“The current trend in Western scholarship has seen considerable development in the field of tafsīr studies”
Statement itulah yang disampaikan Annas dalam permulaan artikelnya untuk menunjukan bahwa dalam studi Islam di dunia Barat, kajian tafsir sudah menjadi magnet dan sedang menarik animo yang cukup besar di tengah percaturan wacana kesarjanaan Barat serta mencoba untuk menjadi kajian tersendiri (baca: melepaskan diri) sebagai sebuah genre di luar studi al-Quran secara mandiri. Tulisan Annas yang diterbitkan oleh Jurnal Suhuf dengan judul Tafsīr Studies in Western Academia: A Bibliographical Survey itu – setidaknya cukup – berhasil memotret dinamika yang terjadi di Barat dengan menyebutkan beberapa tokoh penting beserta karya dan respon yang terbentuk secara ciamik sebagaimana karakteristik survei bibliografi yang indah.
Dalam deretan panjang nama-nama besar, Ignaz Goldziher dengan karyanya Die Richtungen der Islamischen Koranauslegung menjadi tulisan pertama yang menurut Stewart, sebagaimana yang Annas kutip, mampu menjadi pembeda–dari tren saat itu yang lebih banyak mendiskusikan al-Quran dan asal-usul Islam awal–karena menawarkan hipotesa baru mengenai bagaimana kecenderungan umat Islam menafsirkan kitab sucinya. Di samping itu, Stewart juga menyebutkan bahwa adanya pergeseran tren dari studi al-Quran ke studi tafsir dalam kesarjaan Barat, misalnya, terjadi karena lebih mudah mengatakan bahwa al-Ṭabarī atau al-Suyutī melewatkan sesuatu hal daripada mengatakan bahwa al-Quran sendiri itu kurang sempurna.
Berbeda dengan Stewart yang melihat adanya sikap di kalangan sarjana Barat untuk menjauhi hal-hal yang berbau sensitif, Fudge dan Smith, sebagaimana yang disinggung Annas, bersepakat bahwa dalam membaca al-Quran sebaiknya harus melihatnya dari kacamata umat Islam sendiri dan melibatkan beberapa karya tafsir yang sudah ada. Hubungan dua arah yang tidak terelakan tersebut, antara al-Quran dengan umat Islam yang termanifestasikan dalam beberapa karya tafsir, sebagai sebuah kesadaran bahwa status kitab suci tidak bisa berdiri sendiri itu dan adanya sikap sarjana Barat yang berusaha menjauhi hal-hal sensitif, menurut Annas, menjadi beberapa alasan mengapa kajian terhadap tafsir al-Quran mulai digemari dan menjadi tren di Barat.
Lebih lanjut, dalam tulisan itu Annas berusaha melakukan survei terhadap beberapa karya yang dihasilkan oleh para sarjana Barat secara komprehensif dalam dua topik besar saja, yaitu tradisi tafsir klasik dan pertengahan tanpa menyentuh tafsir modern. Sebab menurutnya, tafsir klasik dan pertengahan dinilai sudah cukup mampu menggambarkan sejarah intelektual Islam. Namun di luar hal itu agar tidak membingungkan, rasanya para sarjana Barat ataupun siapa saja yang memiliki ketertarikan dengan studi tafsir lebih cocok disebut sebagai sejarawan tafsir dibandingkan mufassir itu sendiri. Hal ini sejalan dengan insight yang diajukan oleh Lukman berdasarkan analisis historiografi tafsir dalam tulisannya Telaah Historiografi Tafsir Indonesia.
Studi Tafsir Klasik dalam Kesarjanaan Barat
Untuk menggambarkan bagaimana tafsir klasik dapat masuk dalam kesarjanaan Barat sebagai objek kajian yang ramai dilakukan, Annas memulainya dengan menyinggung fakta sejarah bahwa sarjana Barat telah lama terobsesi untuk mengkritisi pemahaman tradisional mengenai asal-usul Islam. Sehingga hadis, sebagai satu-satunya rekam jejak nabi Muhammad di samping al-Quran mulai dikritisi habis-habisan oleh para sarjana Barat, misalnya Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht. Sikap skeptis itu, menurut Annas, mulai merembet kepada scripture Islam lainnya, seperti kitab tafsir. Bahkan, nuansa ke-hadis-an itu turut menentukan kriteria masa pemikiran tafsir klasik yang menurut Rippin tergantung pada struktur isnad dan kriteria sastra.
Alasan lain mengapa para sarjana Barat fokus dan berkonsentrasi pada tafsir klasik adalah bahwa pada periode ini pendekatan dan perangkat penafsiran dirancang sedemikiran rupa dan mengalami standarisasi yang ketat. Sehingga para generasi berikutnya kemungkinan hanya mengikuti standar penafsiran itu. Serupa dengan statement tersebut, Wansbrough berpendapat bahwa ‘…Within that period, the principles of exegesis were evolved and perfected, and it would not be too much to say that thereafter few, if any, methodological innovations were introduced…’ pada periode itu, prinsip-prinsip penafsiran berevolusi dan disempurnakan, sehingga tidak berlebihan jika menyebutkan bahwa sedikit inovasi metodologis setelahnya yang diperkenalkan.
Selain itu, Annas dalam tulisannya itu juga berhasil memotret Rippin sebagai sosok berpangaruh dan terkemuka dalam studi tafsir klasik di Barat melalui beberapa karyanya, seperti Ibn ʿabbās’s al-Lugāt fī Al-Qurʾān, Ibn ʿAbbās’s Garīb Al-Qurʾān, al-Zuhrī, Naskh Al-Qurʾān and The Problem of Early Tafsīr Texts, dan Studying Early Tafsīr Texts yang mana masing-masing diterbitkan dalam kurun waktu akhir abad ke-20 sampai permulaan abad ke-21. Adapun masuknya tafsir abad pertengahan ke dalam studi tafsir di Barat, menurut Annas, sangat mungkin dipengaruhi oleh warisan pemikiran Claude Gilliot dalam tulisannya yang berjudul Exegesis of the Quran: Classical and Medieval yang terbit pada permulaan abad ke-21.
Studi Tafsir Abad Pertengahan dalam Kesarjanaan Barat
Dalam hal ini, batasan yang digunakan untuk menjelaskan tafsir abad pertengahan ialah merujuk pada periode yang dimulai dari abad ke-3 H. Lebih khusus, meminjam batasan Wansbrough dalam membagi periode tafsir klasik, Annas membatasi permulaan tafsir abad pertengahan ialah pasca masa hidup Ibnu Quṭaibah. Kemudian, jika dilihat dari dua tokoh yang menandai fase baru dalam kesarjanaan Barat terhadap kajian tafsir pertengahan, Gerhard Bowering dan Claude Gilliot, menggambarkan corak dari studi tafsir abad pertengahan diwarnai dengan berbagai karya tafsir yang berbau sufistik selain kitab tafsir yang berideologi sunnisme. Bahkan setelah pergantian abad ke-21, kitab-kitab kanon tafsir abad pertengahan menjadi topik yang seringkali dikaji.
Misalnya, Walid Saleh dalam karyanya yang berjudul The Formation of the Classical Tafsir Tradition berusaha mengeksplorasi salah satu kitab tafsir sunni karangan al-Tsa’labī yang dinilai sangat mengambarkan mazhab tafsir Nishapuri. Selain Walid Saleh, beberapa sarjana lainnya juga menunjukan urgensi mazhab Nishapuri ini dalam perkembangan tafsir abad pertengahan. Misalnya, Martin Nguyen yang berusaha mengeksplorasi lebih jauh mazhab tafsir Nishapuri ini dengan mengenalkan Ibn Habīb yang jarang disinggung selain dua mufassir besar Nishapuri, Ibn fūrak dan Abd al-Qahīr al-Baghdādī. Selain itu, Gilliot juga menyebutkan dua belas mufassir Nishapuri lainnya yang tidak dijelaskan oleh Annas secara rinci siapa saja mereka.
Bahkan dalan satu-dua hal, beberapa penemuan dalam bidang kajian tafsir abad pertengahan dapat menunjukan kapan kitab tafsir itu popular dan banyak digunakan serta kapan kitab tafsir itu dikesampingkan. Misalnya, Walid Saleh dalam tulisan terbarunya The Qur’an Commentary of al-Baydāwi mampu menunjukan bagaimana tafsir Zamakhsari yang ditulis oleh seorang mufassir dari kalangan mu’tazilah menjadi kitab tafsir yang paling otoritatif di kalangan sunni pada abad ke-8 H. yang sayangnya, pada akhir abad ke-9 H. mampu digeser kedudukannya oleh tafsir al- Baydāwi. Walaupun begitu, catat Annas, perlu diakui bahwa tafsir sunni tetap menjadi primadona di Barat jika dibandingan dengan tafsir syiah yang belum seramai tafsir sunni diskusi kajiannya.