Perkembangan teknologi dan informasi kian meningkat dengan hadirnya berbagai media. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia dalam surveinya terkait jumlah pengguna internet di seluruh Indonesia mencapai angka 210,02 juta jiwa atau sekitar 77,02%. Jumlah ini naik 4% dari jumlah pengguna pada tahun 2020 (APJII, 2022). Dan rata-rata alasan mereka menggunakan internet adalah untuk mengakses sosial media.
Meningkatnya jumlah pengguna internet tidak lain adalah kebijakan pemerintah dalam program percepatan transformasi digital. Presiden Joko Widodo dalam kesempatannya saat meluncurkan Program Konektivitas 2021 dan Prangko Seri Gerakan Vaksinasi Nasional COVID-19 menyampaikan bahwa transformasi digital merupakan solusi cepat dan strategis untuk membawa Indonesia maju di masa depan.
Lebih lanjut, hal ini semakin diteguhkan pada saat perhelatan KTT G20 di Bali, bahwa yang menjadi titik fokus utama transformasi digital diantaranya, Pertama, kesetaraan akses digital. Kedua, literasi digital. Ketiga, lingkungan digital yang aman. (Kemenkeu.go.id, 2023)
Banjirnya informasi di era digital 5.0 (society) semakin membuat kaburnya kebenaran (dikenal dengan istilah post-truth), dan memperkeruh masyarakat dengan kepanikan. Jika melihat data di awal, pada dasarnya bisa dikatakan bahwa negara kita termasuk kategori melek digital. Meskipun masih ada beberapa catatan.
Diantaranya, value perkembangan teknologi digital semakin jauh bertolak dari fungsi sebenarnya, yang pada awalnya sebagai sarana komunikasi dan berbagi informasi, menjadi sarana saling ujar benci. Tidak hanya itu, kejahatan digital juga ikut bertransformasi, yang pada awalnya konvensional menuju pada aspek ruang-ruang digital. Fenomena inilah yang disebut sebagai cybercrime (Arifah, 2011:185).
Melihat fenomena tersebut, masyarakat pada era digital sekarang hidup dengan sangat mengkhawatirkan, dan oleh karenanya setidaknya membutuhkan rest area untuk refleksi dengan istirahat sejenak dari kebisingan informasi dan ancaman kejahatan komunikasi.
CyberCrime: Ancaman Baru Transformasi Digital
Kejahatan digital menjadi problem yang terus diwaspadai di era transformasi digital. Peluncuran hasil “Studi Indeks Literasi Digital Nasional 2022” oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pada (1/2/2023) di Jakarta, menunjukkan bahwa terjadi kenaikan indeks literasi digital Indonesia menjadi 3,54 poin (dalam skala 5). Jumlah ini naik 0,005 poin dibandingkan pada tahun sebelumnya, 2021.
Pengukuran indeks ini melihat pada 4 pilar utama: kecakapan digital, etika digital, keamanan digital, dan budaya digital. Dalam 4 aspek pilar ini, indeks keamanan digital (digital safety) dinilai paling rendah di antara lainnya dengan indeks 3,12 poin. Disusul kecakapan digital (digital skill) (3,52 poin), etika digital (digital ethics) (3,68 poin), dan budaya digital (digital culture) (3,84 poin). (Kompas, 2023).
Dari data tersebut, nampak bahwa meskipun budaya digital (digital culture) menempati posisi teratas, akan tetapi pilar-pilar keseimbangan keamanan digital (digital safety) masih menempati pada posisi juru kunci. Artinya masih ada ketimpangan dan celah dalam hal transformasi digital.
Diakui atau tidak, wujud ancaman cybercrime telah masuk pada sendi-sendi masyarakat kita. Kasus hoaks, sebaran pornografi, cyberbullying, penipuan dengan meminta-minta, dan pelanggaran privasi seringkali terjadi di saat masih minimnya kesadaran literasi. Problem kepanikan menjadi masalah utama korban yang terjebak pada sebuah kejahatan labirin digital. Terlebih aspek ekonomi yang seringkali menjadi sasaran empuk pelaku.
Setidaknya ada dua modus utama pelaku cybercrime yakni, technical hacking dan social engineering (Kompas, 2023). Modus pertama dilakukan dengan meretas system keamanan. Aspek ini marak terjadi di hampir seluruh bank dan jasa financial technology (fintech). Kerugian disinyalir dapat mencapai miliaran rupiah dalam setiap aksinya. Mirisnya, seringkali korban tidak dapat berbuat banyak jika sudah terkena kejahatan digital ini.
Modus kedua yang tidak kalah mengerikan adalah social engineering, di mana serangan pelaku cybercrime seringkali memakai phising. Yaitu dengan cara mengirim e-mail berisi link ke suatu situs dan penerimanya tanpa disadari terjerembab memasukkan user ID dan password, sehingga otomatis data-data privasi ter-hack oleh pelaku cybercrime.
Mengamati hal ini, perlu diingat kembali bahwa sesungguhnya kemajuan teknologi ini tak lain adalah anugerah dari Allah SWT yang secara tegas dijelaskan dalam QS. An-Nahl [16]: 78, Allah berfirman:
وَاللّٰهُ اَخْرَجَكُمْ مِّنْۢ بُطُوْنِ اُمَّهٰتِكُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ شَيْـًٔاۙ وَّجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْاَبْصَارَ وَالْاَفْـِٕدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ ٧٨
Artinya: Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani agar kamu bersyukur. (QS. An-Nahl [16]: 78)
Imam Abu Ja’far at-Thabari dalam Jami’ul Bayan fi Ta’wil al-Qur’an mengisyaratkan kata (لا تعلمون) la ta’lamuna dengan makna lain (لا تفقهون), artinya Allah SWT menganugerahkan akal supaya kamu bisa memahami sesuatu, dan bisa membedakan antara yang baik dan benar. (Ibn Katsir, 1999: 589). Senada dengan itu Muhammad Thahir Ibn ‘Asyur menafsiri ayat ini sebagai tanda bahwa manusia yang sebelumnya tiada mengerti apa-apa, menjadi mengetahui. Dan penciptaan ini merupakan pertanda supaya kita dapat bersyukur kepada Allah SWT atas ke-Esaan-Nya. (Ibn ‘Asyur, 1984: 231)
Akan tetapi, kadangkala anugerah ini disalahgunakan untuk tindak kebohongan dan kejahatan. Hal ini seperti termaktub dalam ayat lain, bahwa Allah SWT melarang manusia untuk menunjukkan perbuatan, perkataan dengan maksud dusta. Terlebih dengan modus dalam melaksanakan kejahatan digital.
فَمَنْ اَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرٰى عَلَى اللّٰهِ كَذِبًا اَوْ كَذَّبَ بِاٰيٰتِهٖۗ اِنَّهٗ لَا يُفْلِحُ الْمُجْرِمُوْنَ ١٧
Artinya: Maka, siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah atau mendustakan ayat-ayat-Nya? Sesungguhnya para pendurhaka itu tidak akan beruntung.
Jika dikaji secara seksama, ayat ini mengisyaratkan bahwa sikap manusia yang dibangun di atas landasan kebohongan terhadap Allah itu seperti orang yang orientasinya hanya untuk menuruti nafsu duniawi sesaat. Budaya seperti itu merupakan kepalsuan yang hakiki, dan kebudayaan (bohong) tersebut sangat rentan terjadi di media sosial.
Dari sudut pandang teoritis-normative, sesungguhnya al-Quran telah menjelaskan tentang ancaman-ancaman bagi pelaku pembohong. Pelaku pembohong disini dapat diartikan sebagai pembuat hoaks, disinformasi, hingga penipuan bermodus link pshing. Dengan demikian, tindakan cybercrime sudah selayaknya dikecam. Hal ini dapat menimbulkan destruksi dalam pola sosial di masyarakat digital.
Dalam tataran praktis, untuk membangun transformasi digital yang disemarakkan oleh pemerintah dalam menyongsong masa depan Indonesia, Digital Literacy sesuai panduan Al-Qur’an harus diteguhkan, supaya tidak hanya sekedar menjadi utopia transformasi belaka tanpa diimbangi terbentuknya masyarakat digital yang berkarakter dan beretika sehingga berimplikasi pada lingkungan digital yang aman dan damai.
Selain itu, pentingnya penguatan serta sosialisasi regulasi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU ITE perlu untuk terus ditingkatkan, utamanya ke daerah-daerah minim literasi digital. Dengan demikian, kecemasan sosial yang ditimbulkan dari tindakan cybercrime dapat teratasi. Di tambah dengan upaya memperbanyak konten-konten produktif sebagai langkah preventif mitigasi tindak kebohongan dan kejahatan digital.
Thanks for sharing. I read many of your blog posts, cool, your blog is very good.