pandangan penulis terdapat beberapa metodologi yang relevan dalam menafsirkan al-Qur’an dengan semangat moderasi, di antaranya metode Tafsir Maqashidi-nya Abdul Mustaqim dan Ma’na Cum Maghza-nya Sahiron Syamsuddin (Saihu, 2021). Kedua metodologi penafsiran tersebut mampu membawa nilai moderasi karena berupaya menengahi ketegangan epistemologi antara aliran tafsir tekstualis dan liberalis.
Dua metodologi tersebut dapat menjadi alternatif dalam menarasikan kembali pemahaman terhadap ayat-ayat jihad yang membawa nilai moderasi di media digital. Sebab term jihad seringkali menjadi konten yang aktual di perbincangkan. Penafsiran ekstrem baik kiri dan kanan maupun moderat turut berkontestasi mengisi ruang digitalisasi keberagamaan saat ini. Di sinilah peran penting masyarakat milenial saat ini, yaitu untuk menjadi konsumen sekaligus kontributor narasi-narasi yang mengedepankan substansi moderasi. Saya rasa di sinilah letak e-jihad yang sebenarnya.
Perlu ditekankan bahwa jihad itu menghidupkan bukan mematikan. Umat Islam sebagai penganut agama yang rahmatan lil ‘alamin, hendaknya meletakkan jihad sesuai kondisi dan konteksnya. Jihad seorang mahasiswa adalah menuntut ilmu. Jihadnya seorang pemimpin adalah berlaku adil. Jihadnya karyawan adalah karyanya yang baik. Artinya jihad tidak hanya di maknai sebagai perang melawan musuh-musuh Islam, lebih luas dari itu jihad bermakna kesungguhan pada aspek apapun selama ia dilakukan karena Allah. Itulah yang di maksud haqqa jihadihi (sebenar-benarnya jihad karena-Nya).