Keindahan merupakan suatu naluri yang sudah melekat pada seorang wanita. Menunjukkan keindahan melalui penampilan mengakibatkan secara sadar maupun tidak, wanita memiliki kecenderungan untuk selalu ingin tampil menarik, tujuannya tidak selalu untuk menimbulkan kekaguman terhadap laki-laki ataupun terhadap sesamannya, kadangkala hal tersebut dilakukan demi memenuhi kepuasan batin.
Namun, tanpa disadari, seringkali yang menjebak wanita adalah ketika menempatkan fungsi primer pakaian yang pada mulanya sebagai penutup aurat justru terjebak pada fungsi tersier pakaian yaitu lebih mementingkan aspek keindahan dan mengabaikan fungsi primernya (Restiviani, 2020).
Kecenderungan untuk mempercantik dan memperindah diri yang berlebihan biasanya menimbulkan perasaan ingin dipuji, bukan lagi demi kepuasan batin namun mengharapkan validasi dari orang lain. Sehingga, tak sedikit perempuan yang mengelurkan biaya yang lumayan fantastis untuk memperindah diri dengan berhias, berdandan, serta berpakaian demi mendapatkan pujian dan juga untuk menggoda lawan jenis.
Era globalisasi serta arus ledakan media sosial dan pengaruh elektronik saat ini, tanpa disadari telah menjadi bagian hidup manusia. Media sosial dapat diakses oleh siapa saja tanpa memandang tua ataupun muda, laki-laki maupun perempuan dapat mengkontribusikan waktunya pada media sosial.
Aplikasi media sosial seperti Instagram, facebook, tiktok, dan lainnya dapat digunakan untuk mengunggah foto dan video memperlihatkan kecantikan wajah, aksesoris yang digunakan, keelokan bentuk tubuh, dan kemewahan busana yang digunakan, diperlihatkan untuk menarik perhatian dan mengharapkan pujian banyak orang baik sesama jenis maupun lawan jenis.
Fenomena yang merebak di era modern ini bukanlah sesuatu yang baru namun sejatinya, merupakan sebuah reinkarnasi tradisi jahiliyyah yang lalu yang di disebut dengan tabarruj. Konsep tabarruj telah banyak dijelaskan dalam Al-Quran. Salah satunya dalam QS. Al-Azhab ayat 33:
وَقَرْنَ فِى بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ ٱلْجَٰهِلِيَّةِ ٱلْأُولَىٰ ۖ وَأَقِمْنَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتِينَ ٱلزَّكَوٰةَ وَأَطِعْنَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓ ۚ إِنَّمَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ ٱلرِّجْسَ أَهْلَ ٱلْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
…Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya...
Kata tabarruj diambil dari kata baraja yang berarti nampak dan meninggi. Tabarruj juga dapat dipahami dalam arti kejelasan dan keterbukaan karena demikian itulah keadaan sesuatu yang nampak dan tinggi.
Larangan ber-tabarruj ini berarti larangan untuk menampakkan perhiasan secara berlebihan yang pengetiannya secara umum dinampakkan oleh wanita baik-baik atau memakai sesuatu yang tidak wajar untuk dipakai seperti halnya berdandan secara berlebihan, berjalan dengan berlenggak-lenggok.
Lebih lanjut lagi, tabarruj ini berarti menampakkan sesuatu yang tidak biasanya ditampakkan kecuali pada suami sehingga dapat mengundang decak kagum pria lain yang pada gilirannya dapat menimbulkan rangsangan atau mengakibatkan gangguan dari yang usil. (Quraish Shihab, 2002: 264)
Sedangkan kata jahiliyyah diambil dari kata jahl yang digunakan Al-Qur’an untuk menggambarkan suatu kondisi di mana masyarakatnya mengabaikan nilai-nilai ajaran Ilahi, melakukan hal-hal yang tidak wajar disebabkan oleh dorongan hawa nafsu, kepentingan sementara, serta kepicikan pandangan. Sehingga istilah jahiliyyah ini berdiri sendiri, tidak menunjuk ke masa sebelum Islam, namun menunjuk masa yang ciri-ciri masyarakatnya bertentangan dengan ajaran Islam, kapan pun dan dimana pun.
Dalam tafsir surah Al-Azhab ayat 33 menyebutkan sifat Jahiliyyah dengan al-ula yang berarti terdahulu yang memiliki bermacam-macam penafsiran. Ada yang menunjuk masa Nabi Nuh as., atau sebelum Nabi Ibrahim as. Agaknya yang lebiti tepat adalah menyatakan masa sebelum datangnya Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad selama pada masa itu masyarakatnya mengabaikan tuntunan Ilahi. Di sisi lain, adanya apa yang dinamai Jahiliyyah yang lalu mengisyaratkan akan adanya Jahiliah kemudian. Hal ini tentu setelah masa Nabi Muhammad saw Masa kini dinilai oleh Sayyid Quthub dan banyak ulama lain sebagai Jahiliyyah modern. (Quraish Shihab, 2002: 264)
Pada masa arab Jahiliyah dan awal masa Islam, wanita-wanita di jazirah Arabia memakai pakaian yang pada dasarnya mengundang kekaguman pria, selain kegunaan serta manfaatnya untuk mengurangi udara panas yang menjadi iklim umum padang pasir. Mereka juga sebenarnya menggunakan kerudung, akan tetapi hanya sekedar diletakkan dikepala dan terulur kebelakang, sehingga dada mereka dapat terlihat karena longgar atau karena terbukanya baju mereka.
Telinga dan leher mereka juga banyak dihiasi anting dan kalung yang ditampakkan. Mereka juga sering menggunakan celak mata yang dimaksudkan untuk menghias tetapi juga digunakan untuk obat pengkal mata. Kaki dan tangan mereka juga dihiasi dengan gelang yang dihentakkan ketika berjalan sehingga menghasilkan bunyi yang membuatnya menjadi perhatian (M. Quraish Shihab, 2004: 37)
Perempuan dipandang sebagai alat pemuas hasrat dasar kaum laki-laki. Karenanya perempuan dipandang sangat rendah. Dampak buruk dari pandangan ini sangat nyata dalam kekacauan pola hubungan seksual dalam masyarakat arab kala itu. Pandangan-pandangan buruk yang telah terjadi pada masa Jahiliyah yang telah dipaparkan diatas merupakan sebuah bentuk tindakan tabarruj masa itu. Tindak tabarruj yang memaksa wanita untuk memamerkan kecantikan mereka kepada laki-laki lain agar tidak mendapat perilaku yang buruk.
Akan tetapi semakin berkembangnya wanita dari masa kemasa, keterpaksaan itu berubah menjadi kesenangan karena pendapat perlakuan yang menyenangkan dari laki-laki dan merasa senang sebagai tontonan serta idola. Perubahan ini yang menjadi titik berlakunya eksploitasi dari berbagai cara (Mukhsin, 2016: 111).
Imam muslim dalam Shahih-nya menjelaskan bahwasanya sedemikian rusaknya budaya malu yang ada pada masa Jahiliyah, sehingga banyak perempuan dimasa itu melakukan tawaf, mengelilingi ka’bah dengan keadaan tidak mengenakan pakaian sehelaipun. Sementara kaum lelaki, menontonnya dengan penuh hawa nafsu. Tabarruj pada masa itu terbukti menjadikan perempuan sebagai budak pemuas nafsu bagi laki-laki sekaligus menjadikan perempuan tunamalu di hadapan publik.
Perbuatan tabarruj pada zaman Jahiliyah dan pada era modern ini hampir tidak ada bedanya bahkan mungkin tingkah laku pada zaman Jahiliyah jauh lebih mending, karena skalanya jauh lebih kecil dibandingkan dengan era modern ini, dimana perbuatan tabarruj ini dapat disaksikan dan ditonton oleh seluruh dunia.
Perbuatan tersebut tentu tidak terlepas dari kurangnya pendidikan dan penjagaan serta faktor lingkungan sosial. Aneka tontonan, musik, film dan sebagainya seringkali menyuguhkan budaya tabarruj ini, sehingga anak-anak yang sudah dididik untuk menutup aurat runtuh moralitasnya begitu menonton tayangan yang bernuansa tabarruj dan sangat tidak edukatif.
Hal ini tentu bertentangan dengan larangan tabarruj yang ada dalam QS. Al-Ahzab ayat 33. Meskipun ayat tersebut diturunkan kepada istri-istri Nabi Saw, namun tetap relevan bagi semua wanita-wanita Muslim hingga saat ini karena pesan moralnya yang universal.
Terkait dengan hukum Islam, perilaku tabarruj adalah haram sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an serta tafsir, tidak ada seorangpun yang boleh melihat sesuatu dari seorang wanita, baik dari anggota tubuhnya, rambutnya, perhiasannya ataupun pakaian yang ia kenakan demi untuk mendapatkan pujian dan untuk dinampakkan selain suami dan mahram-nya.
Larangan tersebut ditetapkan bukan tanpa tujuan melainkan untuk menjaga perempuan dari hal-hal yang menyesatkan dan keluar dari norma-norma kesopanan dalam Islam. Padahal Islam adalah agama yang menghendaki kesederhanaan. Al-Qur’an sebagai pedoman hidup yang diturunkan kepada Rasulullah SAW yang di dalamnya mengatur semua dengan porsinya masing-masing, tidak berlebih-lebihan dalam melakukan sesuatu.
SUMBER
Shihab, M.Quraish. 2002. “Tafsir Al-Misbah , Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an”. Jakarta: Lentera Hati.
Astika, Widia, dkk. 2022. “Analisis Makna Tabarruj dalam Al-Qur’an Surah Al-Azhab ayat 33”. Jurnal Studi Keislaman dan Pemberdayaan Umat. https://conferences.uinsgd.ac.id/index.php/gdcs/article/view/741/540
Restiviani, Y. (2020). Wanita Dan Tabarruj Perspektif Al Quran ( Kajian Terhadap Surat Al-Ahzāb Ayat 33 ). Liwaul Dakwah, 10(1), 85–100
Khasanah, M. (2021). Adab Berhias Muslimah Perspektif Ma’nā-cum-Maghzā tentang Tabarrujdalam QS Al-Ahzab 33. Al-Adabiya: Jurnal Kebudayaan Dan Keagamaan, 16(2), 171–184