Manusia, Setan dan Pendidikan Anti-Hipokrisi Berbasis al-Qur’an

Hubungan Manusia dan Setan dalam Al-Quran

Sri Madhava Ashish sebagaimana dikutip M. Darwis Hude mengajukan suatu pernyataan yang sederhana namun begitu kompleks; “apa manusia itu?”. Pada akhirnya dia berhenti mencari lalu menyatakan “pertanyaan ini meskipun telah ditanyakan berkali-kali, tetap saja sulit untuk menemukan jawaban yang komprehensif”.

Bacaan Lainnya

Sejatinya, manusia menjadi entitas yang unik karena mampu menjadi fokus penelitian baik sebagai objek maupun subjek secara simultan. Sebagai subjek, manusia bertindak karena memiliki ketertarikan yang besar terhadap segala hal yang memikat perhatiannya. Ketertarikan ini tidak hanya terbatas pada hal-hal yang terlihat, melainkan juga mencakup aspek-aspek metafisis yang tidak dapat dijangkau oleh penelitian ilmiah.

Di sisi lain, saat manusia dijadikan objek penelitian, hal ini menghasilkan beragam disiplin ilmu, seperti ilmu pendidikan, antropologi, sosiologi, biologi, psikologi, kriminologi, ilmu hukum, dan berbagai cabang ilmu humaniora lainnya (M. Darwis Hude, 2006 : 1).

Ahmad Tafsir (2004 : vii) mengutip Hasan Basri menyebutkan bahwa Al-Quran telah secara jelas menetapkan definisi manusia dalam dua dimensi; 1) dimensi spiritual sebagai ‘Abdullah (hamba dan pelayan Tuhan) sesuai QS Adz-Dzariyat: 56; serta 2) dimensi sosial-intelektual sebagai Khalifatullaah fi al-Ardh (perwakilan Tuhan dalam merawat bumi) sesuai QS Al-Baqarah: 30.

Manusia dalam dimensi spiritual, sosial maupun intelektual sesungguhnya memiliki Al-Quran sebagai pegangan dan pedoman dasar tindakan. Sebagai sedikit penambahan, Ali Romdhoni (2013 : 63) merujuk Husain ath-Thabathaba’i, menyatakan bahwa manusia tidak hanya melihat Al-Quran sebagai penentu dan panduan hidup semata (sesuai QS Al-Baqarah: 185), tetapi juga sebagai penjelasan mengenai “rules of the game” (aturan main) dalam kehidupan dunia dan akhirat untuk mencapai al-falah (kebahagiaan). Aturan main ini juga akan menggerakkan jiwa dan pikiran manusia menuju ketenangan jiwa (an-nafs al-muthmainnah).

Salah satu aturan main (rules of the game) yang sudah ditetapkan dengan jelas oleh Al-Quran adalah permusuhan antara setan dan manusia.  Al-Quran telah menggariskan ini melalui QS Al-Baqarah : 36;

فَاَزَلَّهُمَا الشَّيْطٰنُ عَنْهَا فَاَخْرَجَهُمَا مِمَّا كَانَا فِيْهِ ۖ وَقُلْنَا اهْبِطُوْا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ ۚ وَلَكُمْ فِى الْاَرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَّمَتَاعٌ اِلٰى حِيْنٍ

“Lalu, setan menggelincirkan keduanya darinya sehingga keduanya dikeluarkan dari segala kenikmatan ketika keduanya ada di sana (surga). Kami berfirman, “Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain serta bagi kamu ada tempat tinggal dan kesenangan di bumi sampai waktu yang ditentukan.”

Pada ayat lain, Al-Quran juga telah menyebutkan setan sebagai musuh yang nyata (‘aduwwun mubinun) sebanyak delapan kali, yaitu: QS Al-Baqarah 168, QS Al-Baqarah 208, QS Al-An’am 142, QS Al-A’rof 22, QS Yusuf 5, QS Yasin 60, QS Az-Zukhruf 62, dan QS Al-Isra 53.

Hipokrisi: Setan dalam Diri Manusia

Terdapat dua kutub yang saling berseberangan dalam karakter manusia; hipokrisi dan asertivitas. Hipokrisi sebagai kutub yang mengawali terjadinya kebatilan, kebohongan dan segala yang menghalangi dan menutupi upaya menghadirkan kebenaran. Sebaliknya, Asertivitas adalah lambang kebenaran, postulat serta semua upaya yang menghadirkannya dalam konteks kejujuran yang murni.

Alberti dan Emmons (2008) mengungkapkan asertivitas bertindak sebagai pondasi yang sangat mendasar dalam pendidikan anak, baik secara psikologi perkembangan, karakter dan kesehatan mental. Dalam hal ini, terdapat penekanan bahwa; hipokrisi pada akhirnya menjadi pangkal semua keburukan, seperti fanatisme, terorisme, korupsi, pelecehan dan semisal; sedangkan sebaliknya, asertivitas adalah pangkal semua kebaikan, keterbukaan, rasa hormat, kejujuran dan sikap tulus.

Al-Quran setidaknya telah menggambarkan hipokrisi dalam banyak ayat, salah satunya adalah QS Al-Baqarah : 14 yang berbunyi:

وَاِذَا لَقُوا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قَالُوْٓا اٰمَنَّا ۚ وَاِذَا خَلَوْا اِلٰى شَيٰطِيْنِهِمْ ۙ قَالُوْٓا اِنَّا مَعَكُمْ ۙاِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِءُوْنَ

Apabila mereka berjumpa dengan orang yang beriman, mereka berkata, “Kami telah beriman.” Akan tetapi apabila mereka menyendiri dengan setan-setan (para pemimpin) mereka, mereka berkata, “Sesungguhnya kami bersama kamu, kami hanya pengolok-olok.”

Ash-Showy dalam Hasyiyah Tafsir Jalalain (1935) menyebut ayat di atas turun berdasarkan kisah tentang Abdullah bin Ubay bin Salul. Suatu hari Abu Bakar, Umar dan Ali memanggilnya dan menyerunya untuk bersikap ikhlas. Maka Abdulah bin Ubay bin Salul menjawab “baiklah wahai Abu Bakar yang jujur, Umar yang kuat dan Ali keponakan Rasulullah. Sesungguhnya imanku sama dengan iman kalian”, namun tatkala ia kembali ke kelompoknya ia berkata “ketika mereka bertemu kalian, ucapkanlah seperti apa yang saya ucapkan barusan”. Maka turunlah ayat tersebut.

Selanjutnya Ash-Showy memberi catatan terhadap Tafsir Jalalain yang menafsirkan kata Syayathinihim atau “setan-setan mereka” menjadi “pemimpin-pemimpin mereka”. Menurutnya terdapat dua sebab penafsiran “pemimpin-pemimpin” dari kata “setan-setan”, yaitu; 1) karena di dalam diri mereka terdapat setan yang membisikkan keburukan dan mengajarkan tipu daya; 2) karena mereka memiliki sifat yang sama dengan setan, yaitu kepandaian dalam membujuk rayu dan mendominasi.

Dari hasyiyah tersebut terdapat informasi bahwa ash-Showy menekankan adanya setan berwujud manusia yang mendominasi dan melakukan bujuk rayu yang kuat sehingga ia dapat mempengaruhi sekitarnya untuk menjadi hipokrit yang menutupi kebenaran, menolak hati nurani dan mengedepankan ego fanatisme serta mendukung upaya-upaya menjauhkannya dari nilai-nilai kebaikan.

“Setan-setan berwujud manusia” inilah yang menjadi pendorong utama lahirnya para koruptor, teroris, fanatis, pejabat yang tidak adil, serta kepribadian manusia yang kontra-asertif. Sehingga manusia berhati malaikat sekalipun jika berada pada lingkaran ini, dapat berubah secara signifikan.

Nasaruddin Umar (t.th. : 180) menambahkan bahwa Al-Quran beberapa kali memberikan deskripsi singkat tentang ciri lingkaran hipokrit, seperti; 1) lain di mulut lain di hati (QS Al-Maidah : 41); 2) tidak tetap dalam pendirian (QS Al-Baqarah : 8-9); 3) pendusta dan tidak dapat diberi kepercayaan (QS Al-Munafiqun : 1); 4) penuh tipu daya dan handal dalam berkata-kata (QS At-Taubah : 65); 5) riya dan penuh drama (QS An-Nisa : 142); 6) takut akan proses dan resiko serta ingin menang sendiri (QS At-Taubah : 44-49); 7) orientasi keuntungan dan enggan berkorban (QS Al-’Ankabut : 10-12); 8) fitnah kepada orang-orang yang bersih hatinya (QS Al-Ahzab : 122); 9) provokasi dan membuat keadaan menjadi rumit lalu ingin tampil sebagai pahlawan (QS An-Nisa : 61).

Oleh karenanya diperlukan bekal pendidikan yang mapan untuk membentengi seorang muslim dari pengaruh lingkaran tersebut, baik dari sisi guru kepada muridnya, ataupun yang lebih utamanya adalah dari orangtua kepada anaknya.

Menghadirkan Pendidikan Anti-Hipokrisi Berbasis Tafsȋr Tarbawȋ

Al-Quran adalah kitab pendidikan yang paling agung. Perintah pertama yang diturunkan kepada Muhammad adalah perintah pendidikan, yaitu membaca (QS Al-’Alaq : 1). Pembuktian pertama yang dilakukan oleh Tuhan kepada malaikat saat mereka meragukan penunjukan manusia sebagai khalifah-Nya adalah Tuhan melakukan proses pendidikan berupa at-ta’lim (mengajarkan) kepada Nabi Adam tentang nama-nama (QS Al-Baqarah : 31).

Begitu juga, surah pertama dalam susunan mushaf Al-Quran (Al-Fatihah) adalah surah yang mencerminkan proses pendidikan Tuhan kepada hamba-Nya yang ingin melakukan komunikasi kepada-Nya dengan metode yang disebut direct method (metode langsung), yaitu sebuah metode dimana sang pendidik mengucapkan sebuah ungkapan lalu peserta didik diminta untuk menirunya. Hadi Ma’rifat (2013 : 16) menekankan nilai pendidikan yang ada dalam Al-Quran adalah sebuah prinsip yang tegak dan kuat karena dibangun berdasarkan hasil eksperimentasi yang nyata dan faktual.

Ahmad Tafsir (2004 : 2) menyebutkan perbedaan yang mendasar antara Pendidikan Islam dan Pendidikan Agama Islam adalah melihat keduanya dari sifat pembandingnya masing-masing. Pendidikan Islam adalah pendidikan yang berdasarkan kepada Islam dan teorinya disusun berdasarkan Al-Quran dan Sunnah Nabi; dimana pembandingnya adalah Pendidikan Barat atau Pendidikan Rasionalis, yaitu pendidikan yang didasarkan pada teori rasionalisme dan kemurnian akal yang berangkat dari renaissance.

Sedangkan Pendidikan Agama Islam adalah sebuah usaha-usaha pendidikan formal yang merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi proses belajar mengajar di dalam kelas dengan mata pelajaran yaitu Agama Islam; dimana pembandingnya adalah Pendidikan Matematika, Pendidikan Bahasa Arab, Pendidikan Olah Raga, dan lain sebagainya. Sehingga dalam pembahasan tentang Al-Quran dan pendidikan anti-hipokrisi ini, yang digunakan adalah nomenklatur Pendidikan Islam, bukan Pendidikan Agama Islam.

Lebih lanjut, Ahmad Tafsir (2004 : 17) menambahkan unsur-unsur dasar yang perlu dipenuhi dalam proses pendidikan adalah adalah; 1) Tujuan; 2) Pendidik; 3) Anak Didik; 4) Kurikulum; 5) Metode; dan 6) Kegiatan.

Maka apabila kita aplikasikan unsur tersebut dalam proses pendidikan Islam tentang anti hipokrisi berdasarkan Hasyiyah Ash-Showyterhadap Tafsir Jalalain QS Al-Baqarah : 14 adalah; 1) Tujuan: membekali peserta didik tentang bahaya hipokrisi dengan menekankan kemurkaan Tuhan terhadap pelakunya serta memberi pemahaman tentang “lingkaran setan berwujud manusia” yang dapat melakukan bujuk rayu dan dominasi untuk menjadi pribadi yang kontra-asertif;

2) Pendidik: orang tua, guru, kerabat dan lingkungan masyarakat; 3) Anak Didik: anak, murid, kerabat dan atau lingkungan masyarakat; 4) Kurikulum: urgensi bersikap asertif (jujur), bahaya bersifat hipokrit, ciri-ciri hipokrit serta bahaya lingkungan yang buruk dalam tinjauan Al-Quran dan Sunnah Nabi; 5) Metode: dialog, ceramah dan atau resitasi.

Daftar Pustaka

Alberti, Robert dan Michael Emmons, Your Perfect Right: Assertiveness and Equality in Your Life and Relationships (9th Edition), Inggris: Publisher Impact, 2008.

At-Thabathaba’i, “Mengungkap Rahasia Al-Quran” terj. A. Malik dan Hamim Ilyas dalam Ali Romdhoni, Al-Quran dan Literasi: Sejarah Rancang Bangun Ilmu-ilmu Keislaman, Depok: Literatur Nusantara, 2013.

Ash-Showy, Ahmad bin Muhammad, Hasyiyah Tafsir al-Jalalayn, al-Mathba’ah al-Azhariyyah: Mesir, 1935

Marifat, M. Hadi, Kisah-kisah Al-Quran: antara Fakta dan Metafora terj. Azam Bahtiar, Jakarta: Citra Gria Aksara Hikmah, 2013

Hude, M. Darwis, Emosi: Penjelajahan Religio-Psikologis tentang Emosi Manusia di dalam Al-Quran, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006.

Umar, Nasaruddin, Kontemplasi Ramadhan: Menapak Jalan Pencinta Meraih Kasih Yang Maha Mencinta, t.tp. : As’adiyah, t.th.

Tafsir, Ahmad dkk., Cakrawala Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung: Mimbar Pustaka, 2004.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *