Kata Ladunni dalam Al-Qur`an
Ilmu Ladunni adalah istilah yang bisa dianggap ada hubungannya dengan beberapa ayat di dalam Al-Qur`an yang di sana ada kata ladun. Misalnya QS. al-Kahf/18: 65:
فَوَجَدَا عَبْدًا مِّنْ عِبَادِنَآ اٰتَيْنٰهُ رَحْمَةً مِّنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنٰهُ مِنْ لَّدُنَّا عِلْمًا
Lalu, mereka berdua bertemu dengan seorang dari hamba-hamba Kami yang telah Kami anugerahi rahmat kepadanya dari sisi Kami. Kami telah mengajarkan ilmu kepadanya dari sisi Kami
Kata ladun pada ayat di atas berarti “sisi”. Di antara 18 kata ladun di dalam Al-Qur`an, QS. al-Kahf/18: 65 adalah ayat yang paling eksplisit menyebutkan kata ‘ilm yang digandengkan dengan kata ladun. Teks ayat ini pun berada dalam rangkaian ayat-ayat yang berbicara tentang Nabi Musa as dengan Nabi Khidir as. Ayat-ayat selanjutnya disuguhkan peristiwa-peristiwa yang tidak cukup dipahami lewat pengalaman empiris dan penalaran logis. Sebuah kisah yang sangat populer. Karena, ayat ini secara ringkas tetapi jelas menggambarkan sosok Ilmu Ladunni.
Semua ayat yang mencakup kata ladun selalu didahuli kata min. Itu sekaligus sebuah penegasan bahwa Ilmu Ladunni adalah ilmu yang berasal min Allah SWT. Penegasan ini menjadi penting sebagai pembeda antara Ilmu Ladunni dengan ilmu-ilmu lainnya. Sebagai catatan, tidak semua ayat yang memakai kata ladun berkaitan dengan sesuatu yang berasal dari Allah SWT, namun hanya sebagian besarnya.
Ilmu Ladunni Sebagai Sebuah Epistemologi
Dalam karya Abu Hamid al-Gazali (w. 1111 M), al-Risâlah al-Ladunniyah, disebutkan bahwa Ilmu Ladunni adalah ilmu yang berbeda dengan ilmu yang didapatkan lewat olah dan aktivitas akal yang disebutnya dengan al-ta’allum al-insânî. Adapun Ilmu Ladunni adalah al-ta’allum al-rabbânî (al-Gazali, 2014: 48-49). Jadi, Ilmu Ladunni memiliki epistemologi yang berbeda. Dalam hal ini, perlu penjelasan tentang Ilmu Ladunni sebagai sebuah alat untuk mengetahui dan serta objek yang diandaikan oleh Ilmu Ladunni hendak diketahuinya.
Pertama tentang Ilmu Ladunni sebagai alat untuk mengatahui. Pembedaan epistemologis antara Ilmu Ladunni dengan ilmu-ilmu yang lain sesungguhnya tidak begitu pas jika dinamai dengan “ilmu yang berasal dari Allah SWT” karena tidak ada yang tidak berasal dari Allah SWT. Ada sebuah nama yang lebih langsung memberikan distingsi antara keduanya yaitu Ilmu Hudhuri (knowledge by presence)yang dibedakan dengan Ilmu Hushuli (knowledge by correspondence) (Yazdi, 1994)
Ilmu Hudhuri berarti pengetahuan yang datang dengan sendirinya, apa adanya. Sedangkan Ilmu Hushuli adalah pengetahuan yang datang lewat usaha manusiawi (Kartanegara, 2006, 131-135). Di dalam dunia tasawwuf, pengetahuan yang datang dengan sendirinya disebut dengan “ketersingkapan” (mukâsyafah/kasyf) atau “kesaksian” (musyâhadah/syuhûd). Kedua istilah ini mengindikasikan adanya semacam “penghalang” antara manusia yang mengetahui dengan pengetahuan yang diketahuinya. Saat penghalang tersebut terangkat, maka pengetahuan akan diketahui/memberitahukan dirinya/disaksikan/mempersaksikan dirinya dengan sendirinya tanpa perlu adanya usaha manusiawi.
Klaim Ilmu Ladunni, pengetahuan yang hadir dengan sendirinya adalah pengetahuan yang sejati karena tidak adanya intervensi manusiawi terhadap pengetahuan tersebut. Pada Ilmu Hushuli, ada jarak antara subjek yang mengetahui dengan objek yang diketahui. Keduanya diantarai oleh upaya manusiawi berupa akal atau indera yang keduanya sesungguhnya menjadi frame bagi objek sehingga objek tidak hadir sebagaimana adanya. Objek yang hadir dan diketahui adalah objek yang telah terdistorsi oleh alat untuk mengetahui yaitu akal dan indera. Bagi Ilmu Laddunni, kebenaran dipahami tidak dengan cara menalar atau mengindera, tetapi dengan cara mengalami. Jamak dalam penjelasan tentang Ilmu Ladunni disebutkan bahwa cinta tidak dipahami dengan penjelasan. Cinta dipahami dengan cara mencinta atau dicinta.
Selanjutnya yang kedua, Ilmu Ladunni dan objek yang diandaikan hendak diketahuinya. Tentu saja yang hendak diketahui oleh setiap ilmu pengetahuan adalah kebenaran atau realitas. Bagi Ilmu Ladunni, realitas bukan hanya realitas empiris atau semata logis yang diterangi pengalaman empiris, tetapi juga realitas non-empiris. Kesemua realitas terangkum di dalam nama lain dari Allah SWT yaitu al-Haqq yang berarti “Kebenaran Sejati” atau “Realitas yang Sesungguhnya”. Allah SWT jelas tidak bisa dipahami semata empiris dan logis karena sisi non-empirisnya, tetapi, dalam Islam, makrokosmos dan mikrokosmos pun tidak akan bisa dipahami dengan utuh jika tidak direlasikan dengan Allah SWT.
Menurut Sachiko Murata, di dalam Islam, realitas ada tiga yaitu: Allah SWT, kosmos (makrokosmos), dan manusia (mikrokosmos) yang jika direlasikan dalam bentuk segi tiga, maka Allah SWT berada di puncak. Secara kontroversial, Murata bahkan menggambarkan ketiga realitas itu dalam simbol salib. Menurutnya, sumbu vertikal dalam salib menggambarkan satu hubungan dan sumbu horizontal menggambarkan hubungannya yang lain. Pada penggambaran Allah SWT, sumbu vertikal adalah hubungan Dzât Ilahi dengan sifat-sifat Ilahi. Sedangkan sumbu horizontal menggambarkan hubungan nama-nama Ilahi dalam al-Asmâ` al-Husnâ yang saling komplementer seperti al-Mu’izz (Yang Maha Memuliakan) dan al-Mudill (Yang Maha Menghinakan atau al-Muhyî (Yang Maha Menghidupkan) dan al-Mumît (Yang Maha Mematikan) (Murata, 2022: 69).
Selain kenyataan realitas ada tiga dan realitas yang sesungguhnya adalah al-Haqq, bagi Ilmu Ladunni, apapun yang tampak oleh nalar dan indera adalah manifestasi-diri Ilahi, bukan Ilahi itu sendiri. Ibarat seseorang yang bercermin, maka yang tampak realitas baginya adalah pantulan wajahnya di cermin itu, padahal bukan itu realitas sesungguhnya karena realitas sesungguhnya adalah dirinya sendiri. Mengetahui diri sendiri, tidak akan pernah terjadi tanpa mukâsyafah atau musyâhadah yang diandaikan ada di dalam Ilmu Ladunni (Izutsu, 2016: 37-41)
Ayat QS. al-Kahf/18: 65 mengisahkan betapapun upaya Nabi Musa as untuk memahami realitas yang ditawarkan oleh Nabi Khidir as tetap saja gagal. Jika bukan Nabi Khidir as sendiri yang menjelaskannya, Nabi Musa as akan tetap berada di dalam kebingungannya yang abadi. Saat Nabi Khidir as berkata: Hâdzâ firâqu baynî wa baynika yang oleh Kemenag RI diartikan: Inilah (waktu) perpisahan antara aku dan engkau. Ilmu Ladunni pun bisa berkata: Inilah perbedaan antara Ilmu Hudhuri dengan Ilmu Hushuli.
Konteks Kontemporer Ilmu Ladunni
Saat al-Gazali melahirkan karyanya, al-Risâlah al-Ladunniyah, barangkali konteksnya adalah kuasa filsafat dengan nalar spekulatifnya yang saat itu sedang meraja dan dianggap menggangu keimanan. Nalar filsafat yang dimaksud adalah nalar yang dilahirkan oleh para cendekiawan Muslim sendiri setelah perjumpaan para filsuf Muslim dengan karya-karya Yunani. Saat itu, peradaban Islam sedang satu-satunya yang menonjol di dunia. Jadi, Ilmu Ladunni adalah kritik terhadap filsafat Islam atau kritik peradaban Islam terhadap dirinya sendiri.
Saat ini, saat Ilmu Ladunni kembali dilahirkan, konteksnya bukan lagi kritik peradaban Islam terhadap dirinya sendiri tetapi terhadap selain dirinya, yaitu peradaban Barat dengan rasionalisme, empirisme, dan terutama positivismenya. Episteme atau cakrawala berfikir peradaban Islam adalah carakrawala yang sedang dihantui oleh dominasi peradaban Barat. Ini perlu diperhatikan agar Ilmu Ladunni tidak salah arah menentukan al-Haqq yang hendak dipahaminya.
Dominasi peradaban Barat tidak hanya mendapatkan kritik dari selain Barat, tetapi juga kritik dari Barat itu sendiri, terutama epistemologinya sendiri. Jika kritik Islam terhadap peradaban Barat hanya pada epistemologi Ladunni, maka kritik peradaban Barat terhadap peradabannya sendiri melahirkan Teori Kritis Mazhab Frankfurt, Karl Marx, Cultural Studies, Teori Feminis, Derridean, hingga Posmodernisme (Ben Agger, 2003)
Sebagai contoh, Mazhab Frankfurt. Baginya, manusia rasional yang diagung-agungkan oleh peradaban Barat telah melahirkan peradaban yang rencananya memanusiakan manusia dengan rasionalitasnya, malah melahirkan peradaban yang menghancurkan umat manusia; bahkan tidak memanusiakan manusia karena manusia tidak lebih daripada komoditas. Akibat peradaban Barat, bumi tidak lagi ramah untuk ditinggali karena tekonologi destruktif dan manusia dikejar-kejar oleh kepentingan kapitalisme kala manusia sampai kelelahan karena tidak lagi bahagia akibat mengejar “kebutuhan”. Padahal kebutuhan tersebut diciptakan oleh kapitalisme, bukan kebutuhan manusia itu sendiri (Shindunata, 2019)
Catatan Akhir
Dengan basis epistemologisnya yang kuat dan mengakar lama, Ilmu Ladunni sesungguhnya adalah disiplin ilmu yang mapan. Karena itu, sulit untuk menganggapnya bukan ilmu pengetahuan hanya karena positivisme mengatakannya bukan. Namun, penting bagi Ilmu Ladunni untuk memperluas cakrawalanya, bukan hanya sebagai antitesis terhadap peradaban Barat, tetapi juga dialektika dengan peradaban Islam itu sendiri yang selama ini mandek. Menjadikan peradaban Barat sebagai satu-satunya musuh hanya akan melupakan musuh dalam selimut, yaitu peradaban Islam yang sebenarnya juga sedang membusuk, jauh lebih lama daripada peradaban Barat itu sendiri.
Bahan Bacaan
Abu Hamid al-Gazali, al-Risâlah al-Ladunniyah, Kairo: Dar al-Maqtham, 2013
Ben Agger, Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan, dan Implikasinya, terjemahan Nurhadi, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003
Mehdi Ha`iri Yazdi, Ilmu Hudhuri: Prinsip-prinsip Epistemologi dalam Filsafat Islam, Bandung: Mizan, 1994
Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawwuf, Jakarta: Erlangga, 2006
Sachiko Murata, The Tao of Islam: Tuhan dalam Pandangan Sufi, Bandung: Mizan, 2022
Shindunata, Dilema Usaha Manusia Rasional: Teori Kritis Sekolah Frankfurt, Jakarta: Gramedia, 2019
Toshihiko Izutsu, Sufisme: Samdra Makrifat Ibn Arab, Bandung: Mizan, 2016