Baqir al-Shadr dan Metode Tafsir Tematik Kontekstual: Sebuah Rekonstruksi Metodologis Pada Abad 20

Eksistensi kajian tafsir tematik menjadi tren dalam arus perkembangan tafsir era modern-kontemporer, karena diyakini dapat mengeliminasi gagasan subjektif seorang penafsir. Di sisi lain, kajian ini juga dianggap mampu menjawab tuntutan global dalam berbagai bidang seperti politik, saintifik, lingkungan, sosial, gender, dll (Saeed, 2016:303).

            Sebagai asumsi dasarnya, ayat-ayat al-Qur’an ibaratnya sebuah untaian kalung emas, dimana satu rantai dengan rantai yang lain berjalin berkelindan. Adagium yang kerapkali digaungkan oleh para ulama modern-kontemporer yaitu al-Qur’an yufassiru ba’dhuhû ba’dhan (Mustaqim,2019: 58). Pada tahap inilah metode tafsir tematik menjadi relevan sesuai kebutuhan zaman.

Bacaan Lainnya

            Para perintis tafsir tematik seperti Mahmud Syaltut (w. 1963 M), Amin al-Khuli (w. 1966 M), Aisyah Bint al-Syathi’ (w. 1998 M), dan al-Farmawi (w. 2017 M), mengalami problem tersendiri dalam diskursus metode tafsir tematik. Mereka memulai penafsirannya dari teks baru kemudian kepada realitas. Ihwal semacam ini, pada gilirannya akan memunculkan asumsi-asumsi negatif dalam kajian tafsir tematik, seakan al-Qur’an tidak hadir saat dihadapkan pada permasalahan masa kini.

Genealogi Metode Tafsir Tematik Pada Abad Klasik

            Jika ditelisik sejarah tafsir tematik dan perkembangannya, sebetulnya unsur tafsir tematik sudah lahir sejak masa Nabi Muhammad Saw (Muslim, 2000: 17). Praktik Nabi Saw memberikan tarsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an yaitu argumentasi yang seringkali disandarkan. Dialektika antara Nabi Saw. dengan para sahabat yakni tentang makna zulm yang kerap diartikan dengan “syirik” (QS. Al-An’am [6]: 82, QS. Luqman [31]: 13).

Berdasarkan kemunculan tafsir tematik pada masa Nabi Saw, ada beberapa hal utama yang merupakan suatu prinsip dasar. Pertama, terjadinya proses turunnya al-Qur’an dengan berangsur-angsur berdasarkan pada keadaan masyarakat Arab. Hal inilah yang menjadi anggapan bahwa benih metode tafsir tematik telah lahir. Kedua, praktik Nabi Muhammad Saw. ketika menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an (Aziz, 2023: 31).

Bahwa selanjutnya, pada abad ke 3-8 hijriah lahir benih metode tafsir tematik berikutnya yang tersebar dalam kitab-kitab tafsir seperti Majâz al-Qur’ân karya Abu Ubaidah (w. 209 H), al-Nâsikh wa al-Mansûkh fî al-Qur’ân karya Abu Ja’far al-Nahas (w. 338 H), Ahkâm al-Qur’ân karya al-Jashshas (w. 370 H), Asbâb al-Nuzûl karya al-Wahidi (w. 427 H), al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân karya Raghib al-Asfahani (w. 502 H), al-Bayân fî Aqsâm al-Qur’ân karya Ibn al-Qayyim (w. 751 H).

Kitab-kitab tafsir tersebut merupakan sebuah produk tafsir tematik yang berdiri sendiri, sehingga dapat dikatakan bahwa metode tafsir tematik bukanlah sesuatu yang baru dalam sebuah interpretasi metodologis. Kitab-kitab tafsir klasik yang sudah banyak membahas ragam permasalahan, pasalnya belum mampu memadahi keinginan masyarakat modern dalam menjawab isu-isu kekinian.

Dalam pandangan al-Khalidi (w. 2022 M), karya-karya tafsir yang muncul pada abad ke 3-8 hijriah tersebut tidak dikategorikan sebagai sistematika tafsir tematik yang terus berkembang hingga saat ini. Adalah disinyalir karya yang tidak mengatasi sebuah permasalahan dengan komprehensif. Melainkan hanya berfokus pada penjelasan arti dan pengertian kosakata serta masalah hukum tertentu.

Menurut al-Khalidi, tafsir al-Qur’an dalam era klasik bukan merupakan karya tafsir yang menggunakan pendekatan tafsir tematik. Kendati tidak bisa dipungkiri bahwa dalam masa tersebut ada unsur penafsiran dengan kebetulan mempunyai kesamaan pada pendekatan metode tafsir tematik. Adapun bentuk kemiripan tersebut yakni dalam proses pengumpulan ayat-ayat al-Qur’an pada suatu tema atau permasalahan yang dibahas.

Baqir al-Shadr: Dari Ekonom, Filsuf, Hingga Mufasir Yang Bermazhab Syi’ah

            Nama lengkapnya adalah Muhammad Baqir al-Sayyid Haidar ibn Ismail al-Shadr. Ia lahir di Kazhimiyyah di bagian utara Baghdad, pada tahun 1353 H/1935 M tepat tanggal 25 Dzulqa’dah atau tanggal 1 Maret. Baqir dikenal sebagai ulama besar, sarjana ekonomi, tokoh filsuf revolusioner, serta mufasir modern berkebangsaan Irak. Namanya terkenal dalam kancah intelektual Muslim dunia abad modern.

Baqir al-Shadr berasal dari keluarga yang religius berintelektual Islam dan merupakan keturunan dari keluarga sarjana yang terkenal mengikuti paham Syi’ah. Keluarga Baqir merupakan keluarga yang hidup pada masa kolonialisme dan berhasil bangkit dan melawan penjajah Inggris serta mengambil alih peran pada saat terjadinya revolusi di Irak sekitar abad 20-an (Baqir, 2001: 150).

Baqir al-Shadr adalah seorang tokoh yang jenius. Gurunya yang bernama Sayyid Abu al-Qasim al-Khu’i telah menumbuhkan wawasan keilmuan yang luas kepada Baqir, sehingga pemahamannya terhadap Islam dan tradisi Syi’ah mulai menguat. Determinasi sosio-politik di Irak dan dunia Syi’ah telah membuka cakrawala pemikiran Muhammad Baqir al-Shadr (Aziz, 2023: 92).

Menelisik Gagasan Manhaj Tafsir Tawhidi

            Baqir (w. 1980 M) adalah salah satu tokoh tematik kontekstual (baca: tokoh lainnya ialah Fazlur Rahman dan Hassan Hanafi) yang turut menawarkan gagasannya dalam perkembangan metode tafsir tematik. Metode tematik Baqir yang dikenal dengan terminologi manhaj tafsir tawhidi adalah sebuah penyatuan yang dialogis antara realitas manusia dengan teks al-Qur’an (Baqir, 2013:22).

            Metode tematik yang ditawarkan oleh Baqir ini, yang berprinsip min al-wâqi’ ilâ al-nas, menjelaskan tematisasi al-Qur’an bukan hanya berkutat dalam pengumpulan ayat-ayat al-Qur’an dan menghitungnya tanpa melahirkan sebuah konsep Qur’ani, melainkan fokus utamanya ialah bagaimana konsep yang dihasilkan dapat menjawab isu-isu modernitas (Baqir, 2013: 35).

            Kemunculan gagasan metode tawhidi ala Baqir, pada kenyataannya dipicu oleh ketidakpuasan terhadap tafsir klasik hingga abad pertengahan. Ketidakpuasan Baqir disebabkan adanya sistematika dan bentuk tafsir-tafsir klasik yang menggunakan metode tajzi’i (analitik). Menurutnya, metode ini sudah melahirkan perspektif yang parsial, atomistik, dan merupakan kegiatan yang bertele-tele.

Ketidakpuasan Baqir atas metode tajzi’i sesungguhnya tidak semata-mata sebagai sebuah klaim bahwa metode tersebut kurang baik atau sudah tidak relevan. Kendati dapat menghasilkan pengetahuan dan pemahaman yang memadai perihal pokok-pokok al-Qur’an. Namun pada faktanya, metode tersebut tidak dapat menyuguhkan suatu pandangan yang transformatif-solutif terhadap isu-isu keikinian.

Di samping itu, Baqir juga merasa telah terjadi pergeseran paradigma (shifting paradigm) dalam wacana penafsiran al-Qur’an Syi’ah dari metode ta’wîl (esoteris-sentris), menjadi metode tematik-objektif. Inilah yang membuat adanya sebuah perbedaan dengan para tokoh tematik seperti ‘Abd al-Hayy al-Farmawi dan rekan-rekan tokoh tematik tekstual lainnya.

Dalam hal ini Baqir mengatakan: “Seorang penafsir tidak seharusnya bertendensi pada suatu pandangan tertentu (fanatisme mazhab). Melainkan harus menginferensi langsung dari sumber primer dan seorang penafsir juga semestinya membebaskan pandangan dunianya dari model-model berpikir mazhabî, sehingga dapat memberikan ruang dalam memahami teks al-Qur’an.” (Baqir, 2013:312).

Tipologi Metode Tafsir Tawhidi

Menurut Baqir al-Shadr, pengertian tematik (tawhidi) terbagi pada tiga term. Pertama, tematik pada definisi objektif ataupun pengungkapan makna apa adanya dan tidak memiliki urusan lainnya. Mufasir perlu konsisten dan amanah pada pendirian mereka, tanpa mendapatkan pengaruh dari  ego dan emosinya dari urusan tertentu.

Kedua, dimulai dari tema keadaan sosial lalu mendialogkan pada al-Qur’an guna menghasilkan jawaban-jawaban. Kemudian, tugas mufassir yaitu menerapkan tanya jawab dengan al-Qur’an, mufasir bertanya dan al-Qur’an menjawab. Proses dialog semacam inilah yang Baqir sebut dengan metode tawhidi (Baqir, 2013: 22).

Ketiga, istilah tematik dimaksudkan dengan semua hal yang berkaitan pada satu tema selanjutnya dilakukan pengumpulan ayat-ayat al-Qur’an yang relevan dengan tema bahasan, serta ayat satu dengan yang lainnya saling menafsirkan, seolah-olah membiarkan al-Qur’an berbicara sendiri. Definisi kedua dan ketiga ini yang Baqir namakan dengan penyatuan keadaan pada teks al-Qur’an melalui terminologi tawhidi.

Penafsiran tematik dengan basis realitas (kontekstual) yang digagas oleh Baqir ini, pada gilirannya akan menciptakan pemahaman yang lebih baru, yang sudah barang tentu meniscayakan metode tafsir akan ditantang untuk selalu up to date. Selanjutnya, sumbangsih metode tafsir tematik kontekstual ini akan menghasilkan gagasan konseptual Qur’ani yang selalu relevan dengan kebutuhan umat zaman modern-kontemporer, karena berpegang teguh pada prinsip pembacaan realitas sebagai basis utamanya baru kemudian kembali kepada teks al-Qur’an (min al-wâqi’ ilâ al-nash).

Daftar Pustaka

Saeed, Abdullah. Pengantar Studi al-Qur’an. Terj. Shulkhah dan Sahiron Syamsuddin. Yogyakarta: Baitul Hikmah Press. 2016.

Mustaqim, Abdul. Metode Penelitian al-Qur’an dan Tafsir. Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta. 2019.

al-Shadr, Muhammad Baqir. Sistem Politik Islam. Terj. Suwardi. Jakarta: Lentera Basritama. 2001.

Aziz, Abdul. Metode Tafsir Tematik Fazlur Rahman dan Muhammad Baqir al-Shadr. Bogor: Abdi Fama Group. 2023.

al-Shadr, Muhammad Baqir. al-Madrasah al-Qur’aniyyah. Ttp: Dâr al-Kitâb al-Islâmîy. 2013.

Muslim, Musthafa. Mabâits fî al-Tafsîr al-Maudhû’î. Damaskus: Dâr al-Qalam. 2000.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *