Pengkajian tentang emosi, sering disebut sebagai fenomena perilaku manusia yang umum. Hanya saja, kuat lemahnya serta banyak sedikitnya tradisi sosial tentu terbilang berbeda-beda dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya. Dengan kata lain, emosi manusia dibentuk dengan kondisi dan prinsip-prinsip pendidikan yang mengendalikan perilaku individu setiap masyarakat.
Emosi di sini adalah respons integral dari makhluk hidup yang bertumpu pada pemahaman eksistensial mengenai situasi eksternal dan internal, serta mencakup perubahan-perubahan perasaan yang begitu kompleks sekaligus fisiologis, meliputi organ-organ tubuh, pembuluh darah, hingga kelenjar (Al-Za’balawi, 2017: 284).
Al-Qur’an pada dasarnya dalam membicarakan tentang emosi, ia memiliki kajian yang tidak terbatas pada analisis karakter. Faktor emosi diterangkan dalam Al-Qur’an sebagaimana sejalan dengan dinamika kehidupan manusia itu sendiri. Hasil penelitian dari ayat-ayat kawniyah, dan menjadi teori psikologis, telah termuat dalam alat uji bagi kebenaran Al-Qur’an.
Tulisan ini mengkaji bagaimana emosi manusia ditinjau dalam perspektif Al-Qur’an dengan menfokuskan kepada tela’ah terhadap perasaan senang, sedih, marah, dan takut. Secara sistematis, tulisan ini memuat uraian semantik mencakup makna dasar, sintagmatis, dan paradigmatik.
Perasaan Senang
Senang pada makna dasarnya, berarti ekspresi perasaan yang terbebas dari rasa ketegangan. Istilah senang dalam Al-Qur’an, menampilkannya dengan kata fariḫuna (فَرِحُوْنَ), yang secara implisit berakar dari kata fariḫa (فَرِحَ). Suatu perbuatan dinamakan al-farḫ (الْفَرْحُ), dikarenakan atas perilaku sebagaimana telah disenangi (Fuadi, 2021: 184).
Perbedaan antara kata al-farḫ (الْفَرْحُ) dan al-ibtisyār (الإِبْتِشَارُ), pada kata al-ibtisyār (الإِبْتِشَارُ) adalah semangat membara yang diusahakan seseorang sebelum mendapatkan sesuatu yang dicintainya. Sementara, kata al-farḫ (الْفَرْحُ) di sejumlah ayat terdapat dua macam penggunaan (Nasir, 2017: 575-576).
Pertama, kebanggaan yang terlarang, yaitu beranggapan diri sendiri dengan kemampuannya menghilangkan mudarat, bukan pertolongan Allah Swt. (QS. Hūd [11]: 10), farḫ (فَرْحُ) dengan harta bendanya (QS. al-Qashash [28]: 76), farḫ (فَرْحُ) dengan perilaku malas (QS. al-Taubah [9]: 81), dan farḫ (فَرْحُ) dengan sikap pemecah belah agama (QS. al-Mu’minūn [23]: 52-54, QS. al-Rūm [30]: 31-32).
Kedua, kebanggan yang dibenarkan agama, yaitu: farḫ (فَرْحُ) termasuk orang yang mati di jalan Allah Swt. (QS. ‘Ali Imrān [3]: 169-170), farḫ (فَرْحُ) terhadap Al-Qur’an (QS. Yūnus [10]: 58), dan farḫ (فَرْحُ) terhadap benarnya ramalan Rasulullah Saw. tentang kemenangan Romawi (QS. al-Rūm [30]: 4).
Singkat kata, perasaan senang dalam perspektif Al-Qur’an, dikemukakan dengan kata al-farḫ (الْفَرْحُ). Terdapat dua konteks tentang emosi manusia ini, yaitu kebanggaan tanpa mengenal aturan dan kebanggaan yang sejalan dengan anugrah agama. Penyebutan tersebut, pada hakikatnya perasaan senang adalah ekspresi gembira dalam pengertian positif maupun negatif.
Perasaan Sedih
Perasaan sedih yaitu lawan dari emosi bahagia. Rasa sedih umumnya terjadi saat seseorang kehilangan orang yang dicintai, kehilangan benda yang berharga, tertimpa bencana, dan gagal mewujudkan impiannya. (Najati, 2005: 96). Lebih tepatnya, kesedihan adalah emosi yang ditandai dengan perasaan tidak beruntung, kehilangan, dan ketidakberdayaan.
Dalam Al-Qur’an, emosi manusia sedih ini disandingkan dengan perasaan senang. Karena itu, Al-Qur’an menggunakan kata al-ḫuzn (الْحُزْنُ) sebagai antonim dari al-farḫ (الْفَرْحُ), yang bermakna gembira. Sementara itu, ekspresi emosi sedih dalam beberapa ayat digambarkan dengan pemaknaan tangis atau linangan air mata (Kamaluddin, 2022: 15).
Kata al-ḫuzn (الْحُزْنُ), Al-Qur’an menyebutnya sebanyak dua kali, yaitu QS. Yūsuf [12]: 84 dan 86. Kata ḫazn disebut sebanyak tiga kali, yaitu QS. al-Tawbah [9]: 92, QS. al-Qashash [28]: 8, dan QS. Fathir [35]: 34. Di dalam bentuk fi’il mudhāri’, kata al-ḫuzn (الْحُزْنُ) ini disebutkan 47 kali.
Semisal, kata ḫuzn dalam QS. Yūsuf [12]: 84 dan 86, berhubungan dengan kisah Nabi Yusuf As. Nabi Ya’kub As. yang sangat sedih dan berduka cita ketika berpisah dengan Nabi Yusuf As., hingga akhirnya kedua mata mereka memutih. Kata ḫazn dalam QS. al-Taubah [9]: 92, berkaitan dengan orang yang merasa sedih karena tidak mempunyai harta untuk dibelanjakan dan kendaraan untuk berperang bersama Rasulullah Saw (Shihab, 2007: 01/321).
Kata ḫuzn digunakan Al-Qur’an untuk memaknai perasaan sedih, yang secara aplikatif sering disandingkan dengan perasaan senang. Singkatnya, emosi manusia ini jika ditinjau dalam perspektif Al-Qur’an, konteksnya lebih kepada gambaran eksistensial dari linangan tangis air mata.
Perasaan Marah
Al-Qur’an menggunakan istilah perasaan marah dengan kata ghilzhah (غِلْظَةٌ), yaitu bentuk mashdar dari kata ghalazha (غَلَظَ) – yaghlizhu (يَغْلِظُ) – ghilzhan (غِلْظًا), berarti keras. Kata ghilzhah (غِلْظَةٌ) ini mengalami perluasan makna, berupa fisik hingga non-fisik, seperti benda, perilaku, dan sebagainya (Ulya, 2020: 29).
Ada hal spesifik tentang pengistilahan marah dalam Al-Qur’an. Lebih diaktualisasikan pada kata al-ghadlab (الْغَضَبُ), artinya marah atau ledakan untuk membalas dendam. Untuk itu, Rasulullah Saw. bersabda, “Jauhilah olehmu dari amarah, karena ia adalah bara api yang ada dalam hati manusia, tidakkah kamu melihat bagaimana urat kemarahan orang membengkak dan matanya memerah” (Al-Ashfahani, 2017: 02/861-862).
Kata ghadlab (غَضَبُ), penggunaannya dalam Al-Qur’an terdapat dua macam. Pertama, ghadlab (غَضَبُ) dari Allah Swt. (QS. al-Ma’idah [5]: 60 dan QS. al-A’raf [7]: 71). Kedua, ghadlab (غَضَبُ) dari manusia, semisal pada QS. al-A’raf [7]: 154, yang menjelaskan tentang kemarahan Nabi Musa As. kepada Samiri, pencipta tata cara ibadah dengan menyembah sapi. (Jabar, dkk, 2012: 481).
Penekanan yang lebih menggunakan kata al-ghayzh (الْغَيْظُ), hal demikian memiliki perbedaan dengan kata al-ghadlab (الْغَضَبُ). Mengutip pendapat al-Qurtubi, pemaknaan kata al-ghayzh (الْغَيْظُ) adalah termasuk hal yang tidak nampak di anggota tubuh, sedangkan pemaknaan pada kata al-ghadlab (الْغَضَبُ) sebaliknya. Akan tetapi, terdapat sebagian ulama’ yang menafsirkan al-ghayzhu (الْغَيْظُ) dengan makna al-ghadlab (الْغَضَبُ) (Al-Qurtubi, 2007: 04/512).
Perasaan Takut
Rasa takut merupakan sifat kejiwaan dan kecenderungan alami yang bersemayam dalam hati manusia, dengan mengabaikan perselisihan pendapat antara ahli jiwa di masa lalu dan saat ini, Para ahli jiwa mengatakan bahwa rasa takut itu timbul dari naluri rasa takut itu sendiri. (Shaffar, t.th: 30).
Pembicaraan Al-Qur’an tentang takut, lebih sering diaktualisasikan dengan kata khauf (خَوْفٌ). (Umar, 2021: 86). Terdapat sebanyak 16 ayat yang membahas kata khauf (خَوْفٌ) dan selalu mendahului kata al-ḫuzn (الْحُزْنُ), seperti halnya pada redaksi ayat yang termaktub dalam QS. al-Baqarah [2]: 62, 112, 274, dan 277, yaitu (وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَهُمْ يَحْزَنُوْنَ).
Persoalan di atas, menurut al-Razi, disebabkan karena penghilangan sesuatu ketidakharapan mendahului dari permohonan tentang apa yang diinginkan. Hal ini menunjukkan bahwa seorang mukallaf yang patuh kepada Allah Swt., tidak akan menjumpai rasa ketakutan ketika ia berada di dalam kubur pada hari kiamat, atau di jembatan shirāth, seperti pada firman-Nya dalam QS. al-Anbiya’ [21]: 103 (Shihab, 2007: 474/2).
Secara singkat, perasaan takut dalam perspektif Al-Qur’an, dikemukakan dengan menggunakan kata khauf (خَوْفٌ). Sejumlah 16 ayat terkait pembahasan istilah takut, secara esensial memiliki kecondongan daripada kata al-h}uzn (الْحُزْنُ). Hal demikian mengandung makna ekplisit atas konteks di kala seorang mukmin yang merasa bahagia dalam kondisi apa pun, terutama di akhirat nanti.
Dari pemaparan di atas, telah diketahui emosi manusia dalam perspektif Al-Qur’an dengan memfokuskan kepada perasaan senang, sedih, marah, dan takut. Semua istilah ini memiliki konteks yang bersifat aplikatif. Akan tetapi, hal spesifik di antaranya adalah sama-sama membahas gejala jiwa sebagaimana bertujuan menghadapi situasi yang merangsangnya.