Kehadiran Al-Qur’an sebagai kitab umat Islam tentu berperan dalam menunjukkan dan mengarahkan manusia kepada jalan kebenaran dan kebahagiaan. Sebagai kitab yang bersumber dari langit (Tuhan), tentu perlu upaya besar agar manusia bisa mengerti kehendak dan maksud Tuhan. Dalam hal ini, lahirlah tafsir sebagai bentuk pengerahan kemampuan manusia dalam memahami kalam Tuhan.
Jika kita telisik secara historis, jejak tafsir sudah ada bersamaan dengan proses turunnya (nuzul) Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad saw. Sebagai seorang rasul yang membawa risalah, Nabi juga bertugas sebagai mubayyin (pemberi penjelasan). Beliau menjelaskan kepada para sahabat makna dan kandungan Al-Qur’an dari wahyu, khususnya menyangkut ayat-ayat yang samar dan tidak dapat dipahami artinya. (Shihab, Tt: 71)
Nabi Muhammad saw. tidak menjelaskan seluruh teks Al-Qur’an kepada para sahabat. Hal demikian, lantaran Al-Qur’an turun dengan bahasa arab yang notabene adalah bahasa ibu mereka. Logikanya, sebagai bahasa yang melekat dalam kehidupan mereka sehari-hari tentu akan mudah mereka memahami seluk beluk Al-Qur’an yang juga turun dengan bahasa mereka. Kendatipun, tidak dapat kita negasikan bahwa ada beberapa mufrodat dan kalimat yang memang hanya diketahui dan dirahasiakan oleh Allah maknanya. (Al-Bugho, 1998: 214)
Seperti yang penulis sampaikan di awal, penafsiran Nabi atas sebuah ayat yang problematis di kalangan sahabat dijelaskan langsung oleh beliau maksudnya. Dari sini, lahirlah dua metode penafsiran. Pertama, Al-Qur’an menafsirkan sendiri atau dikenal al-qur’an yufassiru ba’dluhu ba’dlan. Kedua, penjelasan Al-Qur’an dengan as-sunnah atau biasa disebut bayan al-Qur’an bi as-sunnah.
Metode pertama, di mana Al-Qur’an menafsirkan dirinya sendirinya merupakan metode penafsiran yang pertama kali lahir. Dikatakan demikian, karena seringkali terdapat satu ayat yang global (mujmal), ternyata dijelaskan dan dirinci dalam ayat yang lain. Seperti kehalalan binatang ternak (Q.S. Al-Ma’idah: 1) ditafsirkan bahwa ada di antara binatang tersebut yang diharamkan (Q.S. Al-Ma’idah: 3). Begitu halnya, dengan makna dari “Al-Qori’ah” (Q.S. Al-Qori’ah: 1-3) diinterpretasikan di ayat selanjutnya–ayat keempat. (Al-Bugho, 1998: 213)
Perlu dicatat, metode ini sekalipun dikatakan bersumber dari Al-Qur’an langsung. Namun, juga tidak bisa lepas dari peran dan petunjuk Nabi. Buktinya kita bisa lihat bagaimana para sahabat yang bingung terkait makna zalim (Q.S. Al-An’am: 82). Lantas, Nabi menguraikan bahwa yang dimaksud zalim adalah syirik dengan menyebut ayat (Q.S. Luqman: 13).
Sementara metode kedua, merupakan penjelasan dan interpretasi dari Nabi saw. langsung. Intrepretasi yang dibawakan Nabi tak luput dari aspek teosentris–bersumber dari wahyu Tuhan. Beragam redaksi teks Al-Qur’an yang masih global dijelaskan Nabi melalui sunahnya. Al-Qur’an berulang kali menyebut kata “salat” lebih dari tujuh puluh kali. Namun, banyaknya istilah tersebut tidak disertai dengan tata cara, jumlah, dan deskripsi lebih lanjut. Maka, Nabi menerangkan seluruh hal tersebut baik melalui perkataan dan perbuatan beliau yang kita kenal dengan istilah sunah. Adakalanya tupoksi sunah sebagai perinci (tafshil), adapula sebagai spesialisasi (takhsis), revisi(naskh), dan lain sebagainya.
Periodisasi penafsiran klasik berlanjut pasca wafatnya Nabi saw. bahkan mengalami perkembangan signifikan. Islam mulai menyebar tak hanya di Jazirah Arab juga pada wilayah ‘ajam (non-arab). Para ulama pun bermunculan dari dua wilayah tersebut. Pastinya, kebutuhan umat Islam kala itu, juga semakin bertambah seiring pesatnya perkembangan Islam. Banyak persoalan baru muncul dan menjadi problem setelah itu. Sedangkan nabi sebagai tempat bertanya berakhir pasca beliau wafat.
Hal-ihwal demikian menuntut dan mendorong para sahabat menafsirkan Al-Qur’an. Kapasitas para sahabat sebagai saksi dari turunnya wahyu dan bertalaqqi dengan Nabi tentu tak perlu diragukan. Dalam menafsirkan Al-Qur’an, para sahabat berpedoman dengan metode yang mereka terima langsung dari Nabi. Kemudian, menjelaskan asbab an-nuzul ayat dan surah dari apa yang mereka terima.
Jika mereka tak mendapati dari tiga sumber tersebut, para sahabat akan berijtihad dengan akal (rasio) mereka masing-masing. Dalam berijtihad, Ad-Dzahabi mengemukakan ada beberapa instrument yang digunakan para sahabat dalam mencapai hasil Ijtihad. Instrumen tersebut berupa pengetahuan seputar bahasa dan maknanya baik eksplisit maupun implisit, pengetahuan terhadap adat dan tradisi orang Arab, hal-ihwal yahudi dan Nasrani saat penurunan wahyu, dan pemahaman dan pengetahuan yang luas dan mendalam. (Ad-Dzahabi: TT: 45)
Patut digaris bawahi, bahwa pemahaman para sahabat berbeda-beda satu sama lain. Tak semua dari mereka yang terus menetap satu majelis dengan Nabi. Ada yang menyaksikan turunnya wahyu dan adapula yang tidak. Implikasinya, kita dapat ambil kesimpulan bahwa benih-benih perbedaan hasil penafsiran sudah mulai muncul di era sahabat sepeninggal nabi.
Persoalan semakin kompeks tatkala masuk era tabi’in. Semakin luasnya ekspansi Islam berdampak pada kebutuhan yang besar pula terhadap pemahaman kitab suci. Para tabiin berusaha menyelesaikan problematika tersebut dengan tetap merujuk pada metode para sahabat. Jika belum menemukan titik terang maka para tabi’in menempuh jalur ijtihad.
Hal yang tak bisa dilupakan dari penafsiran di masa ini ialah mulai berkembangnya isra‘iliiyyat (kisah-kisah dari Ahli Kitab baik Yahudi dan Nasrani). Perluasan wilayah Islam membuat banyak para tokoh terkemuka dari Ahli Kitab juga banyak yang bersyahadat. Pengetahuan mereka terhadap kitab suci mereka dinilai sangat berperan besar untuk menjawab beragam persoalan. Apalagi Al-Qur’an tak sedikit menceritakan kisah-kisah umat terdahulu. Dari sini pulalah, para tabiin terkadang mengambil isra‘iliiyyat sebagai referensi sekunder dalam penafsiran mereka.
Di antara ciri khas tafsir di periode klasik ini ialah prosesnya yang masih berlangsung secara lisan (syafahi) dari mulut ke mulut. Belum ada keinginan untuk mengkodifikasinya menjadi sebuah buku/kitab yang menghimpun penafsiran itu. Baru di abad setelahnya, yakni Imam Abu Jarir At-Thabari (sayyid al-mufassirin), yang mengkodifikasinya dalam sebuah kitab yang monumental hingga sekarang, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Ay al-Qur’an.
Dari atas dapat kita tarik benang merah, bahwa penafsiran telah mengalami perkembangan yang signifikan sejak masa klasik. Terhitung mulai abad 1-3 H meskipun pengklasifikasian ini terbilang subjektif, tapi setidaknya menjadi khazanah intelektual yang mewarnai periodisasi penafsiran Al-Qur’an.