Indonesia sebagai negara dengan gelar zamrud khatulistiwa karena keindahan alamnya yang mempesona, akhir-akhir ini mengalami kasus eksploitasi lingkungan dengan peningkatan yang signifikan. Mulai dari kebakaran hutan, perubahan penggunaan lahan yang mengurangi produktivitas pertanian masyarakat, urbanisasi yang tak terbendung, hingga proyek-proyek pembangunan infrastruktur yang tidak memperhatikan pelestarian alam.
Sebagai negara dengan penduduk mayoritas Muslim, Islam memiliki peranan penting dalam memberikan arahan di setiap kebijakan negara, termasuk pelestarian lingkungan. Isu kerusakan lingkungan merupakan hal yang di larang dalam Islam, sebab Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin memberikan pedoman moral kepada manusia dalam hubungannya kepada Tuhan (hablumminallah), manusia (hablumminannas), dan alam (hablumminal-‘alam).(Nahuddin et al., 2023)
Nabi Muhammad Saw dalam hadisnya yang masyhur bersabda “Bumi adalah Masjid” yang artinya manusia diperbolehkan melaksanakan shalat di mana saja, selama tempat itu suci dan bersih. Ibrahim Abdul Matin dalam bukunya Green Deen: What Islam Teaches About Protecting the Planet memberikan perspektif yang bernuansa ekologi dalam memandang tersebut.
Menurut Ibrahim, hadis ini mengajarkan manusia tentang betapa pentingnya menjaga dan merawat bumi. Karena dalam Islam, bumi dianggap sebagai tempat suci yang harus dijaga dan dihormati. Pesan ini memberikan setiap Muslim pemahaman akan tanggung jawab mereka sebagai khalifah atau penjaga bumi yang telah ditugaskan oleh Allah Swt. Merawat lingkungan, menghormati keanekaragaman hayati, dan hidup dalam keseimbangan dengan alam adalah aspek penting dari keyakinan Islam (Abdul-Matin, 2010, pp. 1–2).
Dengan memahami pesan ini, umat Islam diberi motivasi untuk menjadi pelindung dan pengelola yang bertanggung jawab terhadap bumi dan segala isinya. Islam mengajarkan kasih sayang yang mendalam terhadap bumi, karena menurut Islam, mencintai bumi berarti mencintai diri sendiri dan mencintai Sang Pencipta. Dalam ajarannya, Islam menyatakan bahwa kita semua adalah satu kesatuan. Ungkapan Bumi adalah Masjid (earth is mosque) merupakan cara lain untuk menyampaikan bahwa kita semua adalah bagian dari keterkaitan yang sama dan indah dalam ciptaan Allah Swt.
Mengenal Ilmu Sosial Profetik
Ilmu sosial profetik adalah suatu konsep ilmu sosial yang dikembangkan oleh Kuntowijoyo sebagai respons terhadap kekurangan yang ada dalam ilmu sosial kontemporer. Menurut Kuntowijoyo, ilmu sosial saat itu telah mencapai titik jenuh karena hanya fokus pada analisis fenomena sosial tanpa memberikan arah transformasi yang jelas. Dalam konteks ini, ilmu sosial profetik hadir sebagai disiplin ilmu sosial yang tidak hanya memberikan penjelasan tentang fenomena sosial, tetapi juga memberikan petunjuk mengenai arah dan bentuk transformasi sosial yang harus dilakukan.(Kuntowijoyo, 2007)
Dengan kata lain, ilmu sosial profetik tidak hanya berkutat pada pemahaman tentang masalah sosial yang ada, tetapi juga mengajukan wacana dan tindakan yang mengarah pada perubahan sosial yang lebih baik. Tujuannya adalah untuk mendorong keadilan sosial, kesejahteraan masyarakat, dan transformasi yang berkelanjutan. Ilmu sosial profetik mengusulkan bahwa ilmu sosial harus memiliki dimensi etis dan bertanggung jawab terhadap kepentingan sosial, sehingga dapat memberikan panduan konkret bagi tindakan sosial yang positif dan berdampak.(Nurul Khotimah, Putri Wulansari, 2019)
Menurut Kuntowijoyo, inspirasi untuk gagasan ilmu sosial profetik ini dapat ditemukan dalam pemaknaan Muhammad Iqbal terhadap peristiwa Mi’raj Nabi Muhammad Saw. Iqbal menyatakan bahwa jika Nabi Muhammad adalah seorang mistikus atau sufi, maka dia tidak akan memiliki keinginan untuk kembali ke bumi setelah mengalami perjalanan spiritual Mi’raj, karena ia telah merasa tenang dan memenuhi dalam pertemuan dengan Tuhan di sisi-Nya. Namun, Nabi Muhammad memilih untuk kembali ke dunia ini dengan tujuan menggerakkan roda perubahan sosial.(Kuntowijoyo, 2007)
Dalam pandangan Kuntowijoyo, inilah cita-cita profetik Nabi Muhammad Saw. Ia tidak hanya berfokus pada pencapaian spiritual pribadi, tetapi juga memiliki kesadaran sosial yang tinggi dan komitmen untuk mendorong perubahan sosial yang positif di masyarakat. Nabi Muhammad sebagai contoh yang diikuti oleh umat Islam, menunjukkan bahwa perjalanan spiritual dan pemahaman akan kebenaran ilahi seharusnya tidak membuat seseorang mengabaikan tanggung jawab sosial dan perubahan yang lebih luas.
Kuntowijoyo mengamati adanya sekularisasi ilmu pengetahuan dan agama dalam pemikiran barat kontemporer, yang terjebak dalam pemisahan yang jelas antara liberalisme dan materialisme. Liberalisme dipandang sebagai pandangan yang berusaha netral dan bebas nilai, di mana nilai-nilai moral dan kebajikan dianggap tidak relevan. Oleh karena itu, liberalisme cenderung tidak memiliki cita-cita sosial yang jelas.
Sebaliknya, materialisme, yang diwakili oleh ilmu sosial perfeksionisme, melihat fenomena sosial sebagai sesuatu yang tidak terlepas dari nilai-nilai. Materialisme memperhatikan dimensi komunitasnya dan memihak pada suatu pandangan sosial yang jelas. Dengan demikian, materialisme mengusung suatu cita-cita sosial yang spesifik.
Dalam konsep ilmu sosial profetik, Kuntowijoyo mengambil inspirasi dari salah satu ayat dalam Al-Qur’an, yaitu Surah Ali-Imran ayat110 yang berbunyi “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” Menurut Kuntowijoyo, ayat ini memberikan pedoman bagi ilmu sosial untuk melaksanakan tiga prinsip utama: amar ma’ruf (menyuruh kebaikan), nahi munkar (mencegah kejelekan), dan tu’minuna billah (beriman kepada Allah).(Kuntowijoyo, 2018)
Dengan demikian, ilmu sosial profetik mengimplementasikan substansi ayat ini melalui tiga unsur utama: humanisasi (amar ma’ruf), liberasi (nahi munkar), dan transendensi (tu’minuna billah). Humanisasi mencakup upaya untuk meningkatkan martabat manusia, keadilan sosial, dan kebaikan umat manusia secara menyeluruh. Liberasi menekankan pentingnya membebaskan masyarakat dari penindasan, ketidakadilan, dan struktur kekuasaan yang merugikan. Transendensi menyoroti pentingnya dimensi spiritual dan hubungan manusia dengan Tuhan dalam memandu perubahan sosial yang bermakna.
Merumuskan Eko-profetis Sebagai Basis Pelestarian Lingkungan Ala Al-Qur’an
Mirza Muhammad Iqbal dan Khumaid Akhyat Sulkhan dalam tulisannya menjelaskan bahwa pendekatan eko-profetis adalah hasil pengembangan dari teori ilmu sosial profetik dengan teori ekosentrisme Deep Ecology (DE) yang dikembangkan oleh Arne Naess.(Iqbal & Sulkhan, 2018) Dalam teori DE, Naess berpendapat bahwa krisis lingkungan hidup bersumber dari pandangan manusia yang salah tentang lingkungan. Oleh karena itu, DE mengadvokasi perubahan mendasar dan revolusioner dalam pandangan, nilai-nilai, baik secara individu maupun budaya, yang akan berdampak pada struktur budaya dan ekonomi.(Sarah et al., 2023)
Misi DE adalah untuk menghidupkan kembali kesadaran ekologis dalam setiap individu, sehingga mereka dapat menyadari adanya hubungan saling ketergantungan antara manusia, hewan, dan tumbuhan di alam ini. DE menekankan betapa pentingnya mengakui dan menghormati hubungan timbal balik antara semua bentuk kehidupan, serta pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem.
Dalam konteks ini, pendekatan eko-profetis mengadopsi dan mengembangkan gagasan DE dengan memasukkan dimensi profetik. Eko-profetis menekankan bahwa manusia harus memahami dan merasakan secara mendalam ketergantungan ekologis yang ada, dan memiliki tanggung jawab moral untuk melindungi dan menjaga alam. Pendekatan ini mengajukan bahwa perubahan tidak hanya terjadi pada tataran ekonomi dan budaya, tetapi juga melibatkan perubahan sikap, nilai-nilai, dan tindakan individu yang didorong oleh kesadaran akan hubungan ekologis yang kompleks.
Paradigma eko-profetis merupakan gagasan yang sangat relevan dan tepat untuk diterapkan dalam upaya pelestarian lingkungan, karena tidak memisahkan antara dimensi agama dan ilmu sosial. Lebih dari itu, teori ini mengimplementasikan QS Ali Imran ayat 110 menjadi tiga aspek utama sebagai berikut.
Pertama, humanisasi (amar ma’ruf) dalam paradigma eko-profetis bertujuan untuk mengembalikan martabat manusia sebagai pemimpin di dunia ini dengan tanggung jawab menjaga kelestarian lingkungan yang didasarkan pada keyakinan kepada Tuhan. Cara pandang ini merupakan respon teori antroposentrisme yang meletakkan manusia sebagai penguasa, sehingga dampaknya manusia semerta merta dalam mengeksploitasi alam. Oleh karena itu, humanisasi di sini mengacu pada pendekatan humanisme yang menempatkan Tuhan sebagai otoritas utama.
Kedua, liberasi dalam paradigma eko-profetis mengadopsi semangat nahi munkar (mencegah kejelekan) dengan tujuan mencegah terjadinya kerusakan alam yang berpotensi menyebabkan bencana dalam kehidupan. Dalam konteks ini, liberasi dimaknai membebaskan alam dari eksploitasi yang terus-menerus dilakukan oleh manusia dalam rangka memenuhi ambisi hidupnya. Larangan terhadap perbuatan kerusakan di muka bumi secara tegas disebutkan dalam Q.S. Al-A’raf ayat 56.
Ketiga, transendensi yang menjadi acuan bagi humanisasi dan liberasi. Melalui prinsip tu’minu billah (beriman kepada Allah), transendensi menegaskan bahwa Allah harus menjadi prioritas utama dalam setiap tindakan manusia.(Kuntowijoyo, 2018) Dalam paradigma eko-profetis, transendensi berarti bahwa setiap tindakan yang dilakukan manusia dalam upaya menjaga kelestarian lingkungan, seperti humanisasi dan liberasi, bertujuan utama untuk melaksanakan tugas sebagai hamba Allah yang patuh terhadap ajaran-Nya. Oleh karena itu, iman dan ketaqwaan kepada Allah menjadi dasar dari semua praktik tersebut.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pendekatan eko-profetis merupakan hasil pengembangan yang menggabungkan pandangan ekosentris dengan ilmu sosial profetik. Pendekatan ini bertujuan untuk merevitalisasi nilai-nilai etika lingkungan melalui penerapan prinsip-prinsip ilmu sosial profetik yang digagas oleh Kuntowijoyo.