Mengenal Resepsi atas al-Qur’an

Konsep Resepsi Secara Umum

Secara bahasa kata resepsi berasal dari kata recipere (Latin), reception (Inggris), yang memiliki arti sebagai penerimaan atau penyambutan. Dalam kamus Babylon, reception memiliki makna acceptence atau act of receiving yang artinya resepsi atau aksi penerimaan. Adapun istilah resepsi yang   dimaksud   dalam   kajian   al-Qur’an   adalah   bagaimana   al-Qur’an sebagai teks diresepsi atau diterima oleh generasi muslim awal dan bagaimana  memberikan  reaksi  terhadap  al-Qur’an (F. Riyadi, 2014, p. 46).

Bacaan Lainnya

Secara makna definisi luas resepsi adalah pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya, sehingga dapat memberikan respons terhadapnya (Ratna, 2015, p. 165). Oleh karena itu, dalam penelitian yang dimaksudkan resepsi adalah pandangan pembaca terhadap teks  al-Qur’an dan  tindakan  seseorang terhadap al-Qur’an  yang  kemudian  dijadikan sebagai  dorongan  dalam  melakukan  aktifitas.  Tentu  saja  resepsi   tidak secara  dijelaskan  dalam  ilmu-ilmu  baik  al-Qur’an maupun  hadits,  akan tetapi  resepsi  masuk  dalam  kajian  ilmu  living.

Teori yang dikemukakan oleh Iser mengemukakan suatu konsep yang dapat disebut sebagai implied reader. Implied reader adalah pembaca teks, yang sebelumnya memiliki karakter, visi akademik, dan sejarah sosialnya sendiri. Oleh karena itu, ada dua aspek yang lebih penting dalam konsep ini, yaitu peran pembaca sebagai struktur tekstual, yaitu struktur teks yang menunjukkan bagaimana informasi diorganisasikan dalam teks tertulis. Aspek ini membantu kita memahami bahwa teks dapat mengungkapkan gagasan utama.

Kemudian aspek kedua adalah peran pembaca sebagai perilaku yang terstruktur, yang menjelaskan bagaimana pemahaman seseorang tersusun dan memungkinkan dia untuk bertindak. Selanjutnya, teori tersebut akan mengarah pada pengenalan pembaca teks dengan karakteristik historis dan sosial sebelumnya, dan pada pengetahuan tentang konteks di mana mereka telah melalui fase tindakan tekstual dan tindakan terstruktur (Rahima, 2016, pp. 10–12).

Ilmu living al-Qur’an adalah bentuk kajian al-Qur’an dan penafsirannya  di  ruang sosial kemasyarakatan. Ilmu living hadits adalah bentuk kajian atas fenomena praktik, tradisi, ritual atau perilaku yang hidup di masyarakat yang berlandaskan hadis Nabi (Hasbillah, 2019, pp. xvii–xviii). Kajian living merupakan  hal  baru  dalam keilmuan al-Qur’an dan hadis serta ilmu ini berdiri sendiri karena memiliki epistemologi, ontologi dan aksiologi berbeda dengan ilmu lainnya. Contohnya dalam kasus Jald (cambuk) yang tertera pada Perda Syariah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dapat menjadi kajian fikih jika mngedepankan prinsip istidlal, istinbath.

Namun juga bisa berupa kajian hadis apabila mngedepankan melalui kajian hadis sseperti meneliti periwayat hadisnya dan sebagainya. Serta adapat menjadi kajian living jika melihat dari segi aspek fenomena yang dilihat melalui bagaimana realitas yang sesungguhnya terjadi di masyarakat yang mereka bener-benar sebagai bentuk untuk menghidupkan al-Qur’an dan hadits (Hasbillah, 2019, pp. 202–204). Wolfgang Iser memberikan perhatian pada hubungan antara teks dengan pembaca, dalam hubungan ini kekuatan dorongan karya teks untuk memberikan pengaruh/efek kepada pembaca teks (dalam hal ini pembacaan al-Qur’an) (Ratna, 2015, pp. 170–171).

Variasi Resepsi Muslim Terhadap Al-Qur’an

Membaca  al-Qur’an  menjadi  begitu  sangat  penting  bagi umat  muslim,  sebagaimana  dikutip  dari  perkataan  Ali  r.a:  “al-Qur’an adalah  teks  yang  tidak  dapat  berbicara,  yang  dapat  membuat al-Qur’an berbicara adalah manusia (khususnya muslim) sebagai pembacanya. Ia menyatakan  bahwa  al-Qur’an  hanyalah  tulisan  yang  dikumpulkan  dalam dua sampul buku yang tidak berbicara, kecuali manusia yang membuatnya berbicara (Fadl, 2002, p. 65). Dalam perkataan tersebut memiliki makna bahwa kita sebagai pembaca yang dapat membuat al-Qur’an seolah-olah hidup berdampingan dengan kehidupan kita sehari-hari bahkan diimplementasikan dalam berbagai aktifitas.

Al-Qur’an kumpulan  kata-kata  Ilahi  yang  bacaannya  dapat menusuk kedalam hati terdalam ketika ayat-ayat dilantunkan, bahkan menjadi   sebuah   media   penenteram   amarah. Al-Qur’an memiliki kekuatan daya tarik yang berirama dan retoris serta sajak dan maknanya yang tidak dapat ditandingkan dengan lainnya (Hitti, 2018, p. 55).

Tokoh paling kuat yang ditakuti oleh bangsa Arab yaitu Umar bin Khatthab, namun   ketika   dia   mendengarkan   ayat-ayat   suci   al-Qur’an   yang dibacakan oleh adik perempuannya yaitu Fatimah bersama suaminya bernama Sa’id bin Zayd, hatinya tersentuh dengan lantunan merdu irama retoris al-Qur’an, kemudian beliau membaca juga beberapa ayat dari suat Taha, beliau berkomentar: “Alangkah indah dan mulianya firman ini” (Baidowi, 2007, p. 22).

Fenomena surah al-Fatihah misalnya, sebuah kisah diceritakan ada beberapa sahabat Rasulullah pulang dari bepergian dan kebetulan melewati sebuah kaum yang ketua sukunya sedang jatuh sakit. Wakil kaum ini meminta para sahabat untuk menyembuhkan dan mereka berjanji akan memberikan imbalan setimpal. Kemudian para sahabat setuju. Salah seorang mencoba untuk menyembuhkan sakit sang kepala suku dengan membacakan surat al-Fatihah, setelah beberapa waktu sang kepala suku kembali sembuh, dan para sahabat mendapatkan upah berupa kambing (Ahimsa-Putra, 2012, p. 245).

            Pada perkembangan kajian interaksi sebagai resepsi terhadap al-Qur’an terdapat berbagai macam varian bentuk, yaitu:

Resepsi Tulisan Al-Qur’an

Seorang ulama Fahmida Sulaiman menyatakan bahwa: “Banyak kaum muslim terus mengekpresikan keimanan dan pengabdian mereka melalui media makna artistik visual, misalnya, dengan menghasilkan karya seni yang indah atau dengan memahat kata-kata seuci sebagai hiasan arsitektur atau dengan melukis ayat-ayat dari al-Qur’an pada kanvas atau dinding. Meskipun bentuk seni tersebut bervariasi dari satu negeri kenegeri lain dan dari masa ke masa. Tetapi faktor yang dapat mempersatukan adalah inspirasi dari firman Allah menghubungkan para seniman logam di Syiria kepada pembuat kaligrafi di Cina” (Rafiq, 2014, p. 152).

Resepsi wujud kaligrafi yang dapat peneliti temukan yaitu kaligrafi karya Syaiful Adnan seorang seniman kaligrafi. Dalam berbagai karya kaligrafinya muncul atas respon dari pembacaan terhadap al-Qur’an. Beberapa karyanya yaitu kaligrafi surat al-Fatiha>h yang dilukiskan dengan frame/bingkai segitiga yang meruncing ke atas dengan lafal Allah tepat berada di pucuknya menunjukkan makna ketauhidan, yaitu ke-Esa-an Allah sebagai satu-satunya dzat yang patutu disembah. Dari segi pewarnaan yang dilambangkan dengan menggunakan dominan warna biru toska yang memiliki makna sebagai simbol inti ajaran agama Islam sebagaimana kandungan utama surat al-Fatihah (Jannah, 2017, p. 45).

Resepsi Mushaf  Al-Qur’an

Resepsi kerangka Quran meliputi pembagian al-Qur’an menjadi 30 juz, dan membagi juz menjadi ruku’ (versi Indonesia) dan hizb (terbitan Mesir dan Menara Kudus). Kemudian cara menerima al-Qur’an berdasarkan khat yang digunakan adalah khat Ustmaniyah (terbit di Mesir dan Indonesia) dan khat Arab modern (terbitan Menara Kudus). Kemudian, terakhir adalah resepsi varian menggunakan sampul depan dan dalam, penggalan ayat di halaman 2, 3, dan seterusnya, dan jumlah baris di halaman 1, serta teknik penyajian 2, 3, dan seterusnya (Santoso, 2004, p. 87). Dinamika ini untuk kenyamanan semua umat Islam untuk menghafal dan membaca al-Qur’an.

Referensi

Ahimsa-Putra, H. S. (2012). The Living Qur’an: Beberapa Perspektif Antropologi. Jurnal Walisongo, 20(1).

Baidowi, A. (2007). Resepsi Estetis Al-Qur’an. Jurnal ESSENSIA, 8(1).

Fadl, K. M. A. El. (2002). Musyawarah Buku: Menyusuri Keindahan Islam Dari Kitab Ke Kitab (A. Ali (trans.)). PT Serambi Ilmu Semesta.

Hasbillah, A. ’Ubaydi. (2019). Ilmu Living Qur’an-Hadis: Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi (M. Hanifuddin (ed.); I). Maktabah Darus-Sunnah.

Hitti, P. K. (2018). A History Of The Arabs (D. S. Riyadi (trans.)). Qalam.

Jannah, I. L. (2017). Resepsi Estetik Terhadap Al-Qur’an Pada Lukisan Kaligrafi Syaiful Adnan. Jurnal NUN, 3(1).

Rafiq, A. (2014). The Reception of The Qur’an in Indonesia: A Case Study of The Place of The Qur’an in a Non-Arabic Speaking Community. The Temple University Graduated Board.

Rahima. (2016). Literature Reception (A Conceptual Overview). Jurnal Ilmiah Dikdaya, 6(1).

Ratna, N. K. (2015). Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra (XIII). Pustaka Pelajar.

Riyadi, F. (2014). Resepsi Umat Atas Alquran: Membaca Pemikiran Navid Kermani Tentang Teori Resepsi Alquran. HUNAFA: Jurnal Studia Islamika, 11(1), 43. https://doi.org/10.24239/jsi.v11i1.339.43-60

Santoso, I. (2004). Resepsi Al-Qur’an Dalam Berbagai Bentuk Terbitan. Jurnal Humaniora, 16(1).

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *