Latar Belakang kemunculan hadits atau yang kemudian disebut dengan asbābul wurūd hadits merupakan diskursus yang cukup urgen dalam kajian ilmu hadits. Ini dikarenakan dengan mengetahui latar belakang penyebab turunnya hadits, akan didapatkan suatu gambaran secara menyeluruh konteks historis daripada hadits yang akan dikaji.
Sejauh kepenulisan yang ada, tidak terlalu banyak karya tulis yang membicarakan tema ini, terutama di zaman klasik salaf terdahulu. Tidak seperti kepopuleran kajian asbābun nuzūl, kajian asbābul wurūd bisa dikatakan terbilang sedikit. Dalam pemaparan Yahya Ismail Ahmad, salah seorang sarjana Mesir terkemuka dan sekaligus pen-taẖqīq karya al-Suyuthi, al-Luma fi Asbāb Wurūd al-Hadits, disebutkan sekurang-kurangnya hanya terdapat empat buah karya para ulama klasik yang membicarakan tema ini, dan itupun sifatnya terbatas aksesnya, dalam artian untuk beberapa kitab belum ditemukan sampai sekarang naskah aslinya.
Namun demikian, ini tidak berarti kajian asbābul wurūd itu merupakan kajian yang sangat-sangat kering di zaman itu. Penulis mendapati bahwa kajian asbābul wurūd juga sering terdapat didalam sela-sela kitab-kitab hadits utama, katakanlah seperti didalam salah satu syarah Shahīh Bukhārī, Fatẖ al-Bārī (1390 M). Sang penulis kitab ini, Ibnu Hajar al-Atsqalani (1372 -1449 M) , sering memberikan catatan asbābul wurūd dalam menjelaskan hadits yang dikutip imam Bukhari. Hal yang sama juga dilakukan oleh Syaikhul Islam Sirajudin al-Bulqini (1361-1421 M) dalam kitabnya Mahasīn al-Isthilāẖ. Akan tetapi memang perlu diakui, bahkan sampai abad ke 15 M, kajian-kajian asbābul wurūd tersebut belum sampai tahap satu karya yang berdiri pada genre tersendiri.
Adalah Imam Jalaludin al-Suyuthi (1445-1505 M) yang kemudian mengumpulkan secara komprehensif dan sistematis beberapa riwayat asbābul wurūd menjadi satu kumpulan karya. Al-Suyuthi menulis sebuah kitab bernama al-Lumā’ fi Asbāb Wurūd al-Hadits atau juga terkadang disebut secara singkat kitab Asbābul Wurūd hadits. Kitab tersebut berisi beberapa latar belakang kemunculan dari sembilan puluh enam hadits yang telah ia kumpulkan dari berbagai sumber.
Sejauh dari penemuan yang ada, kitab al-Lumā’ fi Asbāb Wurūd al-Hadits bisa dikatakan merupakan kitab perdana yang berisi uraian latar belakang penyebab diturunkannya hadits-hadits nabi. Tercatat sebanyak sembilan puluh enam hadits diuraikan didalam kitab ini, di mana al-Suyuthi membaginya kepada sebelas bab dengan berbagai tema yang cenderung sangat fiqh-oriented. Di antara bab-bab tersebut antara lain: Bersuci, Sholat, Jenazah, Puasa, Haji, Jual-Beli, Nikah, Pidana, Hewan Sembelihan, Makanan dan terakhir, Adab.
Menarik untuk dibahas di sini, bahwa terkait latar belakang kemunculan kitab ini sejatinya tidak bisa lepas dari sejarah kehadiran dinasti Mamluk (1250-1517 M), sebuah dinasti di mana al-Suyuthi dilahirkan dan dibesarkan. Dalam catatan sejarahnya, dinasti Mamluk merupakan “dinasti penyelamat”, sebuah dinasti yang terkenal akan jasanya menyelamatkan khazanah kitab-kitab turats para ulama terdahulu.
Seperti yang telah diuraikan dimuka, penulisan terkait tema asbābul wurūd bisa dikatakan sangat sedikit. Selain karena memang hanya sedikit ulama yang terdeteksi menulis kitab dengan tema ini, Dalam konteks politik, hal ini lebih diperparah dengan kondisi pembakaran secara besar-besaran karya-karya tulis para intelektual umat Islam di abad 12 M oleh bangsa Mongol. Beberapa bangunan sejarah menjadi korban pembakaran bangsa mongol pada saat itu, yakni perpustakaan Baitul Hikmahdan perpustakaan Granada, dua perpustakaan besar yang menjadi pusat rujukan umat muslim pada saat itu. Secara kesejarahan, bisa dibilang beberapa karya tulis penting umat islam pun ikut menjadi korban, termasuk dalam hal ini karya-karya hadits.
Namun meskipun begitu, ini tidak berarti koneksi pengetahuan terputus begitu saja. Adalah bangsa/ dinasti Mamluk(1250-1517 M) yang berperanmenghidupkan kembali khazanah-khazanah keislaman umat islam pada saat itu. (Siti Maryam, 2022; 42-52) Ini terlihat dari berbagai upaya para ulama pada zaman itu yang hendak membangkitkan kembali kitab-kitab turats yang cenderung bersifat ensiklopedis dalam jumlah yang cukup banyak. Selain karya al-Suyuthi, tersebutlah karya-karya besar umat Islam juga lahir dari bangsa Mamluk ini, seperti Ibnu Hajar al-Atsqalani dengan Fatẖ al-Bāri-nya, Ibnu Taimiyah dengan Majmū‘ Fatawā-nya, kemudian dengan al-Burhān fī ‘Ulūm al-Qur’ān-nya.
Al-Suyuthi lahir di sebuah masa di mana terjadinya kebangkitan ulang berbagai penulisan turats pasca runtuhnya penyerangan Mongol. Beberapa keilmuan yang dirasa telah hilang, sejatinya beberapa bagian masih terselamatkan. Dalam hal ini kita patut mengapresiasi beragam perjuangan para ulama di zaman itu. Oleh karenya, penulis mengajak kepada pembaca sekalian untuk tidak menganggap sepihak ulama-ulama mamluk seperti al-Suyuthiini, jika beberapa dari kita berpresepsi bahwa kitab asbābul wurūd, mungkin saja, hanya berupa pemaparan data dan informasi ensiklopedis semata, tanpa ada analisis misalkan. ‘ala kulli hal, al-Suyuthisudah sedemikian besarnya jasanya dalam menyelamatkan informasi tersebut. Dalam muqaddimah kitab nya, al-Suyuthi sampai mengatakan bahwa kitab ini di kemudian harapannya dapat menjadi “pintu masuk” bagi para ahli hadits yang kesulitan dalam memahami konteks hadits.
Adapun mengenai sistematika penulisan kitab ini sendiri, imam al-Suyuthi dalam menyebutkan hadits lebih cenderung menggunakan metode ta’liq, di mana ketika menuturkan suatu hadits, ia menghilangkan seluruh keterangan sanad dan menyisakan pada keterangan nama sahabat saja. Ini ia lakukan dalam rangka menyajikan suatu hadits secara ringkas dan langsung to the point/ kepada inti hadits. Namun meskipun begitu, metode ta’liq ini ia lakukan pada sebuah hadits, jika memang hadits tersebut sudah masyhur terdapat di berbagai kitab hadits utama, adapun jika tidak, ia pada akhirnya, menyertakan seluruh sanadnya.
Kemudian setelah menyebutkan hadits dalam bab tersebut, al-Suyuthi langsung menyertakan keterangan asbābul wurūd setelahnya, terkadang dalam satu hadits terdapat dua riwayat asbābul wurūd . Selain itu, Imam al-Suyuthi dalam menuturkan hadits juga terkadang dengan lebih dari satu versi riwayat hadits.
Mengenai referensi, terdapat sekurang-kurang nya tiga puluh enam kitab yang menjadi referensi utama al-Suyuthi dalam menulis kitab asbābul wurūd ini. (tahqiq, Yahya Ismail Ahmad, 1984) Di antara sekian banyak kitab itu, tersebut lah beberapa kitab dari pada kitab hadits utama yang enam (kutub as-sittah), seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan al-Tirmidzi, Sunan Abi Dawud, Sunan al-Nasa’i dan Sunan Ibn Majah. Selain dari pada itu, al-Suyuthi juga banyak merujuk dari pada beberapa kitab hadits lain, seperti Musnad al-Syafi’i, Musnad Ahmad, Mushannaf Abdur Razaq, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah,dsb. Dan terakhir, al-Suyuthi juga mengutip beberapa kitab sejarah seperti Tarikh Baghdad dan Tarikh al-Dimasyqi.
Dari beberapa rujukan diatas, dapat dikatakan bahwa al-Suyuthi banyak mengambil referensinya pada kitab-kitab hadits dan sisanya beberapa dari kitab tarikh dan kitab akhlaq/ tasawuf. Inilah yang sebagaimana penulis kemukakan di awal, walaupun disebutkan bahwa kitab-kitab asbābul wurūd terbilang sedikit, namun bukan berarti kering dan jarang disentuh. Para ulama zaman dahulu (klasik) banyak menyebutkan asbābul wurūd ini di sela-sela kitabnya, dan tersebar di berbagai kitab-kitab itu. Walaupun dalam beberapa kasus bahkan bukan berasal dari kitab yang bertemakan hadits, melainkan kitab-kitab fiqh (hukum Islam), ataupun kitab-kitab sejarah.