Interpretasi Ayat-Ayat Disabilitas dalam Tafsir al-Qurthubi

Disabilitas berasal dari Bahasa Inggris yaitu disability yang berarti ketidakmampuan dan orang yang menyandang disabilitas disebut person with disabilities (Surwanti, 2016: 23). Penyandang disabilitas adalah orang yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau indera dalam waktu yang lama dan jika berinteraksi dengan masyarakat memiliki hambatan serta kesulitan untuk berinteraksi penuh (Pratiwi, 2016: 24).

Penyandang disabilitas juga dikenal dengan orang berkelainan yang dalam percakapan sehari-hari dikonotasikan sebagai suatu kondisi yang menyimpang dari rata-rata umumnya. Adapun dalam pendidikan inklusi, penggunaan kata “menyimpang” secara eksplisit digunakan kepada anak-anak yang memiliki kelainan dari rata-rata anak normal pada umumnya baik pada fisik, mental, kemampuan berpikir, ataupun indera (Atmaja, 2017: 7).

Bacaan Lainnya

Orang dengan disabilitas kerap diperlakukan tidak adil di masyarakat karena dianggap tidak mampu melakukan pekerjaan seperti orang normal pada umumnya. Hal ini seharusnya menjadi concern masyarakat untuk memberi hak-hak penyandang disabilitas dan perlakuan yang ‘spesial’ kepada mereka karena kebutuhan khusus yang harus mereka terima.

Di samping itu, Islam sebagai agama rahmatan lil-alamin seharusnya sudah memiliki pedoman mengenai perlakuan yang ditujukan kepada orang difabel. Mengenai hal ini, apakah terdapat ayat yang berkaitan dengan disabilitas dalam Al-Qur’an?

Term-term dalam Al-Quran yang menunjukkan disabilitas terdapat pada 36 ayat yang tersebar dalam 25 surah. Namun, hanya lima ayat yang menyebutkan makna disabilitas fisik dan 31 lainnya adalah disabilitas mental. Dari lima ayat tersebut, hanya tiga ayatlah yang menjelaskan tentang disabilitas yakni pada surah An-Nur ayat 61, surah Al-Fath ayat 17, dan surah ‘Abasa ayat 2 (Sibghotallah, 2020: 57).

Al-Quran adalah pedoman bagi umat manusia, akan tetapi sebagai manusia mungkin saja tidak memahami maknanya tanpa ada penafsiran (Chirzin, 2014: 3). Namun, tiap penafsiran Al-Quran memiliki corak yang berbeda (Yusuf, 2004: 63) salah satunya adalah yang bercorak fikih yang membahas tentang hukum (Kaltsum, 2015: 3). Adapun contoh tafsir yang membahas tentang hukum adalah tafsir al-Jāmi’ li Aẖkām al-Qur’ān karya Imam al-Qurthubi.

Pada penafsiran ayat-ayat disabilitas, Al-Qurthubi dalam tafsirnya menunjukkan bahwa Allah sangat memperhatikan penyandang disabilitas serta tidak membeda-bedakan antara manusia non-disabilitas dan yang memiliki kebutuhan khusus (difabel) terutama dalam hal ibadah.

Bagaimana Al-Qurthubi menginterpretasikan ayat-ayat yang berkaitan dengan disabilitas?

Pertama, surah An-Nur ayat 61

لَيْسَ عَلَى الْاَعْمٰى حَرَجٌ وَّلَا عَلَى الْاَعْرَجِ حَرَجٌ وَّلَا عَلَى الْمَرِيْضِ حَرَجٌ وَّلَا عَلٰٓى اَنْفُسِكُمْ اَنْ تَأْكُلُوْا مِنْۢ بُيُوْتِكُمْ اَوْ بُيُوْتِ اٰبَاۤىِٕكُمْ اَوْ بُيُوْتِ اُمَّهٰتِكُمْ اَوْ بُيُوْتِ اِخْوَانِكُمْ اَوْ بُيُوْتِ اَخَوٰتِكُمْ اَوْ بُيُوْتِ اَعْمَامِكُمْ اَوْ بُيُوْتِ عَمّٰتِكُمْ اَوْ بُيُوْتِ اَخْوَالِكُمْ اَوْ بُيُوْتِ خٰلٰتِكُمْ اَوْ مَا مَلَكْتُمْ مَّفَاتِحَهٗٓ اَوْ صَدِيْقِكُمْۗ لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَأْكُلُوْا جَمِيْعًا اَوْ اَشْتَاتًاۗ فَاِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوْتًا فَسَلِّمُوْا عَلٰٓى اَنْفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِّنْ عِنْدِ اللّٰهِ مُبٰرَكَةً طَيِّبَةً ۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمُ الْاٰيٰتِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُوْنَ ࣖ

…Tidak ada halangan bagi orang buta, orang pincang, orang sakit, dan dirimu untuk makan (bersama-sama mereka) di rumahmu, di rumah bapak-bapakmu, di rumah ibu-ibumu, di rumah saudara-saudaramu yang laki-laki, di rumah saudara-saudaramu yang perempuan, di rumah saudara-saudara bapakmu yang laki-laki, di rumah saudara-saudara bapakmu yang perempuan, di rumah saudara-saudara ibumu yang laki-laki, di rumah saudara-saudara ibumu yang perempuan, (di rumah) yang kamu miliki kuncinya, atau (di rumah) kawan-kawanmu. Tidak ada halangan bagimu untuk makan bersama-sama mereka atau sendiri-sendiri. Apabila kamu memasuki rumah-rumah itu, hendaklah kamu memberi salam (kepada penghuninya, yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri dengan salam yang penuh berkah dan baik dari sisi Allah. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat(-Nya) kepadamu agar kamu mengerti…

Al-Qurthubi dalam tafsirnya mengutip pendapat Ibnu Zaid yang berkata, “halangan yang dimaksud adalah halangan untuk berperang.” Sekelompok ulama menyatakan bahwa ayat ini berbicara tentang makanan yakni ketika orang-orang Arab dan orang-orang Madinah enggan untuk makan bersama orang yang mengalami uzur karena merasa jijik kepada orang yang buta, pincang, atau sakit. Hal ini adalah perilaku jahiliyah dan sikap sombong yang ditunjukkan mereka (Al-Qurthubi, 2006).

Ayat dan interpretasi di atas secara terang-terangan menegaskan kesetaraan sosial antara difabel dan orang normal. Mereka harus diterima dengan di masyarakat dan diperlakukan dengan tulus serta sama seperti orang normal lainnya tanpa diskriminasi ataupun stigma negatif dalam masyarakat.

Sebagai penegasan, dalam ayat tersebut dinyatakan bahwa tidak ada dosa bagi orang-orang yang memiliki uzur seperti tunanetra (al-a’mā), tunadaksa (al-a’raj), ataupun orang sakit (al-marīdh) untuk makan bersama orang sehat atau normal. Sebab, Allah SWT membenci kesombongan dan orang-orang sombong dan sesungguhnya Ia mencintai orang yang rendah hati (Ash-Shabuni, 1981: 223).

Islam mengecam tindakan diskriminasi dan sikap sombong karena jauh dari akhlak yang mulia. Maka, ayat di atas adalah pedoman untuk memenuhi hak-hak penyandang disabilitas, bagaimana memperhatikan mereka, dan juga menerima mereka dengan setara di antara masyarakat.

Kedua, surah Al-Fath ayat 17

لَيْسَ عَلَى الْاَعْمٰى حَرَجٌ وَّلَا عَلَى الْاَعْرَجِ حَرَجٌ وَّلَا عَلَى الْمَرِيْضِ حَرَجٌ ۗ وَمَنْ يُّطِعِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ يُدْخِلْهُ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ ۚ وَمَنْ يَّتَوَلَّ يُعَذِّبْهُ عَذَابًا اَلِيْمًا ࣖ

…Tidak ada dosa atas orang-orang yang buta, orang-orang yang pincang, dan orang-orang yang sakit (apabila tidak ikut berperang). Siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dia akan dimasukkan oleh-Nya ke dalam surga yang mengalir bawahnya sungai-sungai. Akan tetapi, siapa yang berpaling, dia akan diazab oleh-Nya dengan azab yang pedih…

Al-Qurthubi mengutip riwayat Ibnu Abbas yang berkata, ketika turun surah Al-Fath ayat 16, Orang-orang yang mempunyai penyakit menahun (cacat permanen) berkata, “Bagaimana dengan kami wahai Rasulullah?” Maka turunlah surah al-Fath ayat 17 ini. Yakni tidak ada dosa atas mereka jika tidak ikut berjihad karena buta (al-a’ma), penyakit menahun, atau karena lemah (Al-Qurthubi, 2006: 708).

Dalam ayat tersebut pula terdapat kata al-a’raj yang maksudnya adalah cacat pada sebelah kaki dan apabila hal itu menggugurkan kewajiban berjihad, maka apalagi jika cacat pada kedua kaki yang tentunya akan lebih menggugurkan laki kewajiban tersebut (Al-Qurthubi, 2006: 709).

Perlindungan terhadap kaum disabilitas juga dijelasakan dalam ayat di atas yang turun karena keresahan orang-orang yang memiliki keterbatasan fisik, baik hal itu karena cacat fisik maupun sakit, dalam melaksanakan perintah Allah berupa jihad yang sesungguhnya ditujukan untuk menyindir orang munafik yang enggan untuk berjihad padahal mereka sehat secara fisik maupun mental (Sibghotallah, 2020: 63).

Al-Quran memandang netral orang-orang dengan disabilitias yang artinya, Islam memperlakukan difabel dan orang normal dengan setara. Karenanya, Islam menekankan pada self improvement dan amal saleh dalam kehidupan sehari-hari dibandingkan dengan melihat persoalan fisik seseorang. Dengan kata lain, Islam mendorong untuk memprioritaskan ketakwaan kepada Allah SWT, kebersihan hati, dan kekuatan iman kepada-Nya (Sibghotallah, 2020: 74).

Hal ini diperjelas dengan hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim sebagai berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: ‌إِنَّ ‌اللهَ ‌لَا ‌يَنْظُرُ ‌إِلَى ‌صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ، وَأَعْمَالِكُمْ.

Dari Abu Hurairah r.a. berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk rupa dan hartamu, akan tetapi Dia melihat pada hati dan amalmu.” (HR Muslim 4651) (An-Naisaburi, n.d.: 11)

Seperti itulah Islam lebih mementingkan amal saleh dibandingkan dengan perawakan fisik. Namun sayangnya, belum banyak penelitian seputar Al-Qur’an yang memfokuskan kajiannya terhadap hak-hak kaum disabilitas. Hal ini boleh jadi karena belum adanya ahli atau pengkaji yang berasal dari kalangan disabilitas. Oleh karena itu, pengkajian ayat-ayat yang berkaitan tentang disabilitas menjadi penting untuk dibahas di zaman sekarang agar dapat diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat.

Referensi

Al-Qurthubi, A. A. (2006). Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an (Vol. 16). Muassasah Risalah.

An-Naisaburi, A. al-H. M. (n.d.). Al-Jami’ ash-Shahih (Shahih Muslim). Daar ath-Thiba’ah al-Imarah.

Ash-Shabuni, M. A. (1981). Rawai’ al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam (3rd ed.). Muassasah Manahil al-Irfan.

Atmaja, J. R. (2017). Pendidikan dan Bimbingan Anak Berkebutuhan Khusus. PT. Remaja Rosdakarya.

Chirzin, M. (2014). Permata Al-Quran. Gramedia Pustaka Utama.

Kaltsum, L. U. (2015). Tafsir Ayat-Ayat Ahkam. UIN Press.

Pratiwi, A. (2016). Buku Panduan Aksebilitas Layanan. Pusat Studi dan Layanan Disabilitas.

Sibghotallah, L. U. R. U. (2020). Penafsiran Ayat-Ayat Disabilitas Perspektif Tafsir Al-Jâmi’ Li Ahkâm Al-Qur’an Karya Imam Al-Qurthubî [Skripsi]. Institut Ilmu Al-Quran.

Surwanti, A. (2016). Advokasi Kebijakan Probilitas Pendekatan Parsiatif. Majelis Pemberdayaan Masyarakat.

Yusuf, M. (2004). Studi Kitab Tafsir Menyuarakan Teks yang Bisu. Teras.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *