Muhammad Sholeh bin Umar al-Samārānī, yang lebih dikenal sebagai Kyai Sholeh Darat, merupakan seorang ulama dan pejuang yang tegas menentang penjajahan Belanda. Semangat perlawanannya terhadap penjajahan kolonial Belanda sudah ada dalam dirinya sejak lahir, karena ia memiliki garis keturunan yang menentang penjajahan. Selain itu, Kyai Sholeh Darat adalah pengarang kitab Tafsir Faidh al-Rahmān pada akhir abad ke-19, di mana tafsir ini ditulis dalam bahasa Jawa Pegon, yang merupakan bahasa setempat di pesisiran Jawa. Kitab ini dikenal dengan judul Faidh ar-Rahmān fī Tarjamah Tafsīr Kalām Mālik ad-Dayyān.
Nama lengkapnya adalah Muhammad Sholeh bin Umar as-Samārānī seperti yang tercatat dalam karya-karyanya, tetapi masyarakat Jawa lebih mengenalnya dengan sebutan Kyai Sholeh Darat. Gelar “Darat” yang melekat pada namanya merujuk pada sebuah desa tempat ia tinggal dan mendirikan pesantren. Desa tersebut terletak di pantai utara pulau Jawa, tepatnya di perkampungan Dipah Darat atau Darat Tirto, di Kelurahan Dadapsari, Kecamatan Semarang Utara, Semarang, Jawa Tengah. (Amirul, 2016: 37)
Kyai Sholeh Darat lahir pada tahun 1820 M di Jawa selama periode perang Jawa yang mereda. Ia menerima pendidikan awal dalam agama Islam dari ayahnya, yang juga seorang ulama yang disebut Kyai Umar. Kyai Sholeh kemudian melanjutkan pendidikannya dan memperoleh ilmu dari berbagai Kyai terkenal seperti Kyai Hasan Bashori dan Kyai Syahda. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya, Sholeh melanjutkan pencarian ilmunya sebagai santri dan belajar di berbagai tempat di Jawa serta di Makkah. Di Makkah, ia juga ikut serta dalam kelompok halaqah ilmiah di Masjidil Haram bersama dengan komunitas ulama Jawi. (Sholeh, 2017: xiii-xvi)
Setelah kembali dari Mekkah ke Indonesia, Kyai Sholeh Darat mengajar banyak santri terkenal, termasuk Kyai Hasyim Asy’ari (Pendiri Nahdatul Ulama), Kyai Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), serta Kartini, yang merupakan salah satu muridnya. Di samping itu, Kyai Sholeh Darat memberikan panduan keagamaan kepada masyarakat melalui pengajian yang diadakannya di berbagai lokasi. Ia juga merupakan seorang penulis yang produktif dalam bahasa Arab Pegon, mencakup berbagai disiplin ilmu, termasuk fikih, tafsir, hadis, dan tasawuf. (Miftah, 2017: xx-xxiii)
Penulisan tafsir oleh Kyai Sholeh Darat dipengaruhi oleh kondisi umat Islam Jawa yang memiliki pemahaman yang terbatas mengenai Al-Qur’an, meskipun Allah Swt. telah memerintahkan umat Islam untuk memahami makna kitab suci tersebut. Oleh karena itu, Kyai Sholeh Darat merasa dorongan untuk menyusun Tafsir Faidh ar-Rahmān. Ia sangat peduli terhadap umat Islam yang memiliki pemahaman yang terbatas tentang Al-Qur’an dan hal ini mendorongnya untuk menciptakan tafsir yang lebih mudah dipahami. Ia melakukan pendekatan lokal dan menjelaskan ayat-ayat suci Al-Qur’an dalam bahasa setempat sehingga Al-Qur’an tetap relevan dan dapat menjadi panduan dan petunjuk bagi masyarakat.
Contoh Penafsiran Kyai Sholeh Darat I: Surat Al-Baqarah/ 191
Berikut ini penafsiran Kyai Sholeh Darat secara zahir:
“Berperang lah kalian wahai orang mu’min atas kafir Makkah di mana saja kalian menjumpai mereka. Entah mereka memerangi kalian terlebih dahulu atau tidak. Dan usirlah kafir Makkah sekira mereka mengusir diri kalian, yang demikian itu merupakan perlakuan terhadap orang kafir saat mendekati Makkah. Sungguh perbuatan syirik itu lebih besar dosanya daripada membunuh di dalam tanah haram atau membunuh di saat ihram. Dan janganlah kalian memerangi kafir Makkah ketika berada di dalam Masjid Haram. Namun diperbolehkan bagi kalian memerangi kafir Makkah ketika mereka memulai perang atas kalian. Yang demikian (peperangan dan pengusiran) itu merupakan balasan bagi orang-orang kafir.” (Darat, 1898: 343)
Adapun makna Isyari ayat ini adalah
“waqtulūhum haytsu tsaqiftumūhum ditafsirkan dengan Perangilah kalian semua orang-orang yang menghalangi dari perjalanan menuju kepada Allah… memutus kalian semua dari jalan Allah, mereka setan-setan jin dan manusia. Termasuk nafsu kalian juga perangilah, karena musuhmu yang paling berat adalah (nafsu) perutmu.” (Darat, 1898: 343)
Kyai Sholeh menekankan pentingnya perjuangan spiritual melawan segala rintangan, termasuk setan-setan jin dan manusia. Selain itu, pesan ini juga menyoroti pentingnya mengendalikan nafsu duniawi, terutama nafsu makanan, yang sering menjadi hambatan dalam mencapai kesatuan dengan Allah. Dalam konteks sufisme, pesan ini mengajarkan bahwa perjuangan spiritual dan pengendalian diri merupakan langkah penting dalam mencapai kesadaran spiritual yang lebih tinggi dan hubungan yang lebih dalam dengan Allah.
Wa al-fitnatu asyaddu min al-qatl. Artinya: kecintaan hati kepada hal-hal selain Allah merupakan bagian dari fitnahnya nafsu karena ia telah menghalangi dari ru’yatullāh (melihat Allah). Hal itu merupakan fitnah yang lebih besar dan lebih berat daripada matinya nafsu karena tidak menuruti apa yang diinginkannya. Karena nafsu dapat hidup dengan makan dan minum, sedangkan hati dapat hidup dengan billāh lillāh fillāh fafham fafham (maka pahamilah!). (Sholeh, 1898: 343-344)
Signifikansi menjauhkan hati dari cinta terhadap hal-hal selain Allah sangat ditekankan. Tindakan ini dipandang sebagai ujian dan godaan dari nafsu duniawi yang dapat menghalangi seseorang untuk mencapai pengalaman langsung dalam melihat Allah (ru’yatullah). Dalam perspektif sufisme, godaan atau fitnah dari cinta terhadap hal-hal dunia dianggap sebagai ujian yang lebih besar dan lebih berat daripada mengendalikan atau menahan nafsu yang ingin memenuhi keinginannya. Pesan ini menekankan pentingnya fokus pada hubungan spiritual dengan Allah dan menjauhkan hati dari ketergantungan pada dunia material.
Namun demikian, dalam melakukan pengendalian nafsu seseorang tidak diperkenankan sampai batas menghilangkan secara total. Hal yang seperti ini menurut Kyai Sholeh dianggap sebagai melewati batas, dan Allah tidak menyukai orang-orang yang melewati batas (QS. Al-Baqarah: 190). Maka cara yang benar dalam melakukan riyādah dan mujāhadah adalah sampai nafsu telah mencapai derajat muṭma`innnah (ketenangan), dan ini merupakan maksud dari ayat, “Dan janganlah kamu perangi mereka di Masjidil Haram” (QS. Al-Baqarah: 191). (Sholeh, 1898: 343)
Kyai Sholeh menekankan pentingnya pengendalian nafsu, namun juga memberi peringatan bahwa pengendalian yang berlebihan hingga menghilangkan nafsu sepenuhnya dianggap melampaui batas dan tidak diinginkan oleh Allah. Pendekatan yang disarankan adalah melalui riyādah (latihan rohani) dan mujāhadah (perjuangan spiritual) hingga nafsu mencapai ketenangan. Hal ini mengacu pada prinsip sufisme bahwa pengendalian diri harus mencapai keseimbangan yang tepat. Dalam konteks ini, dikutiplah ayat “Dan janganlah kamu perangi mereka di Masjidil Haram” untuk menunjukkan pentingnya menjaga proporsi dan konteks dalam upaya spiritual.
Contoh Penafsiran Kyai Sholeh Darat II: Surat Ali Imran/ 27
“Allah memasukkan sifat jelek (malam) ke dalam sifat baik (siang) maka hati orang tersebut akan menjadi jelek (gelap) dan Allah memasukkan sifat baik (siang) ke dalam sifat jelek atau nafsu (malam) maka hati orang tersebut akan menjadi ternag benderang. Allah mengeluarkan hati yang hidup dari nafsu yang mati dan Allah mengeluarkan hati yang mati dari nafsu yang hidup.” (Sholeh, 1898: 51)
Kyai Sholeh Darat menggunakan perumpamaan siang dan malam untuk menggambarkan perubahan dalam sifat dan kondisi hati seseorang. Baginya, siang melambangkan sifat yang baik, terang, dan positif, sedangkan malam melambangkan sifat yang buruk atau gelap. Ini mengacu pada konsep dualitas yang ada dalam banyak agama dan filsafat, di mana terdapat pertentangan antara kebaikan dan kejahatan.
Kyai Sholeh Darat sangat menyoroti peran Allah dalam mengubah hati dan sifat manusia. Ia meyakini bahwa Allah dapat menyelipkan sifat yang baik ke dalam sifat yang buruk, dan sebaliknya, serta mengeluarkan hati yang hidup dari keinginan yang mati dan hati yang mati dari keinginan yang hidup. Hal ini menunjukkan keyakinannya akan kuasa Allah dalam mengarahkan dan mengubah manusia sesuai dengan kehendak-Nya.
Menurut Kyai Sholeh, transformasi hati manusia sangatlah penting. Hati yang pada awalnya mungkin dianggap buruk atau gelap dapat berubah menjadi baik dan terang melalui campur tangan Allah, dan sebaliknya. Ini mencerminkan konsep kesempurnaan spiritual dan perbaikan diri dalam agama dan filsafat.
Kyai Sholeh Darat adalah seorang ulama Nusantara tidak hanya berperan penting dalam perjuangan melawan penjajahan Belanda, akan tetapi juga memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang agama Islam melalui penulisan tafsir dan ajarannya. Penafsiran spiritualnya tentang ayat-ayat Al-Qur’an mencerminkan pandangan sufisme yang mengedepankan perjuangan spiritual, pengendalian diri, dan hubungan yang lebih dalam dengan Allah.