Term Ma’na cum Maghza dalam studi tafsir sebenarnya bukan term yang sama sekali baru. Term tersebut sudah digunakan oleh tokoh sebelumnya, yaitu Nashr Hamid Abu Zayd dengan metode Ma’na wal Maghza. Persamaan term ini menjadi menarik untuk ditelaah lebih lanjut apakah memang Ma’na cum Maghza merupakan perkembangan dari teori Ma’na wal Maghza.
Persamaan ini memunculkan spekulasi dalam metode yang diperkenalkan Sahiron Syamsuddin terdapat pengaruh pemikiran Abu Zayd, terlebih perbedaan kedua term tersebut hanya terletak pada kata hubungnya saja. Artikel ini akan memfokuskan pada isu tersebut dengan tujuan menggali akar-akar teori Ma’na cum Maghza dalam pemikiran Nashr Hamid Abu Zayd.
Teori Penafsiran Ma’na cum Maghza
Ma’na cum Maghza adalah salah satu pendekatan historis dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan menggali atau merekonstruksi makna (ma’na) dan pesan utama (maghza) suatu ayat. Ma’na dan Maghza adalah suatu ayat yang mungkin dimaksud oleh pengarang teks atau dipahami oleh audiens pertama dari suatu teks. Jika ditarik dalam konteks Al-Qur’an pendengar pertama yang dimaksudkan adalah masyarakat Arab pada Abad ke-7 M.
Respon masyarakat Arab abad ke-7 M terhadap ayat dapat diketahui secara historis melalui Asbab Al-Nuzul makro dan mikro. Dengan melihat historisitas ayat ma’na dan maghza dapat dipahami secara keseluruhan. Signifikansi atau Maghza yang didapatkan dari teks atau ayat kemudian dikembangkan pada konteks kekinian atau situasi kontemporer. (Syamsuddin, 2020: 8-9)
Sahiron Syamsuddin kemudian membagi Maghza atau signifikansi menjadi dua macam, yaitu signifikansi fenomenal yaitu pesan utama yang dipahami dan diaplikasikan secara kontekstual dan dinamis mulai pada masa pewahyuan (historis) hingga saat ayat ditafsirkan (dinamis) dalam periode tertentu. Kedua, signifikansi ideal yaitu akumulasi ideal dari pemahaman-pemahaman terhadap signifikansi ayat. (Syamsuddin, 2017: 140-141)
Langkah-langkah metodis dalam pendekatan Ma’na cum Maghza yang pertama adalah analisis kebahasaan. Sahiron menyebutkan ada dua analisis kebahasaan, yaitu analisis intratekstualis dan analisis intertekstualis. Analisis intratekstualis adalah perbandingan penggunaan kata dalam suatu ayat dengan ayat lain.
Selain itu, juga dilihat perkembangan makna bahasa yang digunakan Al-Qur’an dengan penggunaan kata tersebut di tengah masyarakat Arab (Pra-Qur’ani) dan dinamisasi kata setelah diturunkannya Al-Qur’an (post-Qur’ani). Sedangkan analisis intertekstualis adalah perbandingan suatu kata dalam Al-Qur’an dengan teks lain yang ada di sekitarnya, seperti hadis, sya’ir Arab, teks-teks Yahudi dan Nasrani atau komunitas lain yang hidup pada awal pewahyuan.(Syamsuddin, 2017: 142)
Langkah kedua adalah memperhatikan konteks historis pewahyuan ayat-ayat Al-Qur’an, baik yang bersifat mikro atau makro agar kondisi hitoris yang direspon oleh ayat tersebut dapat dilihat secara keseluruhan. Ketiga, penggalian terhadap maqshad atau maghza al-ayat (tujuan/pesan utama ayat) untuk menghubungkan antara ayat Al-Qur’an dengan konteks atau isu sosial kontemporer.
Langkah pertama dan kedua memiliki kesinambungan yang cukup ketat, karena maghza dapat diketahui dari Asbab Al-Nuzul dan ekspresi kebahasaan yang dipakai oleh Al-Qur’an.Teori ini juga tidak mengesampingkan penafsiran dari para mufassir terdahulu baik zaman klasik, modern, bahkan kontemporer. (Syamsuddin, 2017: 143)
Hermeneutika Al-Qur’an Nashr Hamid Abu Zayd
Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd dikenal dengan pendekatan dan kritik sastra terhadap Al-Qur’an. Pendekatan kritik sastra ini dipengaruhi oleh dasar teologinya yang lebih dekat pada Mu’tazilah yang menganggap Al-Qur’an adalah ciptaan Tuhan yang bersifat baru dan tidak kekal. (Nasution, 2010: 143) Dasar teologi ini sangat mempengaruhi pemikiran Abu Zayd, salah satunya argumentasi Abu Zayd mengenai Al-Qur’an adalah teks (mafhum an-Nash) yang membutuhkan suatu pemahaman dan interpretasi. (Zayd, 1990: 27-28) Namun, teks yang dimaksud oleh Abu Zayd adalah teks fisikal (yang sampai pada umat islam), bukan yang bersifat metafisikal (teks orisinil). Teks ini kemudian terejawantahkan dalam suatu bahasa sehingga sangat dimungkinkan adanya dimensi budaya. (Effendi, 2003: 80)
Abu Zayd juga mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah produk budaya (Muntaj Al-Tsaqafi) karena Al-Qur’an terbentuk dalam realitas budaya masyarakat Arab selama lebih dari 20 tahun masa turunnya Al-Qur’an. Sehingga bisa digenaralisasi bahwa sebagian besar ayat-ayat Al-Qur’an tidak lepas dari budaya masyarakat Arab abad ke-7, baik dari segi hukum, bahasa dan hal lainnya. Selain itu Al-Qur’an juga bisa memproduksi budaya (muntij Al-Tsaqafah) maksudnya adalah ketika teks Al-Qur’an berhubungan dengan realitas yang berbeda dari realitas pertama sehingga ada upaya untuk melepaskan teks dari konteks dimana ia diturunkan. (Sohibuddin, 2003: 113-114)
Keterkaitan yang sangat kuat antara teks Al-Qur’an dan budaya yang terepresentasi dalam bentuk bahasa, sehingga Abu Zayd menawarkan teori dan metodologi baru dalam memahami Al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan linguistik. Namun, teori Nasr Hamid Abu Zayd tidak hanya fokus pada makna secara linguistik saja, tetapi beranjak pada signifikansi makna dari ayat Al-Qur’an. (Ichwan, 2010: 89) Melalui langkah kedua ini konteks turunnya Al-Qur’an tidak hanya berputar pada masyarakat Arab saja, tapi bisa ditarik pada realitas sosial pada komunitas lain atau situasi kontemporer.
Langkah-langkah metodis yang dilakukan ketika mengkaji suatu ayat dengan pendekatan ma’na wal maghza perspektif Nasr Hamid Abu Zayd adalah mengungkapkan makna asli (meaning/ma’na) dari ayat Al-Qur’an. Makna asli ini dibangun berdasarkan makna-makna gramatik yang kemudian akan menghasilkan makna baru (significance/maghza) yang menunjukkan pada makna dalam konteks sosio-historis.
Penafsiran Al-Qur’an sebagai teks bahasa tidak bisa digali hanya dengan menganalisis bahasa secara inheren. Bagaimana pun juga teks Al-Qur’an turun bukan dalam masyarakat yang sama sekali tidak memiliki budaya. Paling tidak keberadaan Asbab al-Nuzul, merupakan bukti bahwa teks Al-Qur’an telah merespon berbagai kondisi masyarakat saat itu.(Imron, 2010: 125)
Langkah-langkah penafsiran dengan metode ma’na wal maghza Nasr Hamid Abu zayd yang pertama adalah melakukan analisis struktur linguistik ayat-ayat Al-Qur’an. Analisis struktur linguistik ini tidak hanya dari segi bahasa yang ada di dalam teks tetapi harus mencari fakta sejarah yang mengelilinginya (Asbab Al-Nuzul makro dan Asbab Al-Nuzul mikro). Kedua, menentukan tingkatan makna teks. Ketiga, menentukan makna asli (the original meaning). Keempat, menentukan makna signifikansi (significance/maghza). Kelima, mengkontekstualisasikan makna hostoris dengan berpijak pada makna yang tersembunyi dalam suatu ayat. (Qadafy, 2014: 87)
Komparasi Hermeneutika Al-Qur’an Sahiron Syamsuddin dan Nashr Hamid Abu Zayd
Konsep Hermeneutika Sahiron Syamsuddin dan Nasr Hamid Abu Zayd sama-sama menitikberatkan pada historisitas ayat. Historisitas ayat ini merupakan salah satu pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd yang banyak mendapat kritikan. Konsep historisitas ayat ini terdeskripsikan dalam pernyataannya bahwa Al-Qur’an adalah Muntaj Al-Tsaqafah (diproduksi oleh budaya) sekaligus Muntij Al-Tsaqafah (memproduksi budaya).
Pernyataan tersebut dapat dibuktikan dengan banyaknya ayat yang merespon kondisi sosial tertentu yang terjadi pada masyarakat Arab pada saat diurunkannya ayat. Historisitas ini dapat dilihat melalui Asbab Al-Nuzul makro dan mikro secara keseluruhan. Konteks historis dalam teori Ma’na cum Maghza yang diinisiasi oleh Sahiron Syamsuddin juga menempati posisi yang sentral sebagai batu pijakan ketika seseorang meneliti ayat.
Dalam mengungkapkan historisitas ayat dalam metode penafsiran yang ditawarkan oleh kedua tokoh tersebut tidak terlepas dari aspek kebahasaan. Pada aspek kebahasaan Nasr Hamid Abu Zayd menyatakan bahwa setiap bahasa memiliki Al-Siyaq (konteks). Konteks bahasa dalam Al-Qur’an terdapat beberapa level, yaitu konteks sosio kultural, konteks eksternal, konteks internal, konteks linguistik, dan konteks pembacaan atau penakwilan.
Sedangkan Sahiron Syamsuddin menganalisis kebahasan melalui analisis intratekstualis (dari dalam teks) dan analisis intertekstualis (hubungan teks dengan teks lainnya). Pada analisis kebahasaan ini antara Nashr Hamid Abu Zayd dan Sahiron Syamsuddin agaknya sedikit memiliki perbedaan. Sahiron Syamsuddin lebih terbuka dengan teks-teks lain diluar Al-Qur’an, bahkan teks dari agama lainnya asalkan memiliki keterhubungan dengan masa awal turunnya Al-Qur’an.
Setelah analisis kebahasaan dilakukan, akan terlihat makna tersembunyi di balik teks. Baik Nashr Hamid Abu Zayd dan Sahiron Syamsuddin sama-sama menyebutkan makna dibalik teks ini sebagai maghza. Maghza merupakan cita-cita sosial Al-Qur’an yang akan terus sama dari awal penurunan ayat tersebut hingga saat ini. Dengan adanya maghza, ayat Al-Qur’an akan menemukan jalan untuk merespon isu-isu sosial kontemporer yang terjadi pada masa sekarang meskipun konteksnya berbeda dengan Al-Qur’an.
Referensi
Effendi, Edy A. Hermeneutika Qur’ani: Antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi. Yogyakarta: Qalam, 2003.
Ichwan, Moch Nur, Meretas Kesarjanaan Kritis: Teori Hermeneutika Nars Hamid Abu Zayd. Jakarta: Teraju, 2003.
Imron, Ali dkk. Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis. Yogyakarta: Elsaq Press, 2010.
Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press 2010.
Qadafy, Mu’ammar Zayn, Epistemologi Sebab Nuzul Makro (Studi atas Metodologi Tafsir Kontektualis Kontemporer). Yogyakarta: UIN SUKA, 2014.
Shohibuddin, Muhammad. Nashr Hamid Abu Zayd tentangSemiotika Al-Qur’an, dalam Hermeneutika Al-Qur’an Madzhab Yogya. Yogyakarta: Islamika, 2003.
Syamsuddin, Sahiron, dkk., Pendekatan Ma’na-cum-Maghza atas Al-Qur’an dan Hadis: Menjawab Problematika Sosial Keagamaan di Era Kontemporer. Yogyakarta: Ladang Kata, 2020.
——————————- Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Nawasea Press, 2017.
Zayd, Nasr Hamid Abu, Mafhum Al-Nash. Beirut: Al-Markaz Ath-Thaqafy Al Arabiy, 1990.