Tiga Manajemen Emosi Sedih dalam Kajian Tafsir Q.S. Yusuf: 86

Emosi manusia sangat beragam yang dapat dikategorikan tujuh emosi mendasar yakni bahagia, sedih, marah, cinta, takut, malu, dan terkejut (Abdel-Magid Mohammed Isam Mohammed, 2017). Kesedihan menjadi salah satu emosi dasar yang dimiliki manusia dan penyebabnya beragam seperti terkena bencana alam, kegagalan, kesulitan, kecelakaan, hingga kehilangan orang terkasih (Hude, 2006).

Manusia adalah makhluk yang tak luput dari emosi termasuk rasa sedih karena adanya berbagai masalah yang datang silih berganti. Tak sedikit orang yang tenggelam dalam rasa sedih yang menyelimuti hari-hari mereka dan tak jarang pula dari mereka yang menjadi depresi dan meluapkan rasa sedih dengan cara yang negatif seperti mengurung diri, melukai diri sendiri, hingga bunuh diri karena gangguan mental yang diderita.

Bacaan Lainnya

World Health Organization (WHO) melaporkan pada 31 Maret 2023 bahwa diperkirakan 3,8% populasi atau sekitar 280 juta orang di dunia mengalami depresi. Depresi sekitar 50% lebih umum terjadi pada wanita dibandingkan pria. Lebih dari 700.000 orang meninggal karena bunuh diri setiap tahunnya. Bunuh diri adalah penyebab kematian keempat pada kelompok usia 15-29 tahun (Depressive Disorder (Depression), 2023).

Perbuatan negatif seperti bunuh diri bisa saja tidak terjadi jika seseorang memiliki pemahaman agama dan psikologi yang baik. Dari segi agama, setidaknya seorang muslim, jika ia tidak gila, memahami bahwa Al-Quran adalah pedoman, obat, serta petunjuk bagi manusia (Putri, 2021: 5) sebagaimana Allah SWT telah berfirman dalam surah Yunus [10] ayat 57:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاۤءَتْكُمْ مَّوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَشِفَاۤءٌ لِّمَا فِى الصُّدُوْرِۙ وَهُدًى وَّرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِيْنَ

Terjemahan Kemenag 2019

57.  Wahai manusia, sungguh telah datang kepadamu pelajaran (Al-Qur’an) dari Tuhanmu, penyembuh bagi sesuatu (penyakit) yang terdapat dalam dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang mukmin.

Berkenaan dengan ayat di atas, M. Quraish Shihab menafsirkan bahwa Al-Qur’an adalah pembimbing manusia dan obat yang sangat ampuh untuk penyakit-penyakit jiwa yang ada di dalam dada, yakni hati manusia dan petunjuk yang jelas menuju kebenaran dan kebaikan serta rahmat yang melimpah bagi orang-orang mukmin (Shihab, 2005).

Emosi yang tidak terkendali hanya akan menyakitkan individu itu sendiri (Hayati, 2017: 36). Sehubungan dengan itu, banyak kisah di Al-Qur’an yang membahas tentang kesedihan yang dialami para utusan Allah SWT. Seperti kesedihan Nabi Musa as. dalam menghadapi Bani Israil, sakit parah yang diderita Nabi Ayyub as., ujian keikhlasan yang diterima Nabi Ibrahim as. dan istrinya, dan masih banyak lagi (Putri, 2021).

Pada artikel ini, penulis akan fokus pada kajian surah Yusuf tentang kisah sedihnya saat kehilangan anak-anaknya tercinta terutama pada ungkapan sedih dan titik balik menjadi kebahagiaan pada ayat ke 86.

قَالَ اِنَّمَآ اَشْكُوْا بَثِّيْ وَحُزْنِيْٓ اِلَى اللّٰهِ وَاَعْلَمُ مِنَ اللّٰهِ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ

Terjemahan Kemenag 2019

86.  Dia (Ya‘qub) menjawab, “Hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku. Aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui.

Adapun dalam ayat di atas terdapat dua term kesedihan sekaligus yakni “huzn” dan “batstsun”. Dalam Ensiklopedia Al-Qur’an Kajian Kosakata, M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa kata “huzn” adalah mashdar dari hazina-yahzanu-huznan (Shihab, 2007). Sedangkan dalam Lisan al-Arab, “huzn” adalah kurangnya kebahagiaan atau kebalikan dari kesenangan (Manzhur, n.d.112/13).

Sedangkan “batstsun” maknanya adalah kesusahan yang amat besar yang tidak bisa lagi lepas dari pikiran, sehingga orang yang mengalaminya akan selalu menyebutkan dan menceritakan apa yang ia rasakan kepada siapa pun karena ia tidak mampu menanggungnya sendiri (Shihab, 2005).

Menurut ath-Thabari (w. 310 H), perkataan Nabi Ya’qub as. pada ayat 86 adalah jawaban dari ucapan anak-anaknya pada ayat sebelumnya yang artinya “Mereka berkata, ‘Demi Allah, engkau tidak henti-hentinya mengingat Yusuf sehingga engkau (mengidap) penyakit berat atau engkau termasuk orang-orang yang akan binasa’”. Ya’qub menjawab, “Aku bukan mengeluhkan kesusahan dan kesedihanku kepada kalian, akan tetapi aku mengeluhkan itu hanya kepada Allah.” (Ath-Thabari, n.d.: 225/16)

Al-Qurthubi (w. 671 H) dalam tafsirnya mengelaborasikan bahwa makna kata “al-batstsu” pada ayat 86 adalah segala sesuatu merusakkan manusia yang tidak mungkin dihindari. Kata tersebut juga berarti musibah yang dikiaskan dengan kesusahan. (Al-Qurthubi, 2006: 249/9)

Ibn Katsir (w. 773 H) menjelaskan bahwa pada ayat 86, Nabi Ya’qub as. menjawab perkataan sepuluh anaknya dengan اِنَّمَآ اَشْكُوْا بَثِّيْ وَحُزْنِيْٓ “sesungguhnya aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku”, اِلَى اللّٰهِ “kepada Allah”. Kemudian pada وَاَعْلَمُ مِنَ اللّٰهِ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ “Dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui”, Ibn Katsir (w. 773 H) menjelaskan bahwa maksudnya, Ya’qub mengharap segala kebaikan dari-Nya (Ibn Katsir, n.d. 347/4).

Adapun pengendalian emosi secara tersirat maupun tersurat terdapat pada ayat 80-87. Pada ayat ke 83, Ya’qub mengatakan bahwa ia akan bersabar dan pada ayat ke 84, ia menyatakan berpaling dan menjauh dari anak-anaknya. Manajemen emosi sedih yang dilakukan oleh Ya’qub dalam psikologi disebut dengan displacement atau pengalihan yang merupakan penyaluran ketegangan pada objek lain (Putri, 2021: 77-78).

Selanjutnya, untuk mengelola rasa sedih yang diderita, Nabi Ya’qub as. menggunakan penyesuaian kognisi atau cognitive adjustment, yakni menilai suatu menurut paradigma subjek yang dapat disesuaikan dengan pemahaman yang dikehendaki (Hude, 2006: 270-271)

Dalam konteks surah tersebut, Ya’qub mempertahankan emosi positif melalui keyakinan bahwa Allah SWT akan mendatangkan anak-anaknya yang hilang kembali kepadanya sebagaimana dalam ayat 83 عَسَى اللّٰهُ اَنْ يَّأْتِيَنِيْ بِهِمْ جَمِيْعًاۗ  (Putri, 2021: 81).

Selain mempertahankan emosi positif, Nabi Ya’qub as. juga berdoa dengan penuh penghayatan kepada Allah SWT dan ia menceritakan segala kesedihan serta kesusahan yang dihadapinya hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagaimana dalam awal ayat ke 86. Hal ini tentu sangat mempengaruhi psikis Nabi Ya’qub as. ketika ia berserah diri kepada Tuhannya (Putri, 2021: 81-82).

Adapun manajemen emosi yang terakhir adalah coping atau menguasai masalah yang tidak diharapkan (Hude, 2006: 278). Dalam konteks surah Yusuf ayat 87, Ya’qub menunjukkan bahwa ia melakukan coping atau pemecahan masalah atas apa yang ia hadapi yakni dengan memerintahkan anak-anaknya kembali ke Mesir untuk mencari Yusuf dan saudaranya.

يٰبَنِيَّ اذْهَبُوْا فَتَحَسَّسُوْا مِنْ يُّوْسُفَ وَاَخِيْهِ وَلَا تَا۟يْـَٔسُوْا مِنْ رَّوْحِ اللّٰهِ ۗاِنَّهٗ لَا يَا۟يْـَٔسُ مِنْ رَّوْحِ اللّٰهِ اِلَّا الْقَوْمُ الْكٰفِرُوْنَ

Terjemahan Kemenag 2019

87.  Wahai anak-anakku, pergi dan carilah berita tentang Yusuf beserta saudaranya. Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tidak ada yang berputus asa dari rahmat Allah, kecuali kaum yang kafir.”

Hemat kata, manajemen emosi sedih ada tiga fase. Pertama, displacement atau pengalihan. Hal ini terdapat pada surah Yusuf ayat 80-85 yakni ketika Ya’qub berada dalam kondisi yang amat marah, kecewa, dan sedih. Namun, ia tidak mengucapkan sumpah serapah apa pun kepada sepuluh anaknya melainkan ia berpaling dari emosi yang membuncah tersebut dan bersabar atas cobaan yang diterima.

Fase kedua ialah cognitive adjustment di mana Ya’qub berdoa kepada Allah SWT dengan penuh kekhusyukan dan penghayatan sebagai tanda bahwa ia menerima apa yang Allah berikan. Hal ini pun mempengaruhi kejiwaan Ya’qub yang awalnya marah menjadi tenang. Fase ketiga ialah coping dengan cara berupaya menanggulangi situasi dengan berfokus pada masalah untuk menemukan solusi yang tepat.

Daftar Pustaka

Abdel-Magid Mohammed Isam Mohammed. (2017). The Tree of Emotions: Exploring the Relationships of Basic Human Emotions. International Journal of Indian Psychology, 5(1). https://doi.org/10.25215/0501.123

Al-Qurthubi, A. A. (2006). Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an (Vol. 16). Muassasah Risalah.

Ath-Thabari, A. J. (n.d.). Jami al-Bayan an Ta’wili Ayi al-Qur’an (Vol. 16). Daar at-Tarbiyah wa at-Turats.

Depressive disorder (depression). (2023, March 31). Https://Www.Who.Int/En/News-Room/Fact-Sheets/Detail/Depression.

Hayati, L. N. (2017). Hubungan Antara Pengendalian Emosi dengan Penyesuaian  Diri terhadap Lingkungan pada Remaja Penyandang Tuna Daksa Pasca Kecelakaan di Balai  Besar Rehabilitasi Sosial Bina Daksa (BBRSBD) Prof. Dr. Soeharso Surakarta. Institut  Agama Islam Negeri Surakarta Surakarta.

Hude, M. D. (2006). Emosi: Penjelajahan Religio-Psikologis tentang Emosi Manusia  di dalam Al-Qur’an. Penerbit Erlangga.

Ibn Katsir, A. al-F. (n.d.). Tafsir al-Quran al-Azhim (1st ed.). Daar al-Kutub al-Ilmiyah.

Manzhur, I. (n.d.). Lisan al-Arab (Vol. 13). Daar Shadir.

Putri, D. A. (2021). Pengendalian Emosi Sedih Menurut Al-Quran [Skripsi]. Institut Ilmu Al-Quran.

Shihab, M. Q. (2005). Tafsir Al-Mishbah (4th ed., Vol. 6). Lentera Hati.

Shihab, M. Q. (2007). Ensiklopedia Al-Qur’an Kajian Kosakata (Vol. 1). Lentera Hati.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *