Pada dasarnya, kesadaran manusia selalu bergerak menemukan titik rasionalitas. Meminjam istilah model dialektika Hegel, sejarah bergerak di atas alur teleologis, suatu gagasan (thesis) yang menemukan realitas baru (anti-thesis), akan menemukan kreativitas dan inovasi baru (synthesis), tidak ada “ruh” atau kesadaran yang bersifat abadi. (Hardiman, 2019: 175).
Begitupun dalam dinamika perkembangan pemikiran Islam, umat Islam selalu dihadapkan dengan berbagai problematika kehidupan, khususnya dalam perkembangan pemikiran kalām. Problematika tersebut, tidak jarang mengakibatkan terjadinya perpecahan di kalangan umat Islam akibat perbedaan cara pandang dalam memahami Islam.
Tidak dapat dipungkiri, berbagai problematika turut mewarnai rekam jejak perkembangan falsafah kalam, seperti radikalisme dan liberalisme dalam beragama. Kedua paham tersebut, memiliki nilai positif dan negatifnya masing-masing.
Paham radikalisme menawarkan penyelesaian dengan cara yang mendalam berdasarkan agama. Akan tetapi, sisi negatifnya, paham radikalisme bercita-cita untuk membangun negara dengan sistem khilâfah, hal tersebut disebabkan oleh pemikiran yang fanatik-fundamentalistis dan paham yang cenderung teosentris.
Di sisi lain, liberalisme turut hadir dengan membawa dampak yang positif dan juga negatif, yaitu bercita-cita untuk membangun kesadaran pada umat Islam yang lebih maju sebagaimana di dunia Barat serta untuk melindungi hak-hak perseorangan. Namun, liberalisme juga beresiko membawa umat Islam menjadi semakin menjauh dari pokok ajaran Islam karena ambisi mengenai kebebasan, kemunculan paham ini dipicu oleh pemikiran sekularis yang cenderung antroposentris.
Lantas muncul pertanyaan, Bagaimana seharusnya umat Islam beragama? Bagaimana memahami Islam sebagai agama rahmatan li al-‘âlamîn?
Islam merupakan agama Yang Tunggal karena berasal dari Yang Maha Tunggal, namun ketika agama Islam bertemu dengan realitas manusia, Islam bertransformasi menjadi agama yang plural, karena realitas manusia bersifat plural.
Dari ungkapan tersebut, dapat dipahami bahwa, Islam dapat dilihat berdasarkan dua aspek, yaitu Islam ideal yang hanya berada dalam ranah ilahi yang bersifat abstrak, serta Islam dari segi historis yang bersifat realistis dan relatif dan berada dalam ranah kemanusiaan. Dari sinilah, dikotomi-dikotomi terhadap disiplin keilmuan Islam mulai bermunculan, seperti fiqih, tasawuf, dan kalam/teologi. (Wijaya, 2020: 19).
Perkembangan aliran teologi dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kluster, yaitu aliran teologi era klasik, pertengahan, modern, hingga kontemporer. Di setiap masa tersebut, selalu didapati golongan-golongan dengan produk pemikiran yang eksis dan berpengaruh di masanya. Pada era klasik, pemikiran yang eksis adalah pemikiran kaum rasionalis Mu’tazilah dan tradisionalis Asy`ariyah. (Abdullah, 2021: 21).
Begitupun pada era pertengahan, pada masa itu juga muncul aliran fundamentalis Salafiyah dan Wahabiyah yang produk pemikirannya masih berpengaruh dan eksis hingga saat ini. (Iskandar, 2018: 23). Tendensi aliran-aliran teologi pada era tersebut di atas cenderung bercorak teosentris.
Memasuki masa awal era modern, ditandai dengan munculnya aliran fundamentalis modern yang dipelopori oleh munculnya Jamal al-Din al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. (Masduqi, 2011: 83). Gerakan tersebut kemudian bertransformasi menjadi gerakan-gerakan yang ekstrim dan radikal, hal tersebut seiring dengan munculnya Teologi Hakimiyah dari jamaah Jihâdi di era Sayd Qutb.
Gerakan inilah yang menjadi pemantik munculnya gerakan terorisme dengan mengatasnamakan Islam. Salah satu penyebab munculnya gerakan revivalisme di era modern tersebut, yaitu untuk merespon gerakan liberalisme Barat yang eksis di Mesir dengan membawa gagasan bercorak praktis-antroposentris. (Masduqi, 2011: 87).
Memasuki era kontemporer, berbagai epistemologi kemudian dirumuskan untuk menjawab problematika dan dinamika perkembangan falsafah kalam tersebut. Ada yang memanfaatkan sekularisasi untuk memahami Islam seperti Mehdi Ha’iri Yazdi (w. 1999 M.) dan Nurcholis Madjid. (Wijaya, 2020: 21-22).
Selain itu, adapula yang menjumpai kekurangan dalam sekularisme dengan mengusung Islamisasi pengetahuan sebagai kritik, serta Pribumisasi Islam sebagai alternatifnya. Kedua epistemologi tersebut merupakan produk nalar kritis intelektual muslim, seperti Naquib al-Attas dan Abdurrahman Wahid/Dus Dur (w. 2009 M.). (Wijaya, 2020: 209).
Akan tetapi, dari sekularisme, Islamisasi, hingga pribumisasi tersebut, masih bergelut di ranah antroposentris, yaitu dari “konteks ke teks.” Menurut Kuntowijoyo dalam bukunya Islam Sebagai Ilmu, segala sesuatunya dalam memahami Islam harus menjadikan teks sebagai pijakan untuk memahami konteks, dengan kata lain Islam sudah mencakup berbagai aspek dalam dinamika kehidupan manusia, sesuai dengan jargon “rahmatan li al-‘âlamîn.” (Wijaya, 2020: 276-278).
Sejalan dengan hal tersebut, M. Amin Abdullah juga mengemukakan pendapatnya terkait paradigma tersebut. Menurutnya, Al-Qur`an dan realitas zaman pada dasarnya selalu berjalan beriringan, karena Al-Qur`an selalu aktif dan responsif dalam menjawab dinamika kehidupan manusia, ia tidak setuju dengan ungkapan “Al-Qur`an menjawab tantangan zaman” karena menurutnya kata “tantangan” seakan mereduksi Al-Qur`an sebagai kitab yang shâlih li kulli zamân wa makân. (Abdullah M. A., 2022: 273).
Oleh karena itu, kedua epistemolog tersebut menawarkan sebuah metode baru dalam memahami Islam secara integratif. Kuntowijoyo menawarkan sebuah teori Ilmu Sosial Profetik, yaitu paradigma teo-antroposentris yang berangkat dari teks ke konteks, yaitu ilmu yang dikembangkan dari paradigma Al-Qur`an harus sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan di era kontemporer. (Rohmanu, 2019: 224).
Di lain sisi, Amin Abdullah menawarkan epistemologi integrasi jaring laba-laba, yaitu cara pandang untuk memahami Islam secara menyeluruh, atau dalam istilah lain disebut ―jaring laba-laba keilmuan teoantroposentris-integralistik, Amin Abdullah menolak tradisi berpikir dikotomis-atomistik karena menurutnya Islam sudah harmoni dengan berbagai disiplin-disiplin keilmuan, baik itu disiplin ilmu agama maupun non-agama. (Wijaya, 2020: 293).
Dari pemaparan di atas, dapat dikatakan bahwa, Al-Qur`an pada hakikatnya memiliki nilai-nilai yang harmoni dengan problematika yang dihadapi dalam realitas kehidupan. Ada masa di mana Islam dipahami dengan corak teosentris, kemudian menemukan anti-tesisnya yaitu antroposentris. Untuk saat ini, di era kontemporer, paradigma antroposentris juga sudah menemukan anti-tesisnya dan dianggap sudah tidak memadai lagi untuk menjawab problematika era kontemporer. (Wijaya, 2020: 272).
Oleh karena itu, untuk mencari sintesis dari kedua paradigma tersebut dalam falsafah kalam, wacana bercorak teo-antroposentris menjadi penting untuk menemukan Islam rahmatan li al-‘âlamîn dan untuk meyakinkan bahwa pada dasarnya Al-Qur`an itu shâlih li kulli zam^an wa makân, khususnya di era kontemporer seperti sekarang ini.
Daftar Pustaka
Abdullah, Aminol Rosid. Teologi Islam: Memahami Ilmu Kalam dari Era Klasik hingga Kontemporer. Batu: Literasi Nusantara, 2021.
Abdullah, M. Amin. Falsafah Kalam di Era Kontemporer, Yogyakarta: IRCiSoD, 2022.
Hardiman, F. Budi. Pemikiran Modern dari Machiavelli Sampai Nietzshe. Yogyakarta: Kanisius, 2019.
Iskandar, Mizaj. Sunni-Wahabi: Mencari Titik Temu dan Seteru. Cet. 2. Aceh: Universitas Negeri Ar-Raniry Aceh, 2018
Masduqi, Irwan. Berislam Secara Toleran: Teologi Kerukunan Umat Beragama. Bandung: Mizan, 2011.
Rohmanu, Abid. Paradigma Teo-Antroposentris dalam Konstelasi Tafsir hukum Islam. Yogyakarta: IRCiSoD, 2019.
Wijaya, Aksin. Satu Islam Ragam Epistemologi: Menyingkap Pergeseran Epistemologi Islam, dari Epistemologi Teosentrisme ke Antroposentrisme. Yogyakarta: IRCiSoD: 2020.