Idealitas Tafsir Masa Depan

Relasi al-Qur’an dengan kehidupan manusia terbentuk secara hirarkis. Dalam konteks orang-orang Muslim, hal ini memposisikan al-Qur’an berada di atas seluruh aktfitas kehidupan. Al-Qur’an di sini memiliki karakter penuntun yang diyakini dapat membawa manusia kepada kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat.

Keyakinan tersebut tidak terbentuk dengan sendirinya, melainkan lewat hubungan korelatif atas dasar penegasan al-Qur’an terhadap dirinya sendiri; hudan li al-muttaqin. (al-Baqarah: 2). Keyakinan komunitas Muslim, secara langsung terjadi atas dasar hubungan di atas. Maka dari itu, terbentuknya suatu keyakinan terhadap al-Qur’an yang mampu mengarahkan kepada segala macam aturan hidup menjadi sebuah keniscayaan yang terjadi.

Bacaan Lainnya

Keniscayaan atas keyakinan yang lahir, tidak semata-mata terbentuk begitu saja. Adanya peran lain yang tidak dapat dipisahkan dalam mengantarkan manusia kepada sebuah pemahaman pada kandungan al-Qur’an. Peran tersebut melekat pada realitas bahasa Al-Qur’an yang menjadi hak prerogratif Tuhan menunjuk bahasa Arab sebagai pilihan. Sehingga perlu adanya media dalam memahami makna dan pesan, yang notabene tidak semua manusia familiar dengan bahasa tersebut.

Dalam hal ini tafsir menjadi mediator dalam menjembatani jarak antara maksud Tuhan lewat teks. Tafsir sebagai alat bantu dalam menerangkan maksud atau pesan setiap ayat al-Qur’an. Oleh karena itu, upaya menafsirkan al-Qur’an telah disadari para ulama’ Qur’an, untuk membantu manusia dalam memahami maksud Tuhan.

Sejak masa klasik, terhitung dalam periode Tanwirul Miqbas, hingga pada abad kontemporer ini, para ulama’ telah mencurahkan pemikiran dan pemahamannya pada tafsir al-Qur’an. Pada periodesasi yang ditetapkan; klasik, pertengahan dan modern, kecenderungan tafsir yang muncul tidaklah sama satu dengan yang lainnya. Tentu hal ini mencerminkan adanya kompleksitas latar belakang sosial di satu sisi dan intelektualitas yang dimiliki di sisi lain.

Meski kompleksitas sosial dan latar belakang intelektual yang bervariasi, secara prinsip para mufasir mengorientasikan penafsiran terhadap kitab suci untuk memberikan pemahaman pada masyarakat. Hal ini yang kemudian tidak bisa dipisahkan dalam setiap produk tafsir yang ada hingga sekarang. 

Tren penafsiran terhadap al-Qur’an yang tidak berhenti, menunjukan adanya perhatian para ulama’ pada universalitas makna al-Qur’an itu sendiri. Kesadaran semacam ini, berhasil diinternalisasi pada pemahaman, bahwa sebagai misi menghadirkan al-Qur’an untuk patron kehidupan di setiap zaman dengan berbagai problematika sosial yang mengikuti. Dalam konteks tafsir modern, sejumlah kritik dengan membawa angin pembaharuan menjadi satu hal yang sangat kentara.

Muhammad Abduh dan Ridha, dilanjutkan oleh Hamka dalam konteks Indonesia, mendekonstruksi tatanan tafsir klasik yang dinilai gagal dalam menghadirkan fungsi al-Qur’an sebagai “hidayah” (Johana Pink, 2010: Tradition and Ideology in Contemporary Sunnite). Produk klasik dinilai terlalu melangit, membangun batas tembok tebal dan jauh dari jangkaun orang-orang awam.

Tafsir Masa Depan; Tafsir yang Sadar Konteks

Hamka sebagai titik tolak tafsir modern dalam konteks Indonesia, telah cukup berhasil memantik para akademisi pada realitas distingsi yang dilahirkan. Hamka dengan semangat reformasi dan pembaharuan mencoba menghadirkan konteks problematika sosial Indonesia dalam wajah penafsiran yang dilakukan. Mun’im Sirry mencoba membedah wajah lokalitas yang dimasukan dalam tafsir Hamka. Mun’im menyebutkan bahwa lokalitas dalam tafsir Hamka berhasil membawa wajah peradaban Indonesia yang tengah berperan dalam pembacaan yang dilakukan. Bagi Hamka potongan surat al-Qur’an pada al-Maidah ayat tiga (Q.S. 5/3), yang menjadi ayat terakhir dimaknai secara berbeda dengan para mufassir pada umumnya.

Di saat para mufasir mengaggap ayat ini sebagai pembenaran kitab suci untuk superioritas Islam di atas semua agama lain, Hamka menafsirkannya dengan menjelaskan bagaimana kesempurnaan Islam harus dipahami dalam konteks yang luas, menafsirkannya dengan mengkontektualisasikan ayat dengan kondisi di Indonesia bahwa ayat tersebut menjelaskan terkait pentingnya kebebasan umat Islam dari situasi stagnan intelektual. Serta bagaimana agama yang diwahyukan pada abad ketujuh di Arab menjadi lengkap dan relevan untuk semua waktu dan tempat.

Ia menekankan bahwa kesempurnaan dan kelengkapan Islam harus dipahami dengan cara memberikan ruang yang cukup ruang untuk memikirkan kembali dan menafsirkan kembali sepanjang sejarah dan di berbagai lokalitas yang berbeda. Dia berpendapat bahwa dalam masalah perkembangan manusia, kesempurnaan Islam terbukti dengan memberikan kebebasan berpikir (Hamka, Tafsir al-Azhar, 1967, Jilid III).

Projek tafsir Hamka dapat dijadikan cermin bagi idealitas tafsir “masa depan” di satu sisi dan dapat menjadi pembanding genre tafsir yang telah ada di saat yang sama. Memasukan aspek lokalitas (konteks) keIndonesiaan pada penafsirannya terhadap al-Qur’an, menjadi aspek penting agar al-Qur’an real kehadirannya di tengah problematika masyarakat di waktu dan tempat mana pun.

Meminjam istilah Johana Pink bahwa al-Qur’an sebagai “hidayah” yang diartikan dapat menjawab segala persoalan, bukan justru menjauh dari kemampuan dan keterbatasan manusia untuk memahami al-Qur’an dengan kecenderungan tafsir yang “melangit”. Hal ini berimplikasi pada universalitas makna al-Qur’an akan dapat diterima secara relevan menanggapi konteks peradaban yang terus berjalan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *