“Terjemah” Sebagai Model Tafsir di Indonesia: Sebuah Pengantar

Usaha penerjemahan Al-Qur`an di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari usaha menafsirkan Al-Qur`an. Jika dilacak, usaha penafsiran sudah dimulai sejak abad ke-17. Pada awal abad XX telah muncul berbagai karya tentang Al-Qur`an dalam bahasa Indonesia. Salah satu bentuknya adalah berupa terjemahan dengan beberapa anotasi. Dalam sejarahnya, penerjemahan Al-Qur`an mengalami dinamika. Pada masa awal bahkan ada sebagian ulama yang mengharamkan penerjemahan Al-Qur`an, terutama terjemah harfiyah.

Pembahasan tentang terjemah memang masuk dalam satu tema dalam Ulumul Qur`an. Manna al-Qattan (1994) membedakan antara terjemah harfiyah dan tafsiriyah. Terjemah harfiyah adalah mengalihkan lafaz-lafaz dari satu bahasa ke dalam lafaz-lafaz yang serupa dari bahasa lain. Artinya susunan dan tertib bahasa kedua sesuai dengan susunan dan tertib bahasa pertama. Sementara terjemah tafsiriyah adalah menjelaskan makna pembicaraan dengan bahasa lain tanpa terikat dengan tertib kata-kata bahasa asal dan tanpa memperhatikan susunan kalimatnya.

Bacaan Lainnya

Dalam KBBI, ‘terjemah’ berarti menyalin (memindahkan) suatu bahasa ke bahasa lain atau mengalihbahasakan. Definisi ini tidak sepenuhnya tepat apabila dikaitkan dalam konteks terjemah Al-Qur`an di Indonesia. Menurut pandangan penulis, terjemahan Al-Qur`an yang ada Indonesia tidak semata-mata alih bahasa, melainkan ada unsur penafsiran ringkas. Hal tersebut disebabkan pemilihan diksi kata terjemahan merupakan hasil ijtihad penerjemah, dalam rangka menjelaskan maksud dari diksi kata yang ada dalam Al-Qur`an.

Setiap penerjemah memiliki kecenderungan tertentu ketika menjelaskan ayat Al-Qur`an dengan bahasa Indonesia. Tidak heran jika selanjutnya muncul keragaman dalam karya-karya terjemahan tersebut. Gambaran keragaman tersebut dapat dilihat contohnya pada terjemahan doa Nabi Musa yang tercantum dalam QS. Al-Qasas/28: 24 sebagai berikut.

… رَبِّ اِنِّيْ لِمَآ اَنْزَلْتَ اِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيْرٌ ٢٤ ( القصص/28: 24)

  1. Terjemah Departemen Agama (1971): Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.
  2. Terjemah Hamka (1983): Ya Tuhan! Sesungguhnya aku ini sangatlah memerlukan anugerah kebajikan dari Engkau!
  3. Terjemah M. Quraish Shihab (2002): Tuhanku, sesungguhnya aku terhadap apa yang telah Engkau turunkan kepadaku sangat fakir.
  4. Terjemah Muhammad Thalib (2011): Wahai Tuhanku, sungguh aku lapar, aku sangat membutuhkan rezeki dari sisi Engkau.
  5. Terjemah Kementrian Agama (2019): Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan suatu kebaikan (rezeki) yang Engkau turunkan kepadaku.

Titik perbedaan dalam terjemahan-terjemahan tersebut yang paling menonjol adalah pada kata khair. Terjemah Depag memilih diksi terjemahan “sesuatu kebaikan” dan Hamka menerjemahkan dengan “anugerah kebajikan”. Terjemahan harfiah dari kata khair justru tidak ditemukan dalam terjemah Quraish Shihab. Pada terjemahan Kemenag kata khair diartikan “suatu kebaikan”, lalu diberi tambahan penjelasan di dalam kurung berupa kata “rezeki”. Berbeda dengan itu Muhammad Thalib langsung menyebut kata “rezeki”, tanpa mencantumkan arti khair sebagai “kebaikan”. Tambahan kalimat “sungguh aku lapar” juga menjadi perbedaan mencolok antara terjemahan Muhammad Thalib dengan model terjemah lainnya. Keragaman tersebut membuktikan adanya unsur tafsir yang dimasukkan penerjemah. Tidak hanya soal gaya pemilihan diksi semata.

Terjemah ala Muhammad Thalib memang diklaim olehnya sebagai model terjemah tafsiriyah. Karya tersebut menyusul setelah kritiknya terhadap terjemah Al-Qur`an oleh Kemenag RI yang dianggap harfiyah. Berikut ini penulis tampilkan perbedaan terjemah antara Muhammad Thalib dengan Depag dan Kemenag ketika menerjemahkan QS. at-Taubah/9: 60 tentang kelompok yang berhak menerima zakat.

اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعٰمِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغٰرِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ ٦٠ ( التوبة/9: 60)

  1. Terjemah Depag: Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatau ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. *Catatan Kaki [647]: Pengurus zakat: orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat.
  2. Terjemah Kemenag (2019): Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para amil zakat, orang-orang yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) para hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang-orang yang sedang dalam perjalanan (yang memerlukan pertolongan), sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.
  3. Terjemah Muhammad Thalib (2011): Semua harta zakat hanyalah dibagikan untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, orang-orang yang mendapat tugas dari negara untuk memungut dan membagikan zakat, orang-orang yang hatinya tertarik kepada Islam, pembebasan budak, orang-orang yang terlilit utang, perjuangan di jalan Allah, dan orang-orang yang terlantar dalam perjalanan. Itulah syari’at Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Titik perhatian pada dua terjemahan di atas dapat dilihat pada penerjemahan kata ‘âmilîn sebagai salah satu pihak yang berhak menerima zakat. Depag menerjemahkan dengan “pengurus zakat”, lalu memberi catatan kaki dengan penjelasan “orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat”. Tidak jauh berbeda, Kemenag justru menerjemahkan dengan kata “amil zakat”. Istilah “amil” telah diserap ke dalam bahasa Indonesia (KBBI) dengan pengertian “pembantu tidak tetap pada kantor urusan agama dalam hal pernikahan dan hal-hal yang berkenaan dengan urusan agama.” Sementara itu Muhammad Thalib menerjemahkan dengan “orang-orang yang mendapat tugas dari negara untuk memungut dan membagikan zakat”.

Menurut Muhammad Chirzin (2016) terjemah ‘âmilîn dengan pengurus-pengurus zakat yang diperjelas dengan kalimat orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat dalam terjamah Depag sudah cukup. Artinya tidak perlu ditambahkan bahwa tugas itu dari negara. Di dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia, amil zakat itu tidak hanya pihak yang ditugaskan oleh negara. Ia bisa berasal dari kalangan masyarakat, semisal ormas Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama dan Persatuan Islam, atau lainnya. Dengan demikian, Chirzin menilai terjemah Muhammad Thalib tidak lebih baik, lebih benar dan lebih sempurna.

Diskusi di atas membuktikan bahwa terjemah Al-Qur`an di Indonesia tidak semata-mata alih bahasa. Bahkan ketika suatu terjemahan dianggap harfiyah, ternyata justru terdapat implikasi tafsir di dalamnya. Dengan demikian, karya terjemah dapat dikategorikan sebagai model tafsir ringkas. Hal ini menjadi kekayaan intelektual dalam khazanah tafsir Al-Qur`an di Indonesia. Terakhir, analisis dan catatan kritis Chirzin sebelumnya tidak hanya menjadi bantahan atas klaim Thalib, namun juga memperlihatkan bahwa kajian seputar “terjemah” khususnya dalam kesejarahan kajian tafsir Indonesia masih sangat menarik dan potensial untuk diteliti dan dikomentari.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *