Proses penciptaan alam semesta merupakan suatu pembahasan yang menarik bagi sebagian orang. Banyak para ahli kosmologi yang melakukan penelitian mengenai bagaimana proses terbentuknya alam semesta ini, yang akhirnya menghasilkan teori yang banyak disetujui, yaitu Teori Big Bang. Namun, jauh sebelum itu Al-Qur’an telah menjelaskan bagaimana alam semesta ini terbentuk, yang secara naratif memiliki kesesuaian dengan teori tersebut. Semakin berkembanganya sains dan teknologi, maka akan semakin membuktikan kebenaran Al-Qur’an.
Pembahasan Al-Qur’an mengenai proses penciptaan alam semesta dapat ditemukan di beberapa ayat yang tersebar di berbagai surat. Namun, informasi tersebut hanya bersifat garis besar atau prinsip–prinsip dasar saja, karena Al-Qur’an bukanlah sebuah buku kosmologi atau buku ilmu pengetahuan yang menguraikan penciptaan alam semesta secara spesifik. Sehingga memunculkan banyak interpretasi dari para mufasir maupun filosof terhadap kandungan ayat – ayat yang dimaksud.
Di antara ayat–ayat Al-Qur’an yang membahas tentang proses penciptaan alam semesta yaitu terdapat dalam Q.S. Al-Anbiya’[21] : 30 :
اَوَلَمْ يَرَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْٓا اَنَّ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنٰهُمَاۗ وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاۤءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّۗ اَفَلَا يُؤْمِنُوْنَ
“Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwa langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, Kemudian Kami pisahkan antara keduanya. dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapa mereka tidak juga beriman?”. Q.S. Al-Anbiya’ [21]: 30
Secara lafadz ayat tersebut menjelaskan, bahwa allah menegur orang–orang kafir yang mengingkari ayat-ayatnya, apakah mereka tidak tahu, dulunya alam semesta merupakan satu kesatuan yang padu, tidak ada celah di antara keduanya untuk dilalui oleh air hujan, kemudian Allah memisahkan antara keduanya sehingga berdiri masing–masing seperti sekarang ini. Sehingga bisa dilalui air hujan, kemudian dengan air itu semua makhluk yaitu hewan dan tumbuhan yang ada di bumi diciptakan. Dengan begitu, agar mereka mengambil pelajaran.
Ibnu Katsir menulis dalam tafsirnya tentang surat Al-Anbiya’ ayat 30, sebagai berikut :
وقال إسماعيل بن أبي خالد: سألت أبا صالح الحنَفِي عن قوله: {أَنَّ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَاهُمَا}، قال: كانت السماء واحدة، ففتق منها سبع سماوات، وكانت الأرض واحدة ففتق منها سبع أرضين.
“Bahwa Ismail bin Abu kholid pernah bertanya kepada Abu Sholih Al-Hanafi tentang ayat أَنَّ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَاهُمَا, kemudian Abu Sholih menjelaskan, langit dahulunya menyatu, lalu dipisahkan menjadi tujuh lapis langit, dan bumi dahulunya menyatu, lalu dipisahkan menjadi tujuh lapis”. (Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Surat Al-Anbiya’ Ayat 30, Juz. 5, hlm. 339)
Bisa di fahami bahwa surat Al-Anbiya’ ayat 30 menguak sebuah fakta ilmiah, sekaligus juga dibuktikan dengan sains modern pada masa kini. Teori Big Bang adalah bukti nyata bahwa penciptaan alam semesta ini tercipta melalui ledakan besar, yang memisahkan semua partikel–partikel yang awalnya berupa gumpalan yang sangat padat. Hingga kini, alam semesta terus berkembang dan semua benda–benda langit bergerak ke segala arah, hal itu yang menjadi pijakan jika energi penggerak tersebut berasal dari ledakan kuno.
Imam Ashobuni menulis dalam tafsirnya Shofwatu At-Tafaasir,
ان السموات والارض كانتا شيئا واحدا ملتصقتين
“yaitu bahwa dahulu langit dan bumi merupakan suatu kesatuan yang menempel”.
Kemudian, Allah memisahkan diantara keduanya, meninggikan langit sebagaimana tempatnya dan merendahkan bumi sebagaimana tempatnya. Imam Ashobuni juga mengutip perkataan dari Ibnu Abbas sebagai berikut:
وقال ابن عباس: كانت السموات رتقا لا تمطر، وكانت الارض رتقا لا تنبت، ففتق هذه بالمطر، وهذه بالنبات
“Ibnu Abbas berkata : dahulu langit menempel dan tidak bisa menurunkan hujan, dan dahulu bumi juga menempel dan tidak bisa menumbuhkan tumbuhan (maksudnya langit dan bumi keduanya dahulu satu kesatuan yang padu), maka keduanya dipisahkan, langit dengan hujan sedangkan bumi dengan tumbuhan.” (Ashobuni, Shofwatu At-Tafaasir, Surat Al-Anbiya ayat 30, Juz. 2, hlm. 199)
Jadi, jika kita mengambil kesimpulan, kita akan mendapatkan bahwa disini ada keselarasan antara tafsir Al-Qur’an dengan sains modern. Tafsir Al-Qur’an mengatakan bahwa dahulu langit dan bumi itu satu kesatuan yang saling menempel dan kemudian dipisahkan oleh Allah dan jadilah seperti yang sekarang ini. Sedangkan dalam sains modern, dahulu langit dan bumi itu berasal dari benda padat kecil yang saling merekat, kemudian meledak memisahkan bagian atas dan bagian bawah, sehingga tercipta ruang diantara keduanya yang sekarang disebut ruang angkasa.
Perdebatan Antara Tafsir Al-Qur’an Dengan Sains Modern
Al-Qur’an yang membicarakan berbagai fenomena alam seperti awal terbentuknya alam semesta ini terkadang menimbulkan berbagai perdebatan dengan teori sains modern. Berbagai penegasan ayat Al-Qur’an membuatnya dipandang sebagai bukti kebenaran Al-Qur’an. Tak jarang ayat Al-Qur’an yang mematahkan teori sains modern seperti teori evolusi yang dicetuskan oleh Carles Darwin yang menjelaskan tentang awal mula manusia. Al-Qur’an telah menegaskan bahwa pendapat tersebut tidak benar. (Mubin, 2020)
Al-Qur’an dan sains merupakan dua hal yang menarik untuk diulas. Keduanya terkadang memiliki keselarasan namun terkadang juga menaruh perdebatan diantara keduanya. Mereka yang sejalan cara berpikirnya dengan Al-Qur’an mencocokkan teori sains modern dengan ayat – ayat yang ada dalam Al-Quran, yang kemudian mengambil ibrah dari ayat itu. Sedangkan untuk mereka yang sejalan dengan teori sains mengambil dari fenomena alam yang ada, dan diteliti yang kemudian ditarik kesimpulan.
Melihat dari cara berfikir yang berbeda tersebut, maka ada yang berpendapat Al-Qur’an itu tidak sesuai dengan perkembangan sain yang ada. Dalam tulisan kali ini penulis akan mengkaji teori sain modern yaitu Teori Big Bang yang jika di cari dalam ayat al-quran surat Al-Anbiya’ ayat 30 terlihat memiliki keselarasan.
Surat Al-Anbiya’ ayat 30 menjelaskan bahwa dahulu langit dan bumi itu menyatu dan tidak ada ruang diantara keduanya. Kemudian Allah memisahkan antara keduanya, sehingga diantara keduanya terdapat ruang yang berisi berbagai material alam semesta seperti yang sekarang ini. Jika disandingkan dengan Teori Big Bang yang menyatakan bahwa alam semesta berawal dari suatu benda yang padat dan berukuran sangat kecil yag memiliki tekanan yang sangat tinggi, kemudian karena tekanan itu, benda kecil dan padat tersebut memuai dan meledak yang kemudian menjadi alam semesta seperti yang sekarang ini.
Walaupun Al-Qur’an bukan merupakan kitab ilmu pengetahuan, namun boleh–boleh saja apabila seseorang setuju jika Al-Qur’an selaras dengan sains modern. Melihat konteks Al-Qur’an turun untuk membedakan antara yang haqq dan yang bāthil, jadi tidak sepantasnya jika Al-Qur’an disebut sebagai kitab ilmu pengetahuan.
Teori Big Bang
Penjelasan dalam surat Al-Anbiya’ ayat 30 tersebut sesuai dengan “Teori Ledakan Besar” atau biasa di sebut Teori Big Bang. Teori ini banyak diakui oleh para astrofisikawan pada masa kini. Seorang kosmolog dari Belgia yaitu Abbe Georges Lemaitre adalah orang yang pertama kali mencetuskan teori ini sekitar tahun 1927. Menurut Abbe Georges Lemaitre, awalnya alam ini merupakan sesuatu yang sangat padat dan berukuran sangat kecil. Benda tersebut memiliki massa jenis dan suhu yang sangat tinggi yang membuatnya meledak dan melemparkan segala yang dikandungnya.
Benda padat dalam hukum fisika memiliki energi yang sangat besar, sehingga banyak partikel terkumpul di dalamnya yang membuat kondisi benda tersebut sangat kritis (Sada, 2016: 266). Singkatnya teori tersebut sangat cocok jika ditelusuri sesaat sebelum kejadian ledakan itu berlangsung.
Kejadian ledakan tersebut terjadi dalam kurun waktu sekitar 15 miliyar tahun yang lalu, yang semula semua partikel dipadatkan menjadi bola yang sangat kecil yang disebut “singularitas”. Gumpalan yang sangat padat sekaligus suhu yang tinggi, mengakibatkan pemuaian yang sangat cepat, dan akhirnya meledak dan melemparkan seluruh partikel yang dikandunganya ke segala arah. Kemudian partikel–partikel tersebut seiring berjalannya waktu berkumpul untuk membentuk planet–planet dan benda langit lainnya.
Dari pemisahan tersebut akhirnya menghasilkan teori baru, yaitu The Expanding Universe, yang menyatakan bahwa alam ini memiliki sifat seperti gelembung karet yang ditiup. Jadi, langit yang selama ini kita lihat, hakikatnya semakin menjauh dari kita, lebih tepatnya terus mengembang dengan kecepatan yang tiada tanding.
Super Danse merupakan penyebutan lain untuk Teori Big Bang. Teori inilah yang banyak disetujui oleh para ahli, yang dianggap sebagai fakta menurut sains empiris. Bahkan seorang fisikawan sekaligus kosmolog yang berasal dari Inggris yaitu Stephen William Hawking sudah sangat lama melakukan penelitian tentang teori big bang dan black hole.
Maka sangat memungkin jika teori yang telah dikaji dan didukung oleh ilmuwan serta fisikawan dunia tersebut dijadikan sebagai alternatif tafsir terhadap Q.S. al-Anbiya’ [21]: 30 saat ini. Hal ini didukung oleh beberapa argumen yang relevan. Pertama, terjemahan secara leksikal dari Q.S. al-Anbiya’ [21]: 30 memuat narasi yang simetris dengan nalar dasar dari teori Big Bang. Kedua, beberapa komentar para cendekiawan muslim yang direkam dalam kitab tafsir menunjukkan asumsi yang sama dengan teori Big Bang. Ketiga, teori Big Bag diangkap sebagai salah satu teori yang mapan untuk sementara waktu ini sehingga pada konteks saat ini dapat dipergunakan sebagai materi alternatif dalam menafsirkan Q.S. al-Anbiya’ [21]: 30 sampai ada teori baru yang menggantikannya.
Referensi
Ashobuni, Shofwatu At-Tafaasir, Surat Al-Anbiya ayat 30, Juz. 2, hlm. 199
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Surat Al-Anbiya’ ayat 30, Juz. 5, hlm. 339
Mubin, Nurul. Meteorologi Dalam Perspektif Al-Qur’an Dan Sains Modern, Jurnal Kajian pendidikan Sains, Vol. 6, No. 2(2020)
Q.S. Al-Anbiya’[21] : 30
Sada, Heru Juabdin. Alam Semesta Dalam Perspektif Al-Qur’an Dan Hadits, Jurnal Pendidikan Islam, Vol.7, hlm.266