Muhammadiyah, Ideologi, dan Intelektualisme

Ideologi versus Intelektualisme

Muhammadiyah bukan hanya sebuah organisasi tetapi sebuah ideologi yang padanya berlandaskan sebuah organisasi yang berjalan dan bertahan melintasi zaman. Ideologi adalah semacam sistem keyakinan, cara berfikir dan kategori apapun yang berjangkauan luas yang menyediakan fondasi bagi program politik dan aksi sosial (Blackburn, 2013: 429).

Bacaan Lainnya

Muhammadiyah pasti demikian. Meski begitu, Muhammadiyah bukan hanya ideologi, tetapi juga gerakan intelektualisme; mengingat Muhammadiyah juga bergerak di bidang pendidikan dan diisi oleh mereka yang berpendidikan. Kenyataan bahwa antara ideologi dan intelektualisme ada ciri berbeda, maka menarik untuk ditelisik bagaimana Muhammadiyah mendayung di antara dua ciri tersebut.

Ideologi mengandaikan adanya tatanan terbaik yang berlaku kapan dan di manapun. Tatanan tersebut dipakai sebagai cara pandang terhadap segala hal karena itulah satu-satunya cara pandang yang benar dan cara pandang lain pasti salah dan pasti merusak. Karena itulah, ideologi harus dilindungi agar dunia tidak gelobak oleh hadirnya cara pandang berbeda. Ideologi cenderung tertutup.

Di sisi lain, ada intelektualisme yang bersikap terbuka dan berkemas untuk menerima perubahan apapun jika telah lewat uji rasionalitas. Pada ukuran tertentu, intelektualisme juga adalah semacam ideologi karena pada dirinya ada anggapan bahwa dialah satu-satunya cara pandang yang benar, tetapi intelektualisme masih memungkinkan kerja sama antar ideologi jika memang yang ditekankan adalah rasionalitas itu sendiri.

Antara ideologi dengan intelektualisme ada perbedaan yang kemudian bisa dipertentangkan. Ideologi berkaitan dengan dogma, keyakinan, atau kredo yang hanya memberi ruang sempit untuk sikap kritis. Ideologi lebih memuja kepuguhan dan menista perubahan. Berubah berarti tidak kekal dan karena itu, tidak bisa diperpegangi.

Intelektualisme justru menantikan datangnya perubahan. Ilmiah berarti harus bisa berubah, layak diuji, dan harus bersedia diadili di ruang terbuka rasonalitas manusia sepanjang masa. Jika terbukti ada yang lebih rasional, maka sebuah pendapat ilmiah lama harus rela demisioner dari panggung sejarah. Ideologi tidak bersedia menjadi lemah seperti itu. Karenanya, antara ideologi dan intelektualisme ada pembicaraan yang belum usai.

Rekonsiliasi Ideologi-Intelektualisme

Menjelang terbitnya modernitas, pemujaan terhadap intelektualisme sangat kuat dan ideologi (agama) pun goyah. Isaac Newton masih memberi ruang bagi agama kala mengatakan bahwa ada sesuatu yang mengatur planet-planet hingga tidak saling bertabrakan, namun Marguis de Laplace menemukan bahwa sistem tata surya adalah stabil. Jadi, kehadian sosok pengatur pun lama-lama ditinggalkan (Polkinghorne, 2016: 6). Ditambah lagi ideologi agama sangat kental kepentingan-kepentingan individu atau kelompok yang bersembunyi di balik topeng kebenaran yang dipaksakan.

Ilmu pengetahuan pun berkembang. Kesejahteraan manusia meningkat. Ideologi lalu ditinggalkan. Namun itu tidak berlangsung lama. Belakangan, janji-janji intelektualisme mulai banyak yang tidak mampu lagi ditunaikan. Bahkan intelektualisme malah berubah menjadi ideologi itu sendiri yang menindas apapun yang berada di luar dirinya. Produk-produk intelektualisme seperti perang dunia dan kolonialisme adalah noda bagi peradaban manusia yang sudah sedemikian apik tertata.

Kekecewaan terhadap intelektualisme memberi peluang bagi ideologi untuk kembali ke panggung sejarah. Namun sama saja. Ideologi juga sama merusaknya. Untuk ukuran tertentu, ideologi jauh lebih menghanguskan. Kebangkitan agama yang sedang terjadi saat ini adalah bagian dari kebangkitan ideologi yang telah lama babak belur dihajar intelektualisme.

Kegagalan kebangkitan agama juga adalah bagian dari kegagalan kebangkitan ideologi. Salah satu yang layak dituduh sebagai biang kerok adalah bahwa setiap upaya progresif harus mendapatkan pengesahan dari teks-teks suci yang oleh Robert D. Lee (2000: 222) dianggap tidak pernah ada. Memang teks-teks suci itu sendiri adalah progresif pada zamannya, tetapi belum tentu di zaman berikutnya.

Sepertinya sudah perlu hadir kesadaran baru bahwa ideologi dan intelektualisme, meskipun bertentangan, adalah bagian tak terlepaskan dari kesadaran manusia. Tidak perlu salah satunya menuduh lainnya sebagai ketidaksadaran. Manusia terlalu kompleks hanya dipaksa untuk memilih salah satu di antara keduanya. Barangkali perdebatan tentang mana yang lebih benar di antara keduanya harus ditinggalkan.

Jangan-jangan ini memang bukan tentang pencarian kebenaran, tetapi lebih merupakan upaya manusia untuk bertahan hidup. Mana yang lebih memungkinkan untuk bertahan hidup, itulah yang secara instingtif manusia pilih. Jika pilihannya keliru karena justru membuat manusia punah, maka dengan sadar manusia akan beralih pilihan tanpa pernah mempertimbangkan pilihan tersebut benar atau salah.

Muhammadiyah sebagai Ideologi dan Intelektualisme

Muhammadiyah adalah sebuah ideologi dan dia bersandar kepada ideologi yang jauh lebih besar dari dirinya, yaitu Islam. Muhammadiyah telah bertahan lebih dari satu abad dan Islam bertahan lebih dari empat belas abad. Tidak mungkin keduanya semata-mata ideologi karena jika keduanya semata-mata sebagai ideologi, maka tidak mungkin bertahan sedemikian lama. Secara alami manusia memilih sesuatu secara rasional. Karena itu, pasti di dalam keduanya ada aliran deras intelektualisme yang membuatnya bisa bertahan.

Ketika Haedar Nashir (2015: 165) menyebutkan bahwa ideologi Muhammadiyah mencita-citakan terwujudnya masyarakat Islam yang sesungguhnya lewat cara Islam yang progresif, akademik, reformis, modern, dan moderat, maka pada gabungan kata “masyarakat Islam yang sesungguhnya”, ada nuansa ideologis yang sangat kental. Namun pada cara untuk mewujudkan itu, nuansa intelektualisme jauh lebih kental, yaitu pada kata-kata “Islam yang progresif, akademik, reformis, modern, dan moderat”.

Cita-cita ideologis tetap harus dilaksanakan lewat cara-cara khas intelektualisme. Nuansa ideologis lebih kental pada definisi ideologi Muhammadiyah yang disebutkan oleh St. Nurhayati, Mahsyar Idris, dan Muhammad Al-Qadri Burga (2018: 109), yaitu gerakan dakwah yang dibangun di atas pandangan keagamaan yang fundamental yang berorientasi pada perubahan di kalangan umat dan masyarakat ke arah yang lebih baik.

Rumusan ideologi Muhammadiyah di atas—terutama oleh Haedar Nashir—sepertinya sudah melampaui perdebatan tentang ideologi yang berhadapan muka dengan intelektualisme dengan kesadaran bahwa tidak mungkin menafikan salah satunya, terutama dalam konteks Indonesia. Kesadaran kontemporer pun mengakui eksistensi keduanya. Keangkuhan intelektualisme terhadap ideologi tidak bisa lagi dipertahankan, bahkan dalam demokrasi. Keangkuhan ideologi juga demikian. Muhammadiyah dan Islam kini harus menjadi, dalam ungkapan Moeslim Abdurrahman (2003: 107), alternatif ideologi post-liberal atau bahkan lebih maju dari itu. Syaratnya, menjadi ideologi Islam yang memihak perjuangan hak-hak asasi manusia yang universal demi kemajuan kemanusiaan yang menembus sekat-sekat ruang, waktu, dan golongan.

Sebagaimana antara ideologi dan intelektualisme, demikian pula bukan lagi waktunya memperhadapkan antara agama dengan demokrasi. Bersama-sama demokrasi, agama bisa menjadi kekuatan kritis terhadap kekuasaan tiranis dan ketidakadilan social (Hardiman, 2015: 19). Dengan demikian, ideologi pun bisa menjadi kekuatan kritis demi kemaslahatan umat manusia. Meski demikian, catatan penting bagi agama sebagai ideologi adalah ia memiliki watak ganda yang bisa mengabsahkan kemapanan, meskipun juga mampu menggoyangnya (Lowy, 2000: 6). 

Saat “Islam yang sesungguhnya” yang menjadi sasaran ideologi Muhammadiyah, apakah itu semacam upaya purifikasi? Tergantung kepada ke mana arah ide itu mengarah. Jika mengarah kepada masalah-masalah kritis kehidupan seperti kemiskinan, penindasan, dan ketidakadilan, maka itu pasti progresif dan bisa menggoyang kemapanan penindas yang ada.

Namun, jika yang dimaksud adalah TBC (takhayul, bi’dah, churafat), maka Islam akan sangat mudah ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan kemapanan. Di Muhammadiyah, model seperti yang terakhir ini pernah hadir dalam sejarah yang disebut oleh Abdul Munir Mulkhan (2010: 57-59) sebagai tahap historis kedua, yaitu formalisasi syariah ketika Muhammadiyah didominasi ahli syariah. Kenyataan umat Islam yang termarjinalisasi oleh modernisasi menjadi konteks hadirnya tahap ini.

Pada dirinya sendiri, Islam adalah sebuah kekuatan kritis. Misalnya, tentang perlakuan terhadap perempuan yang belakangan dipermasalahkan, Al-Qur`an tampaknya bermaksud memberikan kepada perempuan derajat yang lebih baik daripada sebelum Islam. Pembatasan jumlah istri adalah upaya Islam untuk menjamin perlakuan adil, serta kewajiban berjilbab adalah sebagai upaya pelindungan (Ackermann, 1997: 93-94). Itu hanya untuk menyebut beberapa ajaran.

Kritik Islam seperti di atas terekam di dalam Al-Qur`an dalam bentuk teks. Belakangan, hadir teks-teks lain sebagai upaya untuk menafsirkan Al-Qur`an yang pada gilirannya juga menjadi sesuatu yang otoritatif serupa Al-Qur`an. Sampai sekarang, teks-teks tersebut diperlakukan sebagai sumber kebenaran dan melahirkan apa yang disebut nalar bayani (Wijaya, 2020: 300). Nalar ini tidak tergoyahkan sampai sekarang dan sekaligus menjadi sumber ideologi Islam (dan tentunya termasuk Muhammadiyah).

Menerawang Agenda Masa Depan

Jadinya, pertarungan yang sesungguhnya bukan lagi antara ideologi dengan intelektualisme atau antara agama dengan demokrasi, tetapi antara Islam yang hendak bergerak ke masa lalu atau bergerak ke masa depan. Sepertinya Muhammadiyah telah memilih jalan ke masa depan dengan Islam Berkemajuan-nya. Tersisa kini caranya, apakah setiap pemikiran progresif harus tetap mendapatkan pengesahan dari teks suci atau tidak?

Selain di atas, tantangan yang tidak kalah mengganggu adalah tentang teisme dengan ateisme untuk kesejahteraan umat manusia. Sedang menguat sebuah pandangan bahwa ideologi, khususnya agama, hanyalah pengganggu bagi kesejahteraan manusia dan kebahagiaannya (Zuckerman, 2018). Memang itu terdengar klasik, tapi jika Muhammadiyah dan Islam sebagai ideologi gagal merespon dengan baik kenyataan itu, maka bukan tidak mungkin masa depan peradaban akan dipegang oleh ateisme yang berarti senjakala bagi ideologi seperti Muhammadiyah dan Islam.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *