Manusia (kita) berada di abad 21 yang sarat dengan isu-isu kontemporer, baik di tatanan global maupun lokal. Lima isu yang paling vital dewasa ini adalah perihal demokrasi, globalisasi, gender, HAM, dan ekologi. Selanjutnya, isu ekologi juga dijadikan salah satu isu aktual di era kontemporer yang belakangan telah marak diperbincangkan (Abdillah, 2001: 23). Masyarakat modern saat ini sedang merasakan adanya krisis ekologi yang cukup serius.
Kerusakan alam seperti banjir, tanah longsor, penambangan liar, perubahan iklim, penggundulan hutan, dan pemanasan global yaitu bukti manusia turut memberikan kontribusi terhadap rusaknya alam (QS. al-Rûm [30]: 41). Sebab krisis tersebut meliputi seluruh sistem ekologi dan menciptakan sebuah ekosistem yang saling memberikan pengaruh guna keberlangsungan hidup (QS. al-Qashash [28]: 77, QS. Âli ‘Imrân [3]: 190-191, QS. Hûd [11]: 7).
Krisis lingkungan ini pada gilirannya adalah sebuah refleksi atas krisis spiritual manusia modern yang sudah mengesampingkan eksistensi Tuhan dalam keterkaitannya pada alam. Manusia modern telah mereduksi makna alam. Sifat eksploitatif dan destruktif yang dimiliki manusia modern merupakan bukti kegagalannya dalam memahami hakikat alam. Faktanya, alam disebut menjadi suatu hal yang tidak mempunyai nilai spiritual dan nilai intrinsik.
Hal tersebut seyogianya dijadikan sebagai motivasi serta evaluasi untuk pengkaji al- Qur’an agar melakukan perumusan suatu produk tafsir ekologis untuk keberlangsungan ekologi. Lebih dari itu, upaya menciptakan paradigma tafsir ekologis menjadi suatu relevansi untuk memperkaya corak penafsiran al-Qur’an, serta memberikan pemahaman terhadap masyarakat modern bahwa Islam adalah agama yang ramah lingkungan (Mustaqim, 2019: 71).
Jika ditilik kembali perkembangan ragam corak untuk menafsiran al-Qur’an, tafsir dengan corak ekologis ini sebetulnya jarang diminati dan belum begitu mapan seperti halnya corak fikih, filsafat, sufi, pendidikan, kebahasaan, sosial-kemasyarakatan, dan lain-lainnya (Dimyathi, 2016: 83). Ini dikarenakan bentuk kajian dalam bidang sains, teknologi, dan sosial terlalu mendominasi pada acuan paradigma teosentris dan antroposentris.
Kehadiran tafsir ekologis merupakan salah satu bentuk respon agama terhadap lingkungan. Sebab upaya melestarikan lingkungan tidak lagi dijadikan permasalahan yang terpisah dari agama. Tafsir ekologis sendiri yaitu suatu cara pandang dalam tafsiran al-Qur’an, yang mana objek kajiannya yaitu ayat-ayat yang membahas tema ekologi dan disertai dengan keberpihakan mufassir pada persoalan ekologi.
Dalam tafsir ekologis ini, terdapat satu term yang menjadi konsep lingkungan dalam al-Qur’an, yaitu term al-bî’ah dengan ragam derivasinya (Manzûr, 1997: 27-31), adalah lingkungan sebagai ruang kehidupan (QS. Yûnus [10]: 93, QS. al-A’râf {7}: 74, QS. al-Nahl [16]: 41, QS. Yûsuf [12]: 56, QS. al-‘Ankabût [29]: 58). Kendati term tersebut hanya sebatas bentuk derivasi, setidaknya al-Qur’an menanamkan spirit kepedulian terhadap persoalan lingkungan.
Secara terminologis, kata al-bî’ah kerap didefinisikan sebagai sebuah lingkungan untuk manusia hidup di dalamnya dan sebagai tempat untuk kembali. Dalam arti yang lebih luas, lingkungan juga mencakup alam semesta–bersifat statis, ataupun mencakup lingkungan hidup di antaranya tanaman, hewan, manusia–yang sifatnya dinamis (Al-Qaradhâwî, 2000: 12).
Berkaitan dengan kepedulian terhadap lingkungan, al-Qaradhâwî lebih lanjut menegaskan bahwa konteks tersebut merupakan bagian daripada upaya untuk menciptakan kemaslahatan–baik melalui menarik manfaat (jalb al-manâfi’) atau melakukan mencegahan pada suatu kerusakan (dar’u al-mafâsid). Artinya, kemaslahatan bisa terbentuk jika berpegang teguh pada prinsip maqâshid al-syarî’ah yang dirumuskan pada kulliyât al-khams (Al-Syâthibî, 2003: 8).
Bahwa kemudian dapat dikatakan, dengan menjaga kelestarian lingkungan hidup (hifz al-bî’ah), adalah menjadi sebuah tuntutan sebagai perlindungan lima tujuan syari’atnya. Dengan demikian, segala tindak-tanduk manusia yang berfokus pada kerusakan lingkungan itu sama dengan tindakan mengancam jiwa, akal, harta, nasab, dan agama (Dzajuli, 2006: 165).
Oleh karenanya, habl ma’a al-bî’ah sudah seyogianya terus didengungkan kepada khalayak masyarakat luas, sama halnya dengan slogan-slogan yang sering kita dengarkan selama ini seperti habl min Allah dan habl min al-nâs. Dalam arti lain, trilogi atas relasi antara Tuhan sebagai Pencipta, sedangkan manusia dan alam adalah sebagai ciptaan serta manifestasi dari wujud ketuhanan-Nya (Mustaqim, 2019: 71).
Selanjutnya, ada ungkapan menarik dari salah seorang tokoh kontemporer, yakni Sayyed Hossein Nasr, sebagaimana yang telah dikutip oleh Ahmad Sahidah bahwa “untuk berdamai terhadap bumi, manusia perlu berdamai pada langit. Artinya, perdamaian di dalam masyarakat manusia dan pemeliharaan pada nilai-nilai manusia tidak mungkin jika tidak ada perdamaian pada tatanan spiritual serta alamiah” (Sahidah, 2018: 32).
Ungkapan tersebut memperlihatkan hal-hal yang spiritual harus dilakukan tafsiran kembali. Jangan sampai adanya pemahaman yang sempit perihal ketundukan kita kepada Tuhan. Kesalihan (ritual-formal) seseorang belum cukup untuk menuju surga-Nya, karena masih diperlukan ketundukan yang sejati, yaitu ketaatan melalui pengamalan aturan dari Tuhan yang berkaitan dengan kewajiban terhadap manusia dan lingkungan.
Dalam paradigma tafsir ekologis, setidaknya terdapat beberapa prinsip etis-teologis. Pertama, prinsip tauhid. Prinsip ini mengandung makna kesatuan antara Tuhan, manusia, dan alam sehingga relasi antara ketiganya harus seimbang. Ketiadaan Tuhan dalam relasi ini, akan menyebabkan sekularisme dalam bentuk eksploitatif yang berujung pada krisis ekologi. Sedangkan ketiadaan alam, akan menjadikan manusia miskin pengetahuan dan peradaban (Nafisah, 2017:93).
Kedua, prinsip kedudukan manusia. Prinsip ini menegaskan bahwa manusia menyandang predikat sebagai ‘abdullâh dan khalîfatullâh. Sebagai hamba-Nya, manusia berkewajiban untuk mengabdi (QS. al-Dzâriyât [51]: 56). Sedangkan sebagai wakil-Nya (QS. al- Baqarah [2]: 30), manusia bertugas untuk mengurus serta memakmurkan bumi dengan segala isinya (QS. Hûd [11]: 61). Manusia dituntut untuk selalu menjaga keseimbangan ekosistem.
Ketiga, prinsip amanah. Di sini, manusia mengemban tiga amanah dari Allah, yaitu al- intifa’. Adalah manusia diberikan kewenangan untuk mengambil manfaat dari hasil alam guna kesejahteraan hidup. Selanjutnya ialah al-i’tibâr, adalah manusia berupaya mengambil berbagai pelajaran atau hikmah dari peristiwa-peristiwa alam. Kemudian al-islâh, yakni manusia diwajibkan untuk senantiasa menjaga serta memelihara kelestarian lingkungan.
Beberapa prinsip yang telah disebutkan di atas adalah menjadi bukti bahwa al-Qur’an sangat peduli terhadap isu ekologi. Al-Qur’an secara implisit menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas dan spiritualitas kemanusiaan. Ketiga prinsip tersebut setidaknya menjadi fondasi dalam mencegah krisis lingkungan menurut pandangan al-Qur’an, serta sebagai upaya membangun relasi ideal antara Tuhan, manusia, dan alam.