Kontribusi Mahmud Hijazi dalam Mengungkap I’jaz Al-Qur’an: Telaah Konsep Al-Wihdat al-Mauḍū’iyyah fī al-Qur’ān

Salah satu di antara sekian banyak wacana studi tafsir yang masih terus berlangsung ialah diskursus i’jaz Al-Qur’an atau kita kenal dengan istilah kemukjizatan Al-Qur’an. Sebagai kitab suci yang bersumber langsung dari Allah SWT. Tentunya Al-Qur’an menyimpan begitu banyak mukjizat yang tak terhingga hingga sekarang. Tak ayal, jika Abdullah Darraz meng-amsal-kan Al-Quran ini bak berlian yang memancarkan cahaya yang berbeda di tiap sudut lainnya, tidak mustahil jika kita mempersilakan orang lain melihatnya maka ia akan menemukan keindahan yang lebih banyak daripada yang kita lihat. (Abdullah Ad-Darraz, tt)

Berbicara mengenai kemukjizatan Al-Qur’an, ada sebuah topik menarik yang menjadi perhatian oleh para sarjana muslim klasik hingga sekarang, yakni kesatuan Al-Qur’an. Dikatakan kesatuan karena antar satu dengan yang lainnya tak bisa saling terpisahkan. Masing-masing diantaranya saling berkaitan dan berkelindan. Kita ambil contoh misalnya tentang manusia, karakteristik manusia digambarkan bervarian oleh Al-Qur’an di banyak surah, baik Makkiyah maupun Madaniyyah. Hal yang serupa juga terjadi ketika Al-Qur’an menjabarkan tentang khamar, perang, kisah-kisah, keesaan Allah dan lain sebagainya.

Bacaan Lainnya

Beragam kasus yang sama tersebut akan tampak sebagai satu kesatuan jika dikumpulkan menjadi satu kesatuan dalam sebuah pembahasan. Fakta ini yang kemudian dikaji dan dipopulerkan para ulama dengan sebutan al-Wiḥdah al-Mauḍūiyyah (Kesatuan Tema) di dalam Al-Qur’an.

Melacak Genealogis Kesatuan Al-Qur’an

Berdasarkan historis, sebenarnya “kesatuan Al-Qur’an” ini telah hadir bersamaan dengan proses penurunan wahyu. Tepatnya saat Nabi saw. ditanya oleh para sahabat mengenai makna “Az-Dzulm” pada surah Al-An’am [6]: 82. Lalu dijawab oleh Nabi dengan mengaitkannya pada surah Luqman [31]: 13 yang berarti syirik. Atas dalih ini, disinyalir kuat munculnya sebuah istilah al-Qur’an yufassiru ba’dhuhu ba’dhan (Al-Qur’an yang saling menafsirkan).

Amir Faishol Fath dalam bukunya The Unity of Qur’an, mencoba meinventarisir sederet mufassir klasik yang ikut menyuarakan kesatuan Al-Qur’an dalam karya tulisnya. Mulai rentang abad ke 3 hingga 9 H, Amir mengumpulkan nama-nama mereka beserta karyanya seperti Muammar bin al-Muthanna (Majāz al-Qur’ān), Al-Farra’ (Ma’ānil Qur’an), Al-Jahizh (Nazm Al-Qur’ān), Ibnu Qutaibah (Ta’wīl Musykil al-Qur’ān), Al-Rumani (Al-Nuktu fi I’jāz al-Qur’ān), Al-Khaṭṭabi (Bayānu I’jāz Al-Qur’ān), Al-Baqillani (I’jāz Al-Qur’ān), Al-Jurjani (Dalāil al-Qur’ān), Ibnu Aṭiyah (Al-Mihrar al-Wajīz QaḍāI Iyāḍ Al-Shifa’ bi Ta’rifi Huqūq al-Mustafā), Imam al-Razi (Nihāyat al-Ijāz fi Dirāsāt al-I’jāz), Ibnu Qayyim al-Jauziyah (Al-waid al-Mashwūq Ilā ulūm alQur’ān), Burhanuddin Biqa’i (Al-Durar fi Tānasub al-Ayi wa al-Suwār). (Amir Faishol Fath, 2010)

Namun perlu disadari, geliat tinggi yang sudah terjadi di masa klasik terhadap kesatuan al-Qur’an belum mampu menguraikannya secara metodologis. Para ulama klasik hanya menampilkanya secara praktik. Namun, belum menyebut uraian teorinya yang dapat dijadikan pedoman bagi penerus setelahnya. Kondisi inilah yang membuat beberapa ulama kontemporer menaruh perhatian besar bagaimana kohesi dan korelasi dalam Al-Qur’an itu dapat terumuskan.  Muncullah nama al-Farmawi (w. 2017 M) yang menghimpunnya dalam kitabnya Bidāyah fi at-Tafsīr Al-Mauḍū’i yang belakangan ini menjadi minat para akademisi, dengan nama metode tafsir tematik/mauḍū’i.

Sebelum al-Farmawi, juga ada sarjana kontemporer lain seperti Said Hawa (w. 1989) dan Muhammad Syaltut (w. 1963 M) yang juga secara kompak menyuarakan konsep ini. Termasuk juga di antaranya yang ikut serta adalah Muhammad Mahmud Hijazi (w. 1972 M). Ketiga tokoh itu memiliki asumsi dasar di balik pemikiran mereka. Konsep yang mereka tawarkan secara eksplisit bersumber dari Al-Qur’an. Tepatnya dalam tiga ayat dalam tiga surah yang berbeda, yakni dalam surah Hud [11]; 1, an-Nisa [4]; 82, al-Zumar [39]; 23.

Ketiga ayat ini menyatakan bahwa Al-Qur’an memang memiliki koherensi dan setiap bagian yang terdapat di dalamnya saling berkaitan, harmonis serta memiliki tema-tema sentral baik setiap suratnya, setiap kelompok suratnya. Bahkan, diyakini Al-Qur’an itu sendiri memiliki tema sentral yang akan semakin mengokokohkan susunanya dan memperlihatkan keindahan sistematikanya. Maka, para ulama kontemporer seperti para tokoh di atas, salah satunya adalah Mahmud Hijazi mencoba merumuskannya dengan teori yang aplikatif.

Muhammad Mahmud Hijazi: Mufasir Perumus Konsep Al-Wiḥdat al-Mauḍūiyyah fī al-Qur’ān

Nama lengkapnya Muhammad bin Mahmud bin Yusuf bin Muhammad Hijazi As-Syafi’i. Ia merupakan cendekiawan muslim yang lahir di Zaqaziq, Provinsi Timur Mesir pada tahun 1914 M. Kecerdasannya telah terlihat sejak ia kecil sehingga ia dijuluki sebagai Muhammad Ad-Dzaky (Muhammad Yang Cerdas). Selain cerdas, Hijazi juga dikenal sebagai orang yang berbudi pekerti luhur dan sangat peduli akan ilmu. (Mahmud Halim, 2000:  377)

Dalam pengembaran keilmuan, Hijazi menghabiskan masa kecil dan remaja di Ma’had Zaqaziq dan Thanta. Gelar sarjananya, ia dapati di Al-Azhar University, Fakultas Bahasa Arab. Kemudian, ia melanjutkan ke jenjang magisternya di Fakultas Ushuluddin. Sementara gelar doktoralnya, ia ambil masih di tempat yang sama dengan jurusan Tafsir Al-Qur’an. Di waktu inilah, ia menulis desertasinya dengan judul “Al-Wiḥdat al-Mauḍūiyyah fī al-Qur’ān al-Karīm” atau dapat diartikan sebagai “Kesatuan Tematik dalam Al-Qur’an”. Beberapa tahun sebelum menulis disertasinya ini, Hijazi telah merampungkan maha karyanya berupa kitab tafsir berjudul “Tafsir Al-Wāḍiḥ”.

Selanjutnya, Hijazi mengajar di berbagai tempat, mulai di Riyadh sebagai pengajar mata kuliah Tafsir dan Ulumul Qur’an. Kitab tafsirnya sendiri menjadi muqorror di tempat ia mengajar. Di Sudan, Hijazi juga sempat mengajar di daerah Omdurman dan Khourtoum. Hijazi wafat pada tahun 1972 M dan dimakamkan di tempat kelahirannya, Zaqaziq.

Menilik Konsep Al-Wihdat al-Mauḍūiyyah fī al-Qur’ān

Hijazi termasuk di antara sekian banyak ulama kontemporer yang turut menawarkan gagasannya mengenai konsep kesatuan Al-Qur’an. Gagasan yang ditawarkannya ini, muncul setelah ia melihat setiap tema yang terdapat dalam berbagai surah membentuk satu kesatuan yang sempurna. Semuanya saling berkelindan dan berkesinambungan. Setiap surah merupakan satu kesatuan yang bagian-bagiannya saling mengikat dan bertautan. Bagi Hijazi, pengulangan dan keberagaman tema tersebut merupakan salah satu mukjizat Al-Quran. (Amir Faishol Fath, 2010: 40)

Menguaknya perkembangan kajian ini juga didasari pada banyaknya tuduhan para pemikir Barat dari kalangan orientalis yang mempertanyakan susunan mushaf Al-Qur’an sekarang. Tartib surah yang ada dinilai sangat random, tidak terstuktur dan sistematik, membicarakan banyak hal yang tidak relevan satu sama lain. W. Montgomery Watt (w. 2006) dan Richard Bell (w. 1952) misalnya, dikenal sebagai tokoh yang lantang sekali melayangkan tuduhan ini melalui karyanya Introduction to the Qur’an. Maraknya argumen sarjanawan Barat yang semisal itu yang di kemudian hari mendorong para sarjana muslim termasuk Hijazi menjawab tuduhan dilayangkan, sehingga sampai hari ini kajian kesatuan Al-Qur’an masih terus populer. Melalui kajian ini, Hijazi ingin menyampaikan bahwa tidak adanya kontradiksi dan pertentangan dalam Al-Qur’an melainkan saling terikat, terpadu, dan membentuk kesatuan tema yang utuh.

Untuk membuktikannya, Hijazi mengambil contoh seperti larangan khamar yang disebutkan di empat surah dalam berbeda dalam Al-Qur’an. Ayat yang terpencar itu memiliki makna dan maksud tertentu. Akan tetapi, jika makna dan maksud ini dikumpulkan dan disusun menurut waktu turunnya kemudian diteliti dan dungkap rahasia turunnya ayat-ayat tersebut, maka akan sampai kepada sebuah kesimpulan bahwa ayat-ayat pengharaman khamar yang diungkap dalam empat surat berbeda tersebut mempunyai satu kesatuan tema yang utuh, yaitu haramnya khamar. Al-Qur’an mengungkapkannya secara gradual. (Mahmud Hijazi, 1970: 33-34)

Hijazi juga menyampaikan bahwa adanya pengulangan (repetisi) sebuah tema dalam Al-Qur’an menyimpan hal yang urgen dan penting. Hal itu dikarenakan kecenderungan, naluri dan watak manusia yang berbeda di tiap waktu dan tempat ketika ayat itu turun. Ambil contoh ketika membahas kisah Nabi Musa yang diceritakan oleh Al-Qur’an dibahas panjang lebar oleh Hijazi sebanyak 78 halaman di kitabnya itu. Kesemuanya itu baginya akan memberikan pemahaman yang utuh dan saling berkaitan.

Konsep yang digagas Hijazi ini sebetulnya merupakan hasil pengembanganya dalam menulis mognum opusnya, Tafsir Al-Wāḍiḥ. Tafsir lengkap 30 juz itu disusun dengan tartib mushafi dengan metode mauḍūi per surah. Tiap surah, oleh Hijazi, disusun tematis berdasarkan persoalan/topik yang diangkat dari tema-tema tersebut, sehingga kita dapat menemukannya pada pembahasan di tiap surah. Misalnya pada surah al-Qalam, Hijazi membaginya ke beberapa tema, Muhammad adalah Utusan Allah, Sumpah kepada Allah, Kisah Ahli Surga dan Kenikmatannya, Ancaman bagi Para Pendusta. Ini yang Hijazi terapkan dalam penafsirannya di tiap surah.

Hal yang memperkuat bahwa konsep kesatuan Al-Qur’an ini adalah hasil pengembangan dari tafsirnya juga ialah waktu di mana kitab al-Wiḥdah al-Mauḍūiyyah fi al-Qur’an ini ditulis, yakni pada tahun 1968 M. Di awal telah disebutkan bahwa Hijazi memperoleh gelar doktoralnya berkat ia menulis kitab ini. Sedangkan tafsirnya, al-Wāḍiḥ ditulis pada rentang antara tahun 1951-1955 M. Dari sini, kita dapati bahwa konsepnya tidak ia terapkan di kitab tafsirnya, melainkan buah dari hasil riset dan pengembangannya dari tafsirnya tersebut.

Dalam pengaplikasiannya, Hijazi menulis beberapa langkah dan prosedur guna meraih kesatuan Al-Qur’an. Pertama, mengumpulkan ayat-ayat yang memiliki satu tema yang sama. Kedua, mengurutkannya berdasarkan kronologi penurunan ayat. Ketiga, membahasnya di tiap surah beserta mengaitkannya dengan surah sebelum dan sesudahnya. Terakhir, membahas keterkaitan tema di surah yang disebutkan sampai diperoleh apa yang ingin dicari.

Keterkaitannya dengan Metode Tafsir Mauḍūi dan Munāsabah al-Qur’ān

Sebelum masuk pada korelasi terhadap keduanya, ada baiknya kita mengenal metode tafsir mauḍūi dan munāsabah Al-Qur’an terlebih dahulu. Terkait metode tafsir mauḍūi’ (tematik) seperti yang dikatakan Al-Farmawi memiliki tujuan yang sama yakni mengeluarkan hukum-hukum dalam Al-Qur’an dan mengungkapkan korelasi antar ayat.

Metode tafsir mauḍū’i ini dikelompokkan menjadi dua bentuk. Bentuk pertama, mauḍu’i yang membahas satu surah secara komprehensif dan utuh. Menjelaskan maksud baik umum dan khusus, korelasi antar pelbagai masalah, sehingga tampak bahwa surah itu benar-benar utuh dan cermat. Sedangkan kedua, mauḍū’i yang menghimpun sejumlah ayat dari berbagai surah yang sama-sama membicarakan satu masalah tertentu.

Korelasinya dengan kesatuan Al-Qur’an ialah bahwa metode tematik lahir dari konsep kesatuan Al-Qur’an. Disebut demikian, karena Al-Qur’an terkadang menempuh beberapa cara dan narasi dalam mentransmisikan ajarannya. Ada yang mengikuti bentuk pertama dalam satu surah saja dan adapula dengan bentuk kedua disampaikan dalam beberapa surah yang berbeda. Ketika semua itu dikumpulkan niscaya akan membentuk suatu kesatuan tematik yang sempurna yang akhirnya disebut al-wiḥdah al-mauḍūiyyah. (Amir Faishol Fath, 2010: 106)

Dari sini kita dapat ambil benang merah bahwa merupakan tafsir mauḍūi bagian dari kajian kesatuan tema dalam Al-Qur’an karena ulama-ulama yang menghasilkan karya bertemakan tafsir mauḍūi pastilah ia menerapkan hal itu sebagai hasil yang didapat setelah ia mengkaji kesatuan tema dalam Al-Qur’an. Ringkasnya, tafsir mauḍūi merupakan penerapan dari konsep kesatuan Al-Qur’an. Namun, ketika berbicara mengenai kesatuan Al-Qur’an ia lebih umum dan luas cakupannya, karena bisa mengarah pada munāsabah Al-Qur’an dan i’jaz Al-Qur’an.

Adapun munasabah Al-Qur’an sebagaimana menurut Manna’ Al-Qattan bahwa ia berada pada lingkup membicarakan hubungan antar satu kata dengan kata yang lain, satu ayat dengan ayat lain dan bisa juga satu surat dengan surat yang lain. Keterkaitannya dengan konsep kesatuan Al-Qur’an bahwa ilmu munāsabah ini merupakan landasan di balik lahirnya konsep kesatuan Al-Qur’an karena bentuknya yang lebih umum. Munāsabah bersamaan dengan i’jaz Al-Qur’an menjadi embrio atau cikal bakal dari munculnya kajian kesatuan tematik Al-Qur’an.

Referensi:

Ad-Darraz, Abdullah. Tt. An-Naba’ al-Azhim Naẓarāt al-Jadīd fī Al-Qur’ān. Kuwait: Dar al-Qalam.

Faishol Fath, Amir. 2010. The Unity al-Qur’an, trans. Nassiruddin Abbas “Naẓariyāt al-Wihdah Al-Quraniyah ‘inda Ulamāil Muslimīn Wadawruhā Fi al-Fikr al-Islam”.Jakarta: Pustaka al-Kautsar.

Halim, Mahmud. 2000. Manahij Al-Mufassirin. Mesir: Dar al-Kutub.

Hijazi, Mahmud.1970. Al-Wihdah al-Maudhu’iyyah fi al-Qur’an al-Karim, (Kairo: Dar Al-Kutub Al-Haditsah)

Nur Akmalia Apriani, Siti. 2018. Skripsi: Konsep Al-Wihdah al-Maudhu’iyyah Menurut Mahmud Hijazi dan Keberadaannya dalam Tafsir Al-Wāḍih. UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *