Ma’nā cum Magzā: Pendekatan Menggali Makna Al-Qur’an dari Nol?

Pendekatan ma’nā cum magzā yang digagas oleh Sahiron Syamsuddin (Guru Besar Bidang Ilmu Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) tidak lepas dari inspirasi para intelektual muslim seperti al-Syāṭibī, Ibn ‘Āsyūr, Fazlur Rahman, Naṣr Ḥāmid Abū Zayd, al-Ṭālibi, Abdullah Saeed dan filsuf Barat Hans-Georg Gadamer, Jorge Gracia.  Ma’nā cum Magzā yang dinilai sebagai pendekatan penafsiran al-Qur’an yang dapat mengungkapkan pesan ayat saat turunnya al-Qur’an dan mengimplementasikan bentuk pesan tersebut sesuai konteks masa kini dan akan datang.  

            Bentuk kontekstualisasi ma’nā cum magzā tentunya tidak hanya menekankan pada aspek kontek historis pada saat turunnya al-Qur’an (asbāb an-nuzūl: mikro-makro) tetapi juga memperhatinkan konteks pada masa penafsir menafsirkan ulang al-Qur’an. Dalam buku Pidato Pengukuhan Guru Besar, Sahiron telah mendeskripsikan secara gamblang bahwa pendekatan ma’nā cum magzā adalah pendekatan yang di dalamnya seseorang menggali atau merekontruksi makna al-Qur’an dan pesan utama historis yaitu makna (ma’nā) dan pesan utama (magzā), kemudian dikembangkan oleh penafsir sesuai dengan kondisi sekarang. (Sahiron dalam buku pidato pengukuhan, pendekatan ma’nā cum magzā atas al-Qur’an : paradigma, prinsip, dan metode penafsiran, 2022).

Bacaan Lainnya

Aplikasi Pendekatan Ma’nā cum Magzā

            Definisi ma’nā cum magzā di atas hasilnya dapat menyingkap makna dan pesan utama historis kemudian dikontekstualisasikan sesuai dengan perkembangan zaman. Sehingga untuk menemukan hasil al-ma’nā at-tārīkhī (makna bahasa), al-magzā at-tārīkhī (pesan utama historis/signifikansi fenomenal historis), dan al-magzā al-mutaḥarrik al-muāṣir (signifikansi fenomenal kontemporer/kontekstualisasi). Seorang penafsir harus mengaplikasikan terlebih dahulu langkah-langkah sebagai berikut :

            Pertama, analisis kebahasaan digali dengan mencari makna asal kata kunci dalam al-Qur’an. Analisis kebahasaan dapat digali dengan memperhatinkan makna asal dari masa sebelum dan setelah al-Qur’an diturunkan. Tujuan dari analisis bahasa tersebut tentu untuk mengetahui adanya perkembangan makna dari masa ke masa yang meliputi pre-Qur’anic meaning (masa sebelum al-Qur’an diturunkan), Qur’anic meaning (masa al-Qur’an), post-Qur’anic meaning (masa sesudah al-Qur’an diturunkan).

            Langkah-langkah pengaplikasian ma’nā cum magzā yang diawali dengan melakukan penggalian makna dengan analisis kebahasaan menunjukkan adanya rekontruksi makna al-Qur’an dari awal. Sehingga perlunya seorang peneliti al-Qur’an yang mengaplikasikan ma’nā cum magzā menghilangkan terlebih dahulu adanya bias-bias penafsiran lain. Penggalian makna yang dijadikan sebagai kata kunci dari awal harus dicari dengan referensi yang menunjukkan makna asli. Sahiron menyampaikan dalam tulisannya bahwa untuk mengetahui makna dasar kata, seseorang perlu menggunakan kamus Arab klasik seperti Lisān al-`Arab karya Ibnu Manẓūr.

            Sya’ir Jāhiliy yang dijadikan sebagai penguatan juga dalam menyingkap makna pada masa pra-al-Qur’an diturunkan dapat menjadi alat bantu dalam analisis linguistik (kebahasaan). Poin penting dalam analisis kebahasaan ma’nā cum magzā adalah penggalian makna dimulai dari awal yang tidak mengambil referensi dari hasil penafsiran lain, sehingga ma’nā cum magzā menyandang sebagai pendekatan al-Qur’an yang menggali makna dari nol (dari awal).

            Penelusuran makna dasar dari kata kunci al-Qur’an yang harus memerhatikan dari masa sebelum dan sesudah turunnya al-Qur’an. Proses penggalian makna yang menggunakan pendekatan sejarah ini ditujukan untuk mengetahui ada/ tidaknya perkembangan makna (sinkronik-diakronik). Langkah tersebut dapat dijadikan sebagai pengetahuan dalam memahami kata kunci yang digali.

            Kedua, analisis intratekstual. Tujuan dari analisis ini adalah sebagai penguat dari analisis kebahasaan maupun dapat membantu perkuat dengan menyingkap makna dasar yang dijadikan sebagai kata kunci. Konsep dari analisis intratekstual idealnya dilakukan dengan menganalisis bentuk medan semantik dan paradigmatik dari kata kunci tersebut. Konsep intratekstual berhubungan erat dengan ayat yang masih mempunyai ketersinambungan dengan kata kunci.

            Kata kunci yang digali dalam intratekstual dapat membantu peneliti untuk melihat terjadinya pergeseran makna ketika kata kunci bersanding dengan kata lain dalam al-Qur’an dan melihat adanya perubahan makna ketika ayat al-Qur’an digali dari sisi tartīb an-nuzūl. Analisis medan semantik dan paradigmatik dapat membantu secara cermat adanya pergeseran atau perubahan makna dalam al-Qur’an. Dengan begitu, dalam analisis intratekstual mengajak peneliti untuk menganalisis kata secara luas.

            Ketiga, analisis intertekstual. Analisis ini masih tergolong sebagai alat bantu dari analisis sebelumnya. Analisis intertekstual dilakukan sebagai penguatan mencari makna kata setelah mengaplikasikan analisis intratekstual. analisis intertekstual adalah analisis yang mempunyai kinerja dengan cara membandingkan maupun menghubungkan ayat al-Qur’an dengan teks-teks lain yang semasa. Teks-teks tersebut dapat meliputi hadis Nabi, puisi Arab, teks-teks Yahudi-Nasrani atau lainnya yang masih dalam kategori semasa dalam pewahyuan al-Qur’an.

            Keempat, memperhatikan konteks historis mikro-makro pada saat turunnya ayat al-Qur’an. Tidak mengesampingkan penelusuran terhadap koteks historis pada ayat adalah bagian yang harus dilakukan oleh penafsir al-Qur’an. Karena kecenderungan memahami teks secara tekstual menurut al-Qarḍāwi dapat menjadi salah satu sebab munculnya paham radikalisme agama. (Yusuf Qardawi, as-Saḥwah al-Islāmiyyah baina al-Juḥūd wa at-Taṭarruf, 1402 H).

            Keempat langkah aplikatif dari teori ma’nā cum magzā di atas dapat memberikan hasil dalam mengungkap al-ma’nā at-tārīkhī (makna bahasa) dan al-magzā at-tārīkhī (signifikansi fenomenal historis). Terlebih penelusuran konteks historis yang berpengaruh penting dalam mengungkap magzā (pesan utama pada ayat). Pesan utama yang dicari (magzā) pada ayat adalah pesan pada saat diturunkannya ayat al-Qur’an atau pada masa Nabi Muhammad SAW.

            Apabila sudah menemukan hasil dari al-ma’nā at-tārīkhī dan al-magzā at-tārīkhī sebagaimana dari langkah-langkah pengaplikasian di atas. Maka langkah yang ditempuh adalah dengan mengkontekstualisasikan. Bentuk pengembangan kontekstualisasi ini dapat disebut sebagai al-magzā al-mutaḥarrik al-muāṣir (signifikansi fenomenal historis). Sahiron menjelaskan bahwa supaya magzā mutaḥarrik al-muāṣir menjadi luas, maka perlu untuk mengkaitkan dengan ilmu-ilmu lainnya seperti psikologi, psikologi, antropologi dan lainnya dalam batas yang cukup.

            Sebagai catatan penutup, pendekatan ma’nā cum magzā yang terbilang sebagai pendekatan baru dalam menafsirkan al-Qur’an, tentu terdapat respon pro-kontra dalam menyikapinya. Terlepas dari itu, pendekatan ma’nā cum magzā secara eksplisit dapat mengusung inisiatif baru sebagai pendekatan yang dapat menjembatani antara kubu kanan dan kiri. Penggalian makna yang dilakukan tidak serta merta dari hasil pribadi secara murni, akan tetapi tetap menggunakan sumber referensi kitab-kitab para ulama’.

            Identifikasi hasil makna yang digali dikategorikan sebagai bentuk kehati-hatian karena mempertimbangkan analisis kebahasaan, intratekstual dan intertekstual. Tetapi bagaimanapun juga, seorang peneliti yang menggunakan pendekatan ma’nā cum magzā harus dibekali dengan keilmuan yang luas. Sedangkan upaya merekontruksi makna al-Qur’an bertujuan untuk mengungkap makna yang sesuai dengan kondisi zaman sebagai bentuk kemaslahatan.

            Teks al-Qur’an yang bersifat statis dan maknanya dapat berkembang (dinamis) memunculkan keyakinan bahwa al-Qur’an ṣāliḥ likulli zamān wa makān (al-Qur’an itu sesuai untuk segala zaman dan tempat). Maka, pesan utama yang terdapat dalam al-Qur’an bersifat universal. Menurut Sahiron “universalitas pesan al-Qur’an memerlukan adanya penafsiran, reaktualisasi, dan reimplementasi yang terus menerus”. Dengan demikian, pendekatan ma’nā cum magzā dapat dianggap, berdasarkan argumen Sahiron, sebagai upaya menggali makna ulang ayat al-Qur’an yang diharapkan dapat menjawab problematika zaman yang sesuai dengan situasi dan kondisi.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *