Islam Sebagai Objek dan Subjek Studi

Saat Islam pertama kali hadir dibawa oleh Nabi Muhammad Saw, apakah cita-cita Sang Nabi adalah menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera atau masyarakat yang selamat di akhirat? Jika disebutkan bahwa Nabi adalah seorang yang ummi, dalam arti steril dari segala tradisi (religius?) sebelumnya, maka bisa saja keresahan Sang Nabi adalah masyarakat yang adil dan sejahtera, bukan keresahan yang hendak menyelamatkan masyarakat di akhirat kelak.

Penjelasan di atas bisa melepaskan sisi religiusitas sebagai latar belakang misi Islam, namun benarkah sama sekali tidak ada misi apokaliptik di balik semua itu? Fred M. Donner lebih cenderung kepada bahwa misi apokaliptik lebih dahulu hadir. Jadi, targetnya memang adalah untuk menciptakan komunitas orang-orang beriman kepada Allah SWT dan Hari Akhir (mukminuun) demi keselamatan di Akhirat. Adapun komunitas orang-orang saleh adalah konsekuensi daripada yang pertama dan itupun dengan tujuan untuk melanggengkan dan menyebarkan hegemoni komunitas orang-orang beriman (Fred M. Donner, 2015: 217).

Bacaan Lainnya

Agar sebuah komunitas orang-orang saleh terus berkembang dibutuhkan kemapanan politik dan juga gerakan intelektual karena meluasnya cakupan wilayah orang-orang saleh dan masuknya berbagai macam orang dengan budayanya masing-masing ke dalam komunitas tersebut. Dalam hal ini, peradaban Islam sangat pandai beradaptasi dengan perkembangan zaman dan perbedaan budaya melahirkan peradaban yang sangat kompleks.

Sebagai sebuah ajaran apokaliptik, Islam bertumpu kepada sebuah janji keselamatan yang tercantum pada sebuah kitab, yaitu Al-Quran. Karena itu, seluruh peradaban Islam, termasuk upaya legitimasi politiknya dan juga gerakan intelektualnya berasal dari sekaligus bermuara ke Al-Quran. Karena Al-Quran secara tekstual telah selesai hingga tidak mungkin lagi berubah, maka banyak perangkat keilmuan yang hadir belakangan diciptakan agar Al-Quran tetap bisa mengarungi zaman dan tetap relevan. Apa yang sekarang disebut sebagai ajaran Islam adalah kristalisasi dan juga hasil dari perangkat ilmu-ilmu tersebut.

Perangkat ilmu-ilmu yang dimaksud selain menjadi bagian dari peradaban Islam itu sendiri, juga menjadi alat untuk memahami dan memproduksi ajaran Islam. Karena itu, Islam adalah subjek dan sekaligus objek studi. Dengan zaman yang terus berjalan dan berubah, sesungguhnya ajaran Islam pun terus berubah dan mungkin juga perangkat ilmu-ilmu tersebut juga berubah dan berkembang. Sebagaimana perangkat ilmu-ilmu adalah respon terhadap perkembangan zaman, maka dinamikanya tidak mungkin terelakkan.

Dinamika peradaban Islam sempat terpusat pada diri Nabi Muhammad Saw ketika masih hidup. Setiap pertanyaan dan persoalan mendapatkan jawabannya pada diri Sang Nabi dalam bimbingan Tuhan. Pada masa itu, bisa dipahami jika ajaran Islam dianggap sedang berada dalam masa pembentukan hingga titik kesempurnaan. Setelah Sang Nabi wafat, apakah ajaran Islam telah selesai masa pembentukannya?

Jawaban untuk pertanyaan di atas mungkin beragam. Mungkin ada yang memahami bahwa Islam telah selesai berkembang sejak wafatnya Sang Nabi. Al-Quran dan Hadis cukup sebagai rujukan hingga Hari Kiamat. Pemahaman seperti itu wajar. Siapapun umat Islam selalu dihantui oleh persoalan apakah mereka masih berada di jalan yang lurus atau telah menyimpang. Bentuk paling awal untuk menghindari penyimpangan itu adalah upaya dua khalifah pertama untuk mengumpulkan setiap potongan Al-Quran dan upaya khalifah kedua untuk meresmikan satu dan satu-satunya mushaf rujukan (Tamim Ansary, 2015: 165). Yang unik adalah upaya pengumpulan potongan Al-Qur`an itu memang adalah upaya menjaga tradisi, sekaligus upaya yang merusak tradisi karena tidak ada contoh dari Sang Nabi.

Biasanya, yang cenderung memahami bahwa Islam telah selesai disebut ulama. Mereka adalah kelompok garis keras yang berupaya sepenuh jiwa menjaga teks dan juga menjaga kelompok orang-orang beriman agar tidak melenceng dalam perbuatan mereka. Jika sebuah persoalan muncul di dalam masyarakat, maka biasanya para ulama ini mempertanyakan hal yang sangat khas, “Apakah Nabi Muhammad Saw pernah harus berhadapan dengan situasi seperti ini? Apa yang beliau putuskan?” Pertanyaan seperti ini harus diputuskan berdasarkan catatan dan ingatan umat Islam tentang perbuatan dan perkataan Sang Nabi. Dalam hal ini, Hadis dan Ulumul Hadis menjadi penting.

Ketika wilayah berpenduduk Muslim semakin melebar dan berjumpa dengan beragam orang dan beragam budaya, maka pertanyaan khas oleh ulama seperti disebutkan di atas mulai dianggap tidak relevan. Mungkin juga karena jawaban yang ada dalam Hadis memang sudah tidak memadai. Lalu, dimulailah inspirasi jawaban dicari dari peradaban lain seperti Hindu, Buddha, Persia dan Yunani. Orang-orang yang agak nakal seperti ini disebut para filusuf.

Di saat yang hampir bersamaan dengan para filusuf, sekelompok cendekiawan juga aktif berfikir tetapi dengan kegelisahan berbeda. Mereka gelisah karena Islam tidak lebih dari seperangkat aturan yang mengatur jasmani dan sisi lahiriah, tetapi hampa dalam sisi batin. Dengan menjadikan perasaan sebagai instrumen berbeda, mereka menghasilkan sesuatu yang juga berbeda. Mereka adalah para sufi (Tamim Ansary, 2015: 186).

Ulama, filusuf, dan sufi adalah tiga kategori para pemikir Islam yang bukan hanya mewarnai apa itu Islam tetapi juga memberi bentuk Islam sehingga ketika saat seseorang melihat Islam, maka yang tampak sesungguhnya adalah mereka dan karya-karya mereka, bukan lagi semata-mata Al-Qur`an atau Hadis Nabi.

Sejak Islam muncul di Mekkah hingga peradaban Islam runtuh di tangan Mongol, Islam sudah berhasil membentuk dirinya sebagai sosok yang bisa dikenali dan berbeda dengan peradaban-peradaban lain yang pernah dan masih ada. Namun, setelah itu, peradaban Islam seperti berhenti berdenyut. Mungkin karena ada peradaban lain yang sedang muncul dan berkembang, yaitu peradaban Barat modern.

Berhadapan dengan Barat, Islam tetap dengan modal ulama, filusuf, dan sufinya. Bisa ditebak kelompok mana yang resistensi dengan peradaban Barat dan kelompok mana yang cukup adaptif. Yang pasti, Islam kemudian berhadapan dengan isu-isu atau kegelisahan-kegelisahan yang sesungguhnya tidak menjadi kegelisahan di dalam peradaban Islam sendiri, tetapi lebih merupakan kegelisahan peradaban Barat yang ditularkan ke dalam peradaban Islam. Isu-isu seperti teokrasi, demokrasi, hak-hak perempuan, hak-hak non-muslim, kebebasan berfikir, hingga gagasan tentang kemajuan (Charles Kurzman [ed.], 2003, v-viii).

Meski masih sangat banyak dibahas, dalam banyak ukuran, isu-isu seperti di atas mungkin sudah kadaluwarsa karena memang sudah cukup lama. Apa yang baru? Isu-isu yang disebutkan di atas adalah isu-isu sekular yang hadir kala permusuhan terhadap agama memang sedang mencapai puncak-puncaknya akibat gagalnya agama memberikan manfaat bagi kehidupan, bahkan menghancurkannya. Kini, era itu telah lewat. Agama kini bahkan sedang menemukan momentum era “kebangkitan”-nya. Bagaimana studi Islam merespon itu semua?

Bahan Bacaan

Ansary, Tamim, Dari Puncak Bagdad, Jakarta: Zaman, 2015
Donner, Fred M., Muhammad dan Umat Beriman: Jakarta: Gramdedia, 2015
Kurzman, Charles (ed.), Wacana Islam Liberal, Jakarta: Paramadina, 2003

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *