Krisis Epistemologi Keilmuan Islam
Kebenaran Al-Qur’an merupakan keyakinan mendasar dalam Islam. Namun demikian, muncul persoalan bagaimana Al-Qur’an mampu berdialog dengan realitas masyarakat Islam. Hal ini terlihat dari dinamika pemikiran ulama dalam menjawab persoalan dalam konteks realitas sosial yang terus mengalami perubahan. Misalnya pemikiran Abu Hanifah yang hidup di kota metropolitan sangat berbeda dengan Al-Syafi’i yang tinggal di Mesir yang agraris. (Komaruddin Hidayat, 1996: 134)
Fakta tersebut menunjukkan bahwa epistemologi Islam sangat apresiatif terhadap realitas sosial. Namun sayangnya epistemologi Islam yang dinamis ini tidak berlanjut hingga generasi Islam berikutnya. Ia telah berubah menjadi statis dan kaku. (Ilyas Supena, 2008: 239)
Konstruksi keilmuan Islam klasik diterima umat Islam secara dogmatis tanpa analisis historis sosiologis. Akibatnya, wacana Al-Qur’an kehilangan relevansi historisnya dan studi-studi keIslaman pun hadir dalam paket-paket produk ulama yang cenderung dianggap final. Sehingga secara praktis, ilmu-ilmu keislaman tidak mampu berbicara di tengah problematika sosial umat.
Menyadari kenyataan tersebut, lahirlah pemikir Islam yang cukup kritis terhadap warisan pemikiran Islam, yang diwakili oleh sosok Fazlur Rahman (1919-1988). Ia adalah pemikir asal Pakistan yang lahir dari latar belakang pendidikan Islam klasik dan pendidikan modern Barat. (Taufik Adnan Amal, 1993: 82)
Rahman melihat telah terjadi kesenjangan antara prinsip-prinsip epistemologi Islam (normative Islam) dan aktualisasi prinsip-prinsip tersebut dalam realitas historis (historical Islam). Kesenjangan inilah yang kemudian menurut Rahman melahirkan krisis epistemologi ilmu-ilmu keislaman.
Krisis ini tampak dari menurunnya produktivitas ulama pasca periode formatif dan dari materi ilmu-ilmu keIslaman yang hanya bersifat komentar (syarh) atau komentar atas komentar (hasyiyah)terhadap produk pemikiran klasik yang terus dipertahankan hingga saat ini. Keilmuan Islam telah kehilangan tradisi berpikir kritis sehingga lahirlah sakralisasi terhadap pemikiran keagamaan. (Ilyas Supena, 2014: ix)
Menurut Rahman juga, epistemologi ilmu-ilmu keislaman masih didominasi oleh pendekatan tekstual tanpa adanya penalaran kritis rasional. Hal ini menyebabkan realitas sosial sering kali terabaikan, lalu wacana Al-Qur’an kehilangan relevansi historisnya.
Tawaran Hermeneutika Fazlur Rahman
Mengatasi masalah krisis epistemologi keilmuan Islam yang telah dipaparkan sebelumnya, Rahman mencoba merumuskan hubungan dialogis antara universalitas dan partikularitas pesan Al-Qur’an melalui pendekatan hermeneutika, sekaligus menjadikannya sebagai alat metodologis untuk mengembangkan ilmu-ilmu keislaman.
Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa hermeneutika tidak hanya menaruh perhatian pada teks, akan tetapi juga memerhatikan aspek dunia pengarang dan dunia pembaca. Dengan kata lain, dalam hermeneutika selalu terjadi dialektika antara teks dan konteks, sehingga lahirlah ilmu-ilmu Islam yang siap memberikan solusi responsif terhadap dinamika masyarakat.
Rahman menjadikan hermeneutika sebagai alat analisis dalam melaksanakan fungsi ijtihād untuk memahami pesan yang terkandung dalam teks Al-Qur’an yang lahir empat belas abad yang lalu agar pesan teks tersebut tetap dinamis, hidup dan fungsional untuk zaman sekarang.
Dalam posisi ini, hermeneutika berguna untuk memahami Al-Qur’an sebagai satu kesatuan, bukan sebagai perintah yang terpisah-pisah. Rahman menyatakan: “satu bagian Al-Qur’an menafsirkan bagian yang lain” (Al-Qur’an yufassiru ba‘dhuhu ba‘dhan). (Fazlur Rahman, 1986: 45)
Pemahaman holistik Rahman ini tampak sejalan dengan ungkapan Al-Syathibi yang menyatakan bahwa kalam Allah merupakan satu kesatuan (kalaamun ilaahiyun huwa kalaamun wahidun). (Al-Syathibi, 1969: 284)
Prinsip-prinsip Al-Qur’an harus dipahami untuk kemudian memformulasikan suatu teori sosial moral yang padu dan komprehensif, yang kemudian disebut Rahman sebagai hukum ideal (ideal law) atau disebut juga ideal moral. Ideal law yang merupakan representasi kehendak Tuhan harus dibedakan dari aturan-aturan hukum (legal law) yang spesifik. Legal law harus dipandang sebagai kontekstualisasi ideal law dalam lingkungan yang spesifik.
Rahman berusaha mengobservasi hukum ideal ini dengan sebuah metode yang ia sebut sebagai metode penafsiran sistematis (the systematic interpretation method), yang meliputi dua gerakan ganda (double movement), yaitu penafsiran from the present situatioin to Qur’anic time, then back to the present. (Fazlur Rahman, 1979: 5)
Gerakan pertama adalah pemikiran yang berangkat dari sesuatu yang khusus (particular) kepada yang umum (general). Gerakan ini dilakukan dengan dua langkah:
pertama, memahami makna ayat-ayat spesifik Al-Qur’an dengan mengkaji problem historis yang ingin dijawabnya. Selain itu juga perlu dikaji situasi makro dalam batasan masyarakat, agama, adat-istiadat, lembaga dan kehidupan masyarakat Arab saat Islam datang;
kedua, mengeneralisasikan respon spesifik Al-Qur’an dan menyatakannya sebagai ungkapan yang memiliki tujuan moral sosial umum. Ajaran Al-Qur’an harus dipahami sebagai suatu kesatuan yang saling terkait, sehingga setiap tujuan yang dirumuskan akan koheren satu sama lain.
Sedangkan gerakan kedua adalah pemikiran dari yang umum kepada yang khusus, yaitu upaya penerapan rumusan prinsip-prinsip umum, nilai-nilai dan tujuan-tujuan (ideal moral) Al-Qur’an pada situasi dan kasus aktual.
Dari pemikiran hermeneutika yang ditawarkan Rahman, terlihat bahwa Rahman sangat mengutamakan pertimbangan prinsip ideal moral dalam memaknai Al-Qur’an. Menurut Moch. Nur Ichwan (UIN Sunan Kalijaga), ideal moral ini tidak jauh berbeda dengan maqashid syari’ah.
Meski konsep ideal moral Rahman ini memungkinkan kritik di mana situasi sosial yang terus berubah akan menuntut pemahaman terhadap Al-Qur’an agar selalu kontekstual dan relevan dengan setiap zaman. Namun, hal ini dikhawatirkan akan melahirkan intersubjektivitas nan relatif karena pesan Al-Qur’an yang dipandang relevan dengan ruang waktu tertentu belum tentu relevan dengan ruang waktu yang lain.
Akan tetapi menurut Rahman intersubjektivitas ini tidak akan sampai melahirkan relativisme, karena fleksibilitas rumusan keilmuan Islam tersebut akan selalu dikembalikan kepada prinsip-prinsip moral Al-Qur’an yang merupakan esensi dan landasan dalam merumuskan keilmuan Islam.
Melalui prinsip-prinsip moral Al-Qur’an ini, Rahman ingin mengatakan bahwa ajaran Islam bersifat kondisional dan fleksibel. Oleh karenanya, apabila diskursus hermeneutika Fazlur Rahman ini diterapkan sebagai landasan epistemologi dan metodologi ilmu-ilmu keislaman, maka diharapkan akan lahir produk pemikiran yang mampu menjawab dinamika dan perkembangan sosial historis umat Islam.
Keilmuan Islam yang sudah dirumuskan ulama klasik tidak lagi statis dan dianggap sebagai sesuatu yang final, tapi akan terus berkembang seiring berkembangnya zaman dan realitas sosial umat Islam. Argumentasi ini akan membawa ajaran Islam ataupun Al-Qur’an yang shalih li kulli zaman wa makan bukan lagi sekedar teori.
Referensi
Al-Syathibi. Al-Muwafaqat. Kairo: Maktabat wa Mathba‘at Muhammad ‘Ali Shabih wa Awladih. 1969.
Amal, Taufik Adnan. Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman. Bandung: Mizan. 1993.
Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik. Jakarta: Paramadina. 1996.
Rahman, Fazlur. Interpreting the Qur’an. Afkar Inquiry: Magazine of Events and Ideas. 1986.
…………….. Islam. Chicago: Chicago University Press. 1979.
Supena, Ilyas. Epistemologi Hukum Islam dalam Pandangan Hermeneutika Fazlur Rahman. Jurnal Asy-Syir’ah.Vol. 42. No. 2. 2008.
Supena, Ilyas. Hermeneutika Al-Qur’an dalam Pandangan Fazlur Rahman. Yogyakarta: Penerbit Ombak. 2014.