Asma Barlas, seorang akademisi Muslim modern, telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam mengembangkan studi tentang kesetaraan gender, terutama dalam konteks Islam. Usahanya untuk merevitalisasi pemahaman Al-Qur’an tentang perempuan dan mengatasi stigma bahwa Al-Qur’an tidak menghargai perempuan menunjukkan pendekatan yang unik dan inventif. Salah satu kritik utamanya adalah bahwa hak-hak perempuan dan laki-laki harus setara dalam masyarakat.
Sedikit ulasan mengenai biografinya, Asma Barlas lahir pada tahun 1950 di Lahore, Pakistan. Karir Asma Barlas cukup mengesankan, karena ia menjadi perempuan pertama di Pakistan yang bekerja di Departemen Luar Negeri Pakistan pada tahun 1976. Namun, pada akhirnya, ia diberhentikan karena mengkritik pemerintah. Asma Barlas mengkritik pemerintahanan yang dipimpin oleh Ziaul Haq, karena melakukan diskriminasi terhadap perempuan.
Pada saat itu, rezim Ziaul Haq menerapkan hukum Islam secara tidak proporsional, yang merugikan posisi perempuan. Akibatnya, Asma Barlas dengan berani mengkritik pemerintah atas ketidakadilan yang signifikan terhadap perempuan. Akibatnya, dia dipecat dan diusir dari negaranya pada tahun 1983 (Naufil, 2005).
Asma Barlas berpendapat bahwa penting untuk menghadirkan sebuah reinterpretasi terhadap al-Qur’an dengan fokus pada prinsip-prinsip kesetaraan. Ada dua poin utama yang kemudian ia sampaikan dalam tujuannya tersebut. Pertama, dia menentang interpretasi Al-Qur’an yang mengekang hak-hak Perempuan dan kedua, dia mencoba menawarkan interpretasi yang mendukung gagasan bahwa perempuan memiliki kesempatan untuk memperjuangkan kesetaraan dalam konteks ajaran Islam. Selain itu, Asma Barlas menolak pandangan yang diberikan oleh baik kelompok konservatif Islam maupun gerakan feminis yang menyatakan bahwa Islam secara intrinsik bersifat patriarkis (Asma, 2005: 11).
Dalam upayanya menghadirkan interpretasi baru atas Al-Qur’an yang berkaitan dengan isu-isu gender, Asma Barlas menggunakan metode dan prinsip-prinsip yang mengedepankan pembacaan kontekstual dengan menjadikan pendekatan sejarah dan filologis (linguistik) sebagai pisau analisisnya. Salah satu karya terkenalnya yang banyak membahas pandangan al-Qur’an terhadap perempuan adalah bukunya yang berjudul “Believing Women in Islam: Unreading Patriarchy in the Quran”.
Di dalamnya, Asma Barlas membahas tentang bagaimana Al-Qur’an dapat membebaskan perempuan dari pengaruh patriarki yang ada. Ia mengajukan pendekatan baru dalam membaca dan memahami teks-teks Al-Qur’an yang lebih inklusif dan memberdayakan perempuan. Buku ini memberikan wawasan yang menarik tentang peran Al-Qur’an dalam memperjuangkan kebebasan dan kesetaraan bagi perempuan dan pada bagian selanjutnya akan ditampilkan beberapa contoh uraian interpretatif terhadap beberapa kasus yang berkaitan dengan isu perempuan.
Penafsiran Asma Barlas tentang Kepemimpinan Perempuan
Dalam mengulas topik ini, Asma Barlas mengambil referensi dari beberapa pemikir Islam lainnya, seperti Fazlur Rahman, Fatima Mernissi, Amina Wadud, dan Riffat Hassan. Salah satu hal yang dikritiknya adalah makna dari kata qawwāmūn yang umumnya diartikan sebagai “pemimpin” dalam tafsir-tafsir klasik, yang mengimplikasikan bahwa laki-laki memiliki hak untuk memimpin perempuan. Asma Barlas menolak pemahaman tersebut, mengutip bahwa secara terminologi, qawwāmūn sebenarnya berarti “pencari nafkah” atau mereka yang bertanggung jawab dalam menyediakan kebutuhan hidup. (Asma, 2005:7)
Oleh karena itu, Asma Barlas membalikkan premis bahwa ayat tersebut dapat diinterpretasikan sebagai kewajiban bagi laki-laki untuk menafkahi perempuan dengan kemampuan ekonomi mereka, bukan sebagai hak untuk memimpin seperti yang dipahami dalam tafsir-tafsir tersebut.
Asma Barlas mengambil pendekatan yang berbeda dalam memahami ayat-ayat yang sering kali diinterpretasikan secara patriarkis. Ia menyoroti pentingnya melihat konteks historis dan sosial dalam memahami makna kata-kata yang digunakan dalam Al-Qur’an.
Penafsiran Asma Barlas tentang Poligami
Dalam pemahamannya tentang poligami dan perceraian dalam hukum Islam, Asma Barlas mengakui bahwa konsep ini sering kali dikaitkan dengan kekuasaan laki-laki. Namun, ia berpendapat bahwa pemahaman terhadap poligami tidak boleh disederhanakan atau digeneralisasi secara sepintas. Ia berpendapat bahwa konteks sosial dan kondisi individu yang terlibat harus dipertimbangkan saat menentukan apakah poligami diizinkan atau tidak. (Asma, 2005:18)
Ini berarti bahwa Barlas memberikan toleransi terhadap poligami, meskipun sebagai seorang akademisi feminis, ia cenderung menentangnya. Namun, ia menyadari bahwa ada situasi-situasi tertentu yang memungkinkan seorang pria menikah dengan lebih dari satu perempuan, sebagaimana dijelaskan dalam ayat-ayat Al-Qur’an.
Menurut Asma Barlas, jika poligami diizinkan, itu dilakukan untuk memberikan akses seksual kepada perempuan ketika jumlah mereka lebih banyak daripada laki-laki. Ayat ini tidak bertujuan untuk menunjukkan keunggulan laki-laki; sebaliknya, itu bertujuan untuk memberikan keadilan sosial kepada anak-anak yatim, khususnya perempuan. Dengan demikian, syariat ayat ini bertujuan untuk menciptakan keadilan dan harmoni dalam masyarakat. Dalam konteks kontemporer, Barlas berpendapat bahwa untuk mencapai keadilan sosial, tidak cukup hanya dengan menikahi anak perempuan yatim sebagai alasan untuk berpoligami, tetapi ada banyak tindakan alternatif yang dapat diambil untuk membantu mereka dengan cara yang lebih empatik (Asma, 2005:184).
Asma Barlas menekankan bahwa tujuan poligami seharusnya bukan untuk menunjukkan superioritas laki-laki, tetapi untuk menciptakan keadilan sosial dan mendistribusikan sumber daya kepada mereka yang membutuhkan, seperti anak-anak yatim. Hal ini mengajak kita untuk mempertimbangkan ulang pemahaman kita tentang poligami, dan bagaimana praktik tersebut dapat dijalankan dengan tujuan yang lebih baik, yaitu menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi semua pihak yang terlibat. Alternatif tindakan yang dapat dilakukan untuk membantu anak-anak perempuan yatim dan menyantuni mereka dengan lebih empatik, tanpa harus melalui poligami.
Pandangan Asma Barlas tentang poligami dalam konteks hukum Islam. Meskipun sebagai seorang feminis, ia cenderung menentang poligami, namun ia juga memberikan toleransi dan mempertimbangkan konteks sosial serta urgensi tertentu yang mungkin membenarkan praktik tersebut. Pentingnya memahami nuansa dan kompleksitas dalam interpretasi ayat-ayat Al-Qur’an terkait dengan poligami, serta pentingnya menghindari generalisasi yang dapat menyederhanakan pemahaman tersebut.
Catatan Penutup
Asma Barlas menggunakan cara pandang feminis serta pendekatan kontekstual dan filologis dalam mengamati dan menyimpulkan pesan yang terkandung dalam Al-Qur’an. Ia berpendapat bahwa Al-Qur’an, dalam hakikatnya, merupakan sebuah teks yang mendorong kesetaraan dan tidak menjadi akar dari penindasan terhadap perempuan. Barlas berargumen bahwa ketidaksetaraan gender dan penindasan yang tampak dalam beberapa masyarakat Muslim lebih disebabkan oleh penafsiran yang bersifat patriarki dan bias gender yang muncul dalam penafsiran terhadap teks tersebut, dan bukan berasal dari teks itu sendiri.
Dalam upayanya untuk “menghilangkan” perspektif yang merendahkan posisi perempuan dalam Al-Qur’an, Barlas mengkaji ulang makna teks yang sering digunakan untuk mendukung penindasan terhadap perempuan. Iia juga menekankan betapa pentingnya memahami konteks sosial dan historis yang melingkupi ayat-ayat tersebut, serta kembali ke prinsip-prinsip kesetaraan yang terkandung dalam pesan Al-Qur’an.
Referensi
Asma Barlas, Believing Women in Islam: Unreading Patriarchal interpretations of The Quran, London: University of Oxford Press, 2003.
Asma Barlas, Cara Al-Qur’an Membebaskan Perempuan, Terj. Believing Women in Islam. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005.
Naufil Shahrukh, “The Qur’an Doesn’t Support Patriarcy”, ABC, The Nation, 2005.