Era kontemporer dalam dunia Studi Islam salah satunya ditandai dengan maraknya riset dan kajian terhadap penafsiran Al-Qur’an. Tidak hanya diminati oleh sarjana muslim, tapi juga menjadi perhatian kalangan non-muslim (outsider). Namun, berbeda dengan Islam, kajian yang dilakukan oleh eksternal Islam banyak sekali dilatarbelakangi motif skeptis dan kebencian terhadap Islam. Hal ini yang menjadi kritikan dari Edward Said dalam bukunya Orientalism, bahwa kajian kesarjanaan Barat terhadap peradaban Islam banyak didominasi motif intelektualisme politik guna meraih kepentingan pribadi bukannya kebenaran ilmiah. Sehingga apapun kajiannya, pasti akan cenderung rasial, imperialis, dan etnosentris. (Edward Said, 1979; 204)
Semangat itu juga terwariskan pada kalangan muslim yang ikut terpengaruh dengan ideologi Barat. Sebut misalnya, Nasr Hamid Abu Zaid, Muhammad Arkoun, dan Fazlurrahman-penulis istilahkan dengan kaum Modernis. Pandangan dan gagasan mereka dinilai banyak sekali tersusupi pemikiran Barat. Adopsi pemikiran ala Barat oleh mereka merupakan hasil interaksi yang terjalin dari pendidikan yang mereka tempuh di sana. Tak ayal, jika pola pikir dan pendekatan kaum Modernis dalam mengkaji Islam identik dengan gaya pikir Barat. Namun, berbeda motif dengan Barat, kaum Modernis cenderung membawa spirit kebaharuan agar bagaimana ajaran Islam senantiasa merespon perkembangan zaman.
Salah satu buah pikir kaum modernis ialah kritisime mereka terhadap ajaran Islam yang dianggap sudah final dan tak dapat diganggu gugat. Dalam hal ini, teks-teks agama (nusus ad-diniyyah) seringkali mereka pertanyakan dan permasalahkan. Seperti yang akan dibahas penulis kali ini adalah soal otoritas penafsiran yang dikutip dari pembahasan Retno Prayudi dalam bukunya, Penerapan Metode Ad-Dakhil dalam Tafsir Al-Qur’an.
Kalangan modernis berpandangan bahwa interpretasi (ed. penafsiran) tidak hanya kerja dari para mufassir yang telah tersertifikasi saja. Namun, juga boleh dilakukan oleh semua pembaca teks. Menurut mereka, membatasi ruang penafsiran hanya boleh dilakukan bagi kalangan ulama saja adalah sebuah konklusi yang terburu-buru. Pada konteks ini, mereka meninjau ulang statemen Ibn ‘Abbas yang mengklasifikasi tafsir menjadi empat wajh/ bentuk, seperti yang didokumentasikan oleh At-Tabari (w. 331 H) dalam tafsirnya Jami’ Al-Bayan.
التفسيرُ عَلَى أَرْبَعَةِ أَوْجَهِ: وَجْه تَعْرِيفُهُ الْعَرَبُ مِنْ كَلَامِهَا, وَتَفْسِير لَا يَعْدُرُ أَحَدُ بِجَهَالَتِهِ، وَتَفْسِير يَعْلَمُهُ الْعُلَمَاءُ وَ تَفْسِير لَا يَعْلَمُهُ إِلَّا اللَّهَ
“Tafsir terbagi kepada empat macam. Pertama, tafsir yang diketahui maknanya oleh orang Arab karena Al-Qur’an berbahasa Arab. Kedua, tafsir yang setiap mukallaf dapat secara langsung mengetahuinya. Ketiga, tafsir yang diketahui oleh ulama pilihan. Keempat, tafsir yang tidak diketahui maknanya kecuali Allah semata”. (Ibnu Jarir At-Tabari, Jilid 1. 1967: 34(
Dari perkataan Ibn ‘Abbas ini, oleh kaum Modernis dianggap secara eksplisit sebagai bentuk keleluasaan dan keterbukaan yang diberikan Ibn ‘Abbas terhadap siapapun dalam menafsirkan Al-Qur’an. Bahkan boleh dilakukan oleh orang awam sekalipun. Apa yang ditawarkan kaum Modernis di sini terlihat sebagai upaya mereka agar otoritas penafsiran itu menjadi longgar dan tidak kaku, apalagi dimonopoli oleh sebagian kalangan saja.
Bagi mereka, kategorisasi yang dilakukan Ibn ‘Abbas telah memberikan ruang kebebasan bagi siapapun dalam menafsirkan Al-Qur’an. Tak pandang bulu, dari mana latar belakang dan mereka berasal, semuanya berhak menafsirkan. Singkatnya, tafsir dalam pandangan Nasr Abu Zaid dan sejawatnya ini hendaknya membuka kelonggaran bagi penafsir periode setelahnya.
Masih menurut mereka, penafsiran yang hanya dilakukan sepihak justru mematikan ruang gerak penafsiran. Mereka menilai keberpihakan di sini sebagai bentuk pemikiran yang ekslusif dan juga berimplikasi pada limitasi tafsir. Tafsir yang seharusnya mengungkapkan kekayaan makna Al-Qur’an, malah seolah-olah terpenjara dari maknanya sendiri. Mengeliminasi makna-makna yang dianggap tidak sepihak, sejalan, dan bertentangan. Padahal secara fakta, banyak produk penafsiran terdahulu yang berbeda pandangan justru masih dapat diterima.
Meninjau Cara Pandang Kaum Tradisionalis
Kaum tradisionalis di sini penulis istilahkan sebagai para sarjana muslim yang mempertahankan konstruk pemikiran sarjana muslim klasik. Seperti, Muhammad Abduh (w. 1905), Rasyid Ridha (w. 1935), Abdul Wahhab Fayyed (w. 1999), Abu Syuhbah (w. 2006), Ibrahim Khalifah (w. 2013). Mereka cenderung mengoptimalisasi kitab-kitab turots dan kajian terdahulu dibanding mengadaptasi dan mengadopsi pemikiran outsider (eksternal) Islam sebagaimana yang dilakukan kaum Modernis. Anggapan mereka didasari bahwa banyaknya inkonherensi dan ketidakjelasan dari kalangan outsider yang dapat mencabut akar metodologis yang sudah disepakati oleh umat Islam.
Konstruk pemikiran mereka kemudian tersusun secara sistematis dalam sebuah metode yang dikenal dengan nama “Ad-Dakhil fi At-Tafsir” atau infiltrasi dalam tafsir. Melalui metode ini, disusun sebuah konsep dasar bahwa tiap penafsiran hendaknya memenuhi persyaratan dan ketentuan yang berlaku sehingga ia dapat diterima dan dijadikan hujjah. Konsep yang digagas kaum Tradisionalis tentunya akan berimplikasi pada tereleminasinya produk penafsiran yang dianggap tidak lolos dari syarat dan ketentuan. Baik itu berasal dari riwayat maupun bersumber dari akal. (Abdul Wahhab Fayyed; 1980)
Terkait perkataan Ibn ‘Abbas ini, kaum Tradisional menilai bahwa apa yang diungkapkan oleh kaum Modernis ini sebagai tuduhan asumtif yang sengaja ingin merobohkan bangunan tafsir. Kritik yang dibangun kaum Modernis dinilai tidak teliti dan kian mengada-ada terhadap perkataan habr al-ummah – julukan Ibn ‘Abbas. (Retno Prayudi, 2023; 130-131)
Musâ’id Sulaiman al-Tayyâr satu di antara kaum Tradisionalis yang ikut andil merespon isu ini. Dalam sebuah artikelnya yang berjudul ‘al-Ta’liq alá Atsari Ibn ‘Abbas fi Taqsim al- Tafsir, bahwa perkataan Ibn ‘Abbas ini bukan mengindikasikan pada terbukanya pintu kebebasan tafsir bagi siapapun. Namun, sebagai tingkatan kemampuan dalam menafsirkan Al-Qur’an. Tingkatan tersebut terbagi dalam empat susunan anak tangga. (Musā’id Sulaiman Al-Tayyar, 2003: 1-6)
Tingkatan pertama, tafsir Al-Qur’an yang dapat dipahami sepintas oleh orang Arab. Mereka yang menjadikan bahasa Arab sebagai alat komunikasi sehari-hari tentu lebih mudah memahami Al-Qur’an. Sebab, bahasa Al-Qur’an adalah bahasa Arab. Seperti kata فطر yang bermakna إبتدأ yang berarti memulai, atau contoh lain seperti kata عبس berarti bermuka masam. Arti dari kata-kata tersebut dapat dipahami oleh orang Arab awam sekalipun. Tidak memerlukan upaya yang lebih jauh dalam mengetahui dan mendalami kata-kata tersebut. Oleh karenaya, Nabi saw. tidak menafsirkan keseluruhan ayat Al-Qur’an kepada bangsa Arab kala itu karena dianggap sudah mafhum.
Tingkatan kedua, adalah pemahaman yang sudah sangat jelas, dan secara eksplisit tersampaikan langsung oleh Al-Qur’an. Sehingga dalam penerapannya tidak akan mentolerir siapapun yang tidak mengetahuinya. Seperti ayat al-Baqarah ayat 43.
وَأَقِيمُوا الصَّلوةَ وَأَتُوا الزَّكُوةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّكِعين
“Tegakkanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk” (QS al-Baqarah 43).
Juga terdapat pada surah Ali Imran ayat 97:
وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا ۗ
“(Di antara) kewajiban manusia terhadap Allah Swt. adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, (yaitu bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana” (QS. Ali Imran: 97)
Atau surah Al-Baqarah ayat 183:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang- orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS. al- Baqarah, 183).
Ketiga ayat tersebut secara gamblang menyatakan perintah menunaikan ajaran syariat, baik salat, puasa, zakat, dan haji. Termasuk pula dalam tingkatan ini, ayat-ayat yang berbicara mengenai akhlak seperti perintah berkata jujur dan larangan serta larangan berbuat sebaliknya. Mengenai ketauhidan (keesaan Allah) juga masuk dalam klasifikasi ini. Seseorang tidak ditolerir untuk tidak mengerti dan memahami akan keesaan Allah SWT. Keseluruhan perintah tersebut diistilahkan oleh para ulama dengan sebutan al-ma’lûm min ad-dîn bi ad-dharurah (hal-hal yang sudah diketahui dari agama secara pasti). (Musā’id Sulaiman Al-Tayyar, 2003: 5)
Banyak sekali ayat yang secara spontan sudah diketahui makna dan maksud penyampaian Al-Qur’an, pemahaman terkait ayat-ayat lugas seperti ini telah umum diketahui oleh manusia, sebab kejelasan maksudnya.
Jenis yang ketiga, adalah pemahaman terhadap Al-Qur’an yang dikhususukan untuk para ulama. Sebab, untuk mengetahui tipe ayat seperti ini perlu malakah atau kemampuan yang mumpuni. Tidak bisa sembarangan orang dapat mengungkapkan makna tersebut. Misal, terkait ayat mutasyâbiḫât, ayat-ayat hukum yang perlu penjelasan mendetail. Ayat-ayat ini hampir mendominasi isi Al-Qur’an. Maka, dibutuhkan beberapa keilmuan dan bukan sembarang orang mampu mengungkap apa yang dimaksud Al-Qur’an.
Tahapan ketiga ini –bagi Musā’id– sifatnya fardhu kifayah, artinya tidak semua orang harus mengetahui. Cukup kinerja para ulama yang berkompeten untuk mengungkapkan makna dan tafsirannya.
Model keempat, penafsiran yang hanya diketahui oleh Allah Swt., dalam hal ini, otoritas terkuat adalah Allah Swt. Sebab, Allah Swt. yang paling mengetahui apa yang ia maksud, serta rahasia-rahasia yang tersimpan tanpa perlu seorangpun tahu, sekalipun itu adalah Rasulullah Saw. sendiri. Sebagai contoh kapan terjadinya Kiamat, bentuk kenikmatan Surga dan siksa Neraka, kapan waktu keluarnya dabbah, serta hal-hal yang bersifat ghaibiyyat dan sam’iyyat. (Musā’id Sulaiman Al-Tayyar, 2003: 5)
Malah menurut Musā’id, hal ini tidak wajib diketahui oleh seorangpun. Justru, jika orang tersebut memaksakan dirinya untuk menafsirkan hal yang ghaibiyyat bisa menyebabkannya jatuh dalam dosa karena dianggap mengada-ada terhadap Allah SWT.
Ungkapan Ibn Abbas –menurut analisa Retno Prayudi yang mendukung al-Tayyar– memang tidak mengindikasikan kebebasan bagi siapapun menafsirkan Al-Qur’an. Tentu jika ini diterapkan, akan mengalami kejanggalan. Banyak pihak akan seenaknya mengatakan tafsir Al-Qur’an yang tidak sesuai pada haknya. Jika kebebasan ini berlaku, akan ada manusia awam dan minim pengetahuan mulai berani menyentuh penafsiran ayat-ayat yang hanya dapat diketahui oleh orang dengan tingkat kemampuan tertentu, atau bahkan yang mencoba memberikan interpretasi pada wilayah yang hanya diketahui oleh Allah Swt. Tentu jika terjadi, kekacauan yang lebih besar akan muncul. (Retno Prayudi, 2023; 133)
Dari penjelasan, dapat kita tarik benang merah bahwa klaim yang dibawa kaum Modernis bagi penulis perlu dibaca ulang. Apa yang disampaikan oleh Ibn ‘Abbas merupakan bentuk tegas dirinya agar Al-Qur’an tidak diselewengkan oleh orang-orang non otoritatif. Bukan berarti monopoli penafsiran tapi sebagai upaya protekif agar penafsiran terus diupayakan tidak tersusupi dan tercemari dengan tangan-tangan orang yang tidak berkompeten.
Tidak hanya itu, Rasulullah Saw. sendiri pernah menyampaikan sebuah ultimatum agar siapapun jangan berbicara mengenai Al-Qur’an hanya berbekal opini pribadi bukan dilandasi bangunan keilmuan. Menyikapi pernyataan tersebut, para ulama sangat berhati-hati dalam menafsirkan Al-Qur’an bahkan membuat syarat dan ketentuan tersendiri sebagai bentuk kebolehan dalam menafsirkan Al-Qur’an. Misalnya, As-Suyuthi (w. 911) dalam Al-Itqan-nya, menyebutkan setidaknya ada 15 syarat yang harus dimiliki seseroang sebelum dia boleh menafsirkan Al-Qur’an. (As-Suyuthi, tt; 555-556)
Referensi:
Al-Tayyar, Musā’id Sulaiman. 2003. ‘al-Ta’liq alá Atsari Ibn ‘Abbas fi Taqsim al- Tafsir; Jurnal Multaqa Ahli Tafsir.
As-Suyuthi, Al-Itqān fi Ulūmil Qur’ān, Kairo: Dar Al-Misri.
At-Tabari, Ibnu Jarir. 1967. Tafsir Jami’ Al-Bayān ‘an Ta’wīl Ay Al-Qur’ān. Kairo; Matba’ah Mustāfā al-Halabi.
Fayyed, Abdul Wahhab, 1980. Ad-Dakhīl fi at-Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm. Kairo: Maktabah Hadharah Al-Arabiyah.
Prayudi, Retno. 2023. Penerapan Metode Ad-Dakhil dalam Tafsir Al-Qur’an; Kontroversi Kesarjanaan Timur dan Barat.
Said, Edward. 1979. Orientalism. New York: Vintage Books.