Problem Krisis Lingkungan
Rene Descartes dianggap sebagai Bapak Filsafat Modern yang merupakan cikal bakal era modernitas. Karena itu, modernitas sesungguhnya ditandai oleh rasionalisme Barat yang hadir dalam dua bentuk: bentuk kehidupan dan bentuk kesadaran. Dalam bentuk kehidupan, berkembang sistem ekonomi kapitalis. Dalam bentuk kesadaran, berkembang individualisme, kritik, dan kebebasan (Ibrahim Ali Fauzi, 2003: 12).
Krisis lingkungan tidak bisa dilepaskan dari modernitas sebagai bentuk kehidupan dan bentuk kesadaran. Bentuk kehidupan adalah dampak dari bentuk kesadaran. Individualisme di Perancis berkaitan dengan Revolusi Perancis dan dimaknai sebagai kepentingan individu di atas kepentingan bersama. Di Jerman, individualisme dimaknai sebagai keunikan individu yang kemudian berubah menjadi keunikan komunitas. Di Inggris, individualisme dimaknai sebagai perlawanan terhadap agama dan juga liberalisme ekonomi. Di Amerika, individualisme bersifat universal dan ideal tetapi disusupi Darwinisme sosial, yaitu yang terkuat yang bertahan hidup (Steven M. Lukes, 2023). Semua makna individualisme bermuara kepada betapa berharganya individu dibandigkan dengan komunitas yang belakangan melahirkan kapitalisme.
Bersamaan dengan individualisme ada kritik dan kebebasan. Di satu sisi, kritik adalah hal yang baik karena memungkinkan peradaban maju karena ilmu pengetahuan berkembang. Hal itu ditopang oleh kebebasan. Namun belakangan ada problem. Individualisme dan kebebasan malah menjadi anti kritik; sesuatu yang sebelumnya dimusuhi. Individu menjadi bebas sebebas-bebasnya dan kritik terhadap kebebasan itu menjadi tidak boleh. Tetapi dengan itu, modernitas mencapai titik keemasannya tanpa bisa dicegah.
Modernitas sebagai bentuk kehidupan melahirkan ekonomi kapitalis yang berputar pada tiga hal: produksi, konsumsi, dan degradasi lingkungan. Sejak Revolusi Industri, komersialisasi bahan bakar fosil (batu bara, minyak bumi, dan gas) yang secara ekonomi murah, tetapi berkonsekuensi mahal bagi lingkungan (Amanda Slevin, 2023: 64). Selain menjadi bahan bakar bagi hampir segala kebutuhan hidup manusia, juga menjadi bahan bakar bagi ekonomi global.
Kapitalisme menuntut produksi yang tidak pernah berhenti hingga melahirkan masalah-masalah yang juga tidak pernah selesai dan patut diduga mengancam kemampuan manusia untuk bertahan di masa-masa mendatang atau paling tidak, kewalahan. Masalah-masalah tersebut adalah ketenagakerjaan, lingkungan hidup, pangan, air, geo-politik, serta krisis-krisis lainnya (Paul Kennedy, 2017: 7). Beberapa krisis bahkan secara tidak langsung bisa mengancam kehidupan manusia. Misalnya, perang dagang yang berakibat perang bersenjata atau kerusuhan sebagai dampak dari ketimpangan ekonomi.
M. Quraish Shihab, Al-Qur`an, dan Pemeliharaan Lingkungan
Sebuah buku baru karya M.Quraish Shihab (selanjutnya disebut Shihab) hadir. Judulnya, Islam & Lingkungan: Persepektif Al-Qur`an Menyangkut Pemeliharaan Lingkungan. Bersampul hijau, sebagaimana biasanya tema-tema ekologi, buku ini menawarkan optimisme bahwa Islam memiliki solusi bagi krisis lingkungan. Buku ini masih sangat baru. Bahkan di kata pengantar masih disebutkan tentang polusi di Jakarta yang ramai dibicarakan menjelang KTT Asean Summit 2023 pada 5-7 September.
Buku ini paling tidak membahas tiga tema utama, pertama yaitu fungsi Islam sebagai agama bagi manusia; kedua relasi manusia dengan alam; dan ketiga tuntunan Islam untuk pemeliharaan lingkungan. Ketiga tema tersebut dibahas dalam kerangka penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur`an yang dianggap sesuai. Sebagaimana karya-karya M. Quraish Shihab yang lain, buku ini menyenangkan untuk dibaca karena sistematikanya yang runtut dan penuturannya yang mengalir. Tidak mungkin membahas ketiga tema buku tersebut di sini semuanya. Karena itu, dipilih tema yang paling revolusioner, yaitu tema kedua,relasi manusia dengan alam.
Problem krisis lingkungan sesungguhnya adalah problem relasi manusia dengan alam. Diduga kuat bahwa ada yang tidak beres pada relasi manusia dengan alam sejak modernitas dan revolusi industrinya muncul sehingga eksploitasi terhadap alam terus terjadi. Di antara problem itu adalah posisi manusia yang menjadikan dirinya sebagai subjek dan alam sebagai objek.
Shihab tidak menyebutkan tentang problem relasi subjek-objek antara manusia dengan alam di dalam bukunya tetapi sepertinya beliau tahu problem itu ada dan sepertinya beliau menduga bahwa ketimpangan relasi antara manusia dengan alam dianggap dilegalisasi oleh Al-Qur`an, terutama ayat-yang bertama taskhîr atau sakhkhara (penundukan/menundukkan). Karena itulah, pemahaman tentang ayat-ayat tersebut perlu ditinjau ulang. Dugaan bahwa ada peran agama bagi modernitas yang belakangan mengakibatkan krisis lingkungan memang sudah menjadi percakapan sejak lama. Tentu saja, peran agama yang dimaksud adalah peran teks-teks suci yang menjadi dasar bagi pandangan agama.
Memang, ayat-ayat taskhîr cukup mudah untuk membawa kepada pemahaman relasi tidak seimbang jika hanya dilihat lewat pemahaman leksikal. Misalnya ayat QS. al-Zukhruf/43: 13: Subhânal-ladzî sakhkhara lanâ hâdzâ wa mâ kunnâ lahû muqrinîn(a). Artinya: “Maha Suci Zat yang telah menundukkan (semua) ini bagi kami, padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya. Ayat ini adalah doa naik kendaraan (atau tunggangan) yang merupakan simbol penaklukan.
Untuk menepis kesan relasi subjek-objek antara manusia dengan alam, Shihab menekankan bahwa bukan manusia yang menundukkan alam tetapi Allah SWT yang menundukkannya (M. Quraish Shihab, 2023, 56). Jadi, jika urusannya adalah relasi subjek-objek, maka baik manusia maupun alam adalah objek (Abd. Muid Nawawi, 2015: 701). Hanya Allah SWT yang berhak menjadi subjek. Lalu, mengapa alam harus ditundukkan kepada manusia dan bukan sebaliknya atau mengapa harus ada yang ditundukkan kepada salah satunya? Bagi Shihab, itu karena posisi manusia sebagai khalifah. Sebagai khalifah, tugas manusia adalah memperbaiki (ishlâh) karena sebelum penciptaan manusia, bumi telah pernah mengalami pengrusakan (M. Quraish Shihab, 2023, 56). QS. al-Baqarah/2: 30 menyebutkan itu.
Kritik Shihab di atas bisa disebut kritik ontologis karena mengkritisi pemahaman bahwa manusia berbeda secara ontologis dengan alam. Kritik ontologis yang sama pernah disampaikan oleh Saras Dewi. Menurutnya, kegagalan rekonstruksi alam yang rusak selama ini terjadi karena senantiasa berada pada tataran etis praktis saja, bukan tataran ontologis (Saras Dewi, 2018: 1-2)
Lebih jauh memasuki kritik ontologis, Shihab menekankan bahwa kenyataan alam harus ditundukkan (oleh Allah SWT) kepada manusia adalah isyarat bahwa manusia tidak boleh tunduk kepada materi. Ketundukan kepada materi adalah asal muasal sistem ekonomi kapitalis yang bentuk kesadarannya adalah individualisme, kritisisme, dan liberalisme yang berlebihan. Secara puitis Shihab bermetafora: Saat manusia menjadi budak materi, kala itu, manusia bagaikan kupu-kupu yang terbakar karena kepadaiannya terbang (M. Quraish Shihab, 2023, 67).
Bahan Bacaan
Dewi, Saras, Ekofenomenologi: Mengurai Disekulibrium Relasi Manusia dengan Alam, Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2018.
Fauzi, Ibrahim Ali, Jurgen Habarmas, Jakarta: Teraju, 2003.
Kennedy, Paul, Vampire Capitalism: Fractured Societies and Alternative Futures, London: Palgrave Macmillan, 2017.
Lukes, Steven M., “Individualism: Politics and Philosophy”, dalam https://www.britannica.com/topic/individualism
Nawawi, Abd. Muid, “Ekosistem dalam Al-Qur`an: Pemikiran M. Darwis Hude dan Nur Arfiyah Febriani, dalam Jurnal Mumtaz, Vol. 5 No. 2 Tahun2015.
Shihab, M. Quraish, Islam & Lingkungan: Persepektif Al-Qur`an Menyangkut Pemeliharaan Lingkungan, Tengerang Selatan: Lentera Hati, 2023.
Slevin, Amanda, “Climate, Communities, and Capitalism: Critically Imagining and Co-Creating Pathways for a Sustainable Ireland”, dalam Studies: An Irish Quarterly, Vol. 112, No. 445, 1 Maret 2023.