Munculnya ragam gagasan, pemikiran, serta metode ilmiah ke dalam wacana penafsiran al-Qur’an merupakan suatu keniscayaan. Kehadirannya difungsikan dalam menjawab segala macam persoalan yang dapat melahirkan kajian baru terhadap interpretasi al-Qur’an yang mengandung nilai historis, adalah bahwa wahyu itu diturunkan oleh Tuhan dalam sejarah.
Dengan bahasa yang sederhana, al-Qur’an di satu sisi bersifat meta-historis sebagai kalam wujud-Nya. Sedangkan di sisi lain, al-Qur’an bersifat historis sebab memakai bahasa yang lokal, kultural, dan partikular, serta mengalami interaksi dialektis dengan realitas budaya selama proses pewahyuan. Dalam wacana penafsiran kontemporer ini, berkembang kesadaran baru perihal pentingnya mengelaborasi berbagai piranti keilmuan dan pengetahuan, khususnya hermeneutika sebagai alat interpretasi ayat-ayat al-Qur’an.
Kaitannya sebagai kajian baru, istilah hermeneutika dimaknai sebagai suatu pemahaman atau teori untuk menelisik teks ayat-ayat al-Qur’an secara kontekstual. Selain daripada itu, hermeneutika juga mengandung pengertian sebagai ilmu yang menerangkan wahyu Tuhan dari tingkat kata ke dunia, menerangkan bagaimana proses wahyu dari huruf ke realitas atau dari logos ke praksis (Hanafi, 2009: 35).
Hermeneutika Emansipatoris: Dari Persoalan Metodis Hingga Filosofis
Hermeneutika emansipatoris atau pembebasan (baca: al-tafsîr al-taharrurî) adalah suatu kegiatan penafsiran yang memandang perubahan sebagai sarana untuk kebaikan kualitatif yang berujung pada kebaikan mutlak. Berdasarkan latar belakangnya, hermeneutika emansipatoris yang digagas oleh Hanafi dipicu oleh fenomena terkungkungnya umat Islam dari kemajuan dunia Barat (Rudy, 2014: 78).
Selanjutnya, bangunan paradigma hermeneutika Hanafi terpotret pada dua agenda besar, adalah persoalan metodis dan filosofis. Secara metodis, Hanafi menggariskan langkah baru dalam memahami al-Qur’an dengan basis liberasi dan emansipatori al-Qur’an. Dalam agenda filosofis, Hanafi ingin memposisikan dirinya sebagai kritikus sekaligus dekonstruktor terhadap teori lama yang kerap dianggap sebagai kebenaran dalam metodologi tafsiran al-Qur’an.
Hanafi membangun hermeneutika al-Qur’annya dengan menggunakan berbagai piranti keilmuan seperti usul fikih, fenomenologi, marxis, dan hermeneutika. Dengan keempat piranti keilmuan tersebut, pada gilirannya, Hanafi mengonstruksi sebuah teori hermeneutika berbasis spirit pembebasan, atau dalam terminologi lain biasa disebut dengan tafsir revolusioner atas paradigma normatif-ideologis umat Islam.
Upaya Hanafi dalam menggagas hermeneutikanya juga dimotivasi untuk melampaui bangunan hermeneutika aliran objektifis sebagaimana yang digagas secara oleh Fazlur Rahman dan Mohammad Arkoun. Pasalnya, hermeneutika aliran objektifis tidak bersentuhan dengan masyarakat Muslim secara meluas. Oleh karenanya, Hanafi menawarkan sebuah hermeneutika aliran subjektifis yang lebih bersifat praksis (Saenong, 2002: 9).
Konstruksi Metodologis: Pondasi Filosofis dalam Tafsir Tematis
Sebagai seorang pemikir-reformis yang berkomitmen atas kondisi aktual umat Islam sehingga sampai menempatkan supremasi realitas, Hanafi tidak sepakat jika tafsir dapat diidentifikasi hanya sebagai seni dalam memahami teks. Baginya, upaya interpretasi al-Qur’an lebih condong pada melakukan pembacaan dari realitas menuju teks, sehingga gagasannya dituangkan dalam dua tawaran metodologis; al-Manhaj al-Ijtimâ’i fi al-Tafsîr dan al-Tafsîr al-Maudhu’î (Hanafi, 1988: 539).
Kemudian, untuk menggapai hasil interpretatif dalam metode ini, Hanafi menyokong beberapa kaidah dasar sebelum menafsirkan. Pertama, bahwa dalam tafsir, teks al-Qur’an tidak lagi dipermasalahkan soal asal-muasal (originalitas) dan sifatnya. Ini mengingat tafsir tidak terkait dengan masalah kejadian teks melainkan berkaitan erat dengan esensinya (Hanafi, 1995: 416).
Kedua, al-Qur’an sebagai teks tidak dapat dibedakan seperti teks kebahasaan lainnya. Dalam artian, penafsiran terhadap al-Qur’an tidak dibangun atas asumsi bahwa al-Qur’an adalah teks sakral dengan segala keistimewaannya. Ketiga, sebuah tafsiran tidak mengenal pemahaman yang benar atau salah. Melainkan hanyalah perbedaan metodologis dalam upaya mendekati teks sebagai bias ideologis.
Langkah Metodis Tafsir Tematis
Semua metode, deduktif atau induktif, rasional atau eksperimental, memiliki aturan atau langkah-langkah yang harus diikuti dalam sebuah penafsiran al-Qur’an. Dalam hal ini, Hanafi mencetuskan delapan langkah metodis dalam tafsir tematisnya. Pertama, seorang mufasir harus secara sadar mengetahui dan merumuskan komitmennya terhadap problem sosial politik tertentu.
Kedua, perlu bercermin pada proses lahirnya teks al-Qur’an yang didahului oleh realitas, dan harus merumuskan tujuan penafsirannya. Sebab tidak mungkin seorang mufasir memulai kegiatannya tanpa kesadaran akan apa yang ingin dicapainya. Ketiga, harus dapat menginventarisasikan ayat-ayat terkait dengan tema yang menjadi komitmennya. Keempat, menginventarisasi bentuk-bentuk linguistik sebagai landasan informatif akan makna teks.
Kelima, membangun struktur makna yang tepat dengan sasaran yang dituju, sehingga makna dan objek yang dituju menjadi satu kesatuan yang utuh. Keenam, melakukan analisis terhadap problem faktual dalam situasi empirik (realitas) yang dihadapi mufasir misalnya berupa kemiskinan, pelanggaran HAM, dll. Ketujuh, menghubungkan struktur ideal sebagai hasil deduksi teks dengan problem faktual yang diinduksi dari realitas melalui perhitungan statistik dan ilmu sosial.
Kedelapan, menghasilkan rumusan praktis sebagai langkah akhir proses penafsiran yang transformatif. Inilah yang dimaksud oleh Hanafi bahwa penafsiran berangkat dari realitas menuju teks. Dan dari teks menuju realitas. Ini pula yang ia maksudkan bahwa suatu penafsiran menjadi bentuk perwujudan posisi sosial mufasir dalam struktur sosial (Hanafi, 1981: 102-111).
Sebuah Catatan Penutup
Dari karakteristik hermeneutika Hassan Hanafi di atas bisa dipotret bahwa, dalam pemikirannya, sebuah tafsir bersifat transformatif, realis, tematis, temporal, dan eksperimental. Metodologi tafsir yang disodorkan oleh Hassan Hanafi sarat akan penekanan pada aspek realitas dan perubahan sosial, hal ini dapat dilacak dalam pembaruan pemikirannya dan kecenderungan proyek pembaruannya yang bercorak kiri (sosialis). Hassan Hanafi juga mendengungkan jargon “biarkan realitas berbicara atas namanya sendiri” yang ia adopsi dari slogan yang cukup populer “biarkan al-Qur’an berbicara sendiri.” Melalui metode tafsir pembebasannya, Hassan Hanafi berupaya menafsirkan al-Qur’an dengan basis realitas itu sendiri dan diproyeksikan untuk dapat melakukan transformasi ke arah yang lebih baik, sehingga menghasilkan realitas yang mencerminkan idealitas sebagaimana yang diilustrasikan oleh al-Qur’an