Pluralisme Agama: Studi Kritis terhadap QS. Ali Imran ayat 64 tentang Makna Ahlul Kitab dan Implikasinya melalui Pendekatan Nurcholish Madjid.

Salah satu tema pokok yang diungkapkan dalam Al-Qur’an adalah menyangkut Ahlul Kitab. Al-Qur’an mengandung beberapa petunjuk tentang adanya para penganut kitab, juga mengenai agama lain selain agama Islam. Dalam Al-Qur’an, pemeluk agama Yahudi dan Nasrani diakui sebagai komunitas Ahlul Kitab. Hal ini diakui oleh sebagian besar umat Islam pada umumnya. (Andi Eka Putra, 2016: 44)

Para ‘ulama berbeda pendapat terkait cakupan Ahlul Kitab, dari kalangan mufassir klasik seperti Ath-Thabari memaknai Ahlul Kitab merujuk kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani, Ibnu Katsir memaknai Ahlul Kitab bukan hanya sebatas orang-orang Yahudi dan Nasrani akan tetapi juga orang-orang yang mengikutinya. (Suharman dkk, 2023: 1907)

Bacaan Lainnya

Sedangkan mufassir komtemporer seperti Hamka dan Quraisy Shihab memaknai Ahlul Kitab bukan hanya sebatas kepada orang atau golongan orang Yahudi dan Nasrani, akan tetapi siapa yang memiliki kitab suci meraka dapat disebut sebagai Ahlul Kitab. Bahkan Muhammad ‘Abduh, Rasyid Rida, Muhammed Arkoun tidak membatasi agama Yahudi dan Nasrani saja, tetapi agama Majusi, Shabiin, Budha, Hindu, Konghuchu masuk di dalamnya. (Suharman dkk, 2023: 1910)

Penulis melihat pemaknaan cakupan Ahlul Kitab semakin luas seiring berkembangnya zaman dan ilmu pengetahuan yang dimiliki seseorang, tak heran jika penafsir kontemporer merentangkan makna dan cakupannya ke arah yang semakin plural dan terkadang menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat, seperti pemaknaan Ahlul Kitab perspektif Nur Cholish Madjid atau yang lebih akrab disapa dengan nama Cak Nur.

Tentang ayat yang simpatik terhadap Ahlul Kitab, menurut Nurcholish Madjid, masih ada kalangan ulama tafsir yang menganggap mereka itu bukan lagi Ahlul Kitab, melainkan sudah Muslim. Tetapi ada juga yang beranggapan bahwa mereka tetap mengingkari kerasulan Muhammad dan Kitab Suci Al-Qur’an. Dengan demikian mereka tetap bukan golongan Muslim. Yang terakhir ini adalah pendapat mayoritas umat Islam. Namun kalau sikap mereka positif terhadap Nabi dan kepada kaum beriman, maka perlakuan kepada mereka oleh kaum beriman juga dipesan untuk tetap positif dan adil, yaitu selama mereka tidak memusuhi dan tidak pula merampas harta kaum beriman. (Andi Eka Putra, 2016: 44)

Cak Nur mengatakan sebagian ayat Al-Qur’an yang bernada positif dan simpatik kepada Ahlul Kitab menunjuk kepada mereka yang beriman dan berpegang teguh kepada ajaran kitab suci mereka sebelum datangnya Al-Qur’an. Akan tetapi ayat-ayat Al-Qur’an juga memberitahukan bahwa telah terjadi perubahan besar-besaran terhadap ajaran agama Ahlul Kitab. Meski demikian, Al-Qur’an tidak menyatakan bahwa para Ahlul Kitab itu sesat. Al-Qur’an tetap mengakui bahwa di antara mereka ada kelompok yang tetap berpegang teguh pada ajaran agamanya, walaupun kelompok minoritas. (Andi Eka Putra, 2016: 44)

Bangunan epistimologis Cak Nur diawali dengan tafsiran al-Islam. Islam tidak hanya dipahami sebagai agama formal (organized religion), melainkan Islam selalu dilukiskan sebagai jalan. Sebagaimana dipahami dari berbagai istilah yang digunakan kitab suci, seperti sirath, sabil, syari’ah, thariqah, minhaj, dan mansakh. Kesemuanya itu mengandung makna “jalan”, dan merupakan metafor-metafor yang menunjukkan bahwa Islam adalah jalan menuju perkenan Allah.  Sebagaimana telah disinggung di atas, Islam versi Cak Nur terbatas hanya pada sikap kepasrahan. Baginya, sikap ini menjadi inti ajaran agama yang benar di sisi Allah. (Maria Ulfa, 2013: . 240-241)

Perspektif Islam terhadap agama-agama lain tidak hanya terkait erat dengan system teologi yang dimilikinya, tapi juga berpijak pada pengalaman historis yang dilaluinya. Islam pada esensinya memandang manusia dan kemanusiaan secara positif dan optimis. Menurut Islam, manusia berasal dari laki-laki dan perempuan (satu nenek moyang), kemudian Tuhan menciptakan kemajemukan suku (syu’uban) dan bangsa (qobaila), kemajemukan tersebut ditujukan agar manusia saling mengenal (lita’arofu) belajar memahami satu sama lain, dan menjadi pribadi yang bertaqwa. (Muhammad Qorib, 2019: 67)

Pengetahuan tentang konteks sebab turunnya suatu ayat akan memberikan wawasan yang lebih luas terhadap makna suatu ayat. Ditinjau dari aspek periode turunnya QS. Ali Imran/3 ayat 64 termasuk kategori ayat Madaniyyah, sebab turun setelah Nabi Muhammad hijrah ke Madinah. Masyarakat Madinah yang dijumpai oleh Nabi Muhammad ketika itu tergolong masyarakat majemuk, baik dari segi etnik maupun agama. Di kalangan Muslim sendiri terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kaum Muhajirin dan Anshor. (Harda Armayanto dan Adib Fattah Suntoro, 2022: 107)

Nabi Muhammad sebagai pemimpin Madinah, dituntut untuk menciptakan tatanan masyarakat yang rukun di tengah pluralitas agama dan etnik yang ada. Nabi Muhammad lantas mencetuskan sebuah konstitusi yang disebut dengan Piagam Madinah yang sangat monumental itu. Sebab, ia adalah konstitusi tertulis pertama dalam sejarah Islam dan dicetuskan jauh sebelum bangsa Barat mengenal konsep negara konstitusional.

Piagam Madinah merupakan kesepakatan kontrak sosial yang mengikat seluruh elemen masyarakat Madinah terkait kebebasan menjalankan agama, hubungan antar kelompok, dan kewajiban mempertahankan kesatuan hidup demi terciptanya kerukunan dan persatuan. Dari sini diketahui bahwa secara konteks QS. Ali Imran/3 ayat 64 sebagai surah Madaniyah berbicara tentang persoalan-persoalan yang dihadapi Nabi Muhammad di Madinah yang salah satunya adalah terkait persoalan kemajemukan masyarakat. (Harda Armayanto dan Adib Fattah Suntoro, 2022: 107)

Menurut para ahli tafsir, QS. Ali Imran/3 ayat 64 dari ayat pertama hingga ke delapan puluh tiga, turun terkait orang-orang dari Najran yang datang menemui Nabi Muhammad pada tahun 9 Hijriah. Al-Suyuthi menyebutkan riwayat Ibn Ishaq dari Muhammad bin Sahal bin Abi Umamah ia berkata, “Ketika orang-orang dari Najran datang menemui Nabi Muhammad, mereka menanyakan tentang Isa bin Maryam, maka turunlah permulaan dari surah Ali Imran hingga ayat delapan puluhan”.

Secara spesifik QS. Ali Imran/3 ayat 64 turun berkaitan dengan peristiwa mubahalah yang diceritakan pada ayat 56-63 di surah tersebut. Ibn Katsir menjelaskan bahwa Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad agar menantang mubahalah kepada mereka yang menentang kebenaran Nabi Isa setelah datang penjelasan, dengan firman-Nya dalam QS. Ali Imran/3 ayat 61. (Harda Armayanto dan Adib Fattah Suntoro, 2022: 208)

Konsep kalimat sawa’ merupakan salah satu topik yang sering dibicarakan oleh Cak Nur. Dalam pemikirannya, konsep ini terkait erat dengan isu pluralisme agama. Cak Nur memahami bahwa menyikapi kemajemukan masyarakat tidaklah cukup hanya dengan sikap mengakui dan menerima kenyataan bahwa masyarakat itu bersifat majemuk, namun yang lebih mendasar harus disertai sikap tulus menerima kemajemukan itu sebagai bernilai positif dan merupakan rahmat dari Tuhan. Sehingga bagi Cak Nur, pluralisme merupakan suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia.

Cak Nur mengatakan, “Jadi Pluralisme sesungguhnya adalah sebuah aturan Tuhan (sunnnatullah) yang tidak akan berubah, sehingga juga tidak mungkin dilawan atau diingkari”. Dengan perspektif teologi yang pluralis ini, Cak Nur kemudian melakukan rekonstruksi penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an mengenai pluralisme agama dan hubungan antar umat beragama yang salah satunya terkait konsep kalimat sawa’. (Harda Armayanto dan Adib Fattah Suntoro, 2022: 213)

Menurut Cak Nur, kalimat sawa’ secara bahasa artinya adalah ide atau prinsip yang sama. Ia merupakan ajaran yang menjadi ‘common platform’ antara berbagai kelompok manusia. Dalam penjelasannya tentang QS. Ali Imran/3 ayat 64, Cak Nur menegaskan bahwa semua agama pada mulanya menganut prinsip yang sama, yaitu keharusan untuk berserah diri kepada Yang Maha Esa. Agama-agama itu berangsur-angsur akan menemukan kebenaran asalnya sendiri, baik karena dinamika internalnya atau karena persinggungan satu sama lain, sehingga semuanya akan bertumpu dalam satu ‘titik pertemuan’, ‘common platform’, atau istilah al-Qur’an, kalimat sawa’. (Harda Armayanto dan Adib Fattah Suntoro, 2022: 214)

Cak Nur menyoroti empat hal yang menjadi inti kandungan QS. Ali Imran/3 ayat 64: Pertama, adanya perintah mencari titik-temu antara para penganut berbagai agama berkitab suci. Kedua, titik-temu itu ialah tauhid atau paham Ketuhanan Yang Maha Esa (monoteisme). Ketiga, tauhid itu menuntut konsekuensi tidak adanya pemitosan sesama manusia atau sesama makhluk. Keempat, jika usaha menemukan titik-temu itu gagal atau ditolak, maka masing-masing harus diberi hak untuk secara bebas mempertahankan sistem keimanan yang dianutnya. Dari penafsiran ini dapat diketahui bahwa menurut CakNur, kalimat sawa’ yang dimaksud dalam Al-Qur’an ialah tauhid (monoteisme). (Harda Armayanto dan Adib Fattah Suntoro, 2022: 214)

Cara berpikir demikian berangkat dari pandangannya bahwa semua Nabi dan Rasul diutus Tuhan membawa pesan yang sama, yaitu ajaran terhadap kepatuhan dan kepasrahan kepada Tuhan. Orang yang beragama adalah orang yang patuh. Dalam memeluk agama, seseorang harus patuh secara total kepada Tuhan. Itulah makna “Din” sesungguhnya, yaitu kepatuhan kepada Tuhan secara total. Kepatuhan ini menuntut adanya sikap pasrah yang total pula. Itulah Islam. Sehingga, tidak ada kepatuhan yang sejati tanpa adanya sikap pasrah. Islam dalam konsepsi Cak Nur bukan hanya dimaknai sebagai agama formal (organized religion), melainkan juga selalu dilukiskan sebagai jalan menuju Tuhan. Cak Nur berargumen bahwa pandangannya ini mengutip pemikiran Ibn Taimiyah yang menyatakan bahwa lafal Al-Islam mengandung pengertian al-istislam (sikap berserah diri) dan al-inqiyad (tunduk patuh), sehingga dalam Islam harus ada sikap tunduk dan berserah diri.

DAFTAR PUSTAKA

Armayanto, Harda dan Adib Fattah Suntoro, “Konsep Kalimat Sawa’ dalam Hubungan Antaragama: Analisis Komparatif Pandangan Hamka dan Nurcholish Madjid” dalam Jurnal Al-Misykah, Vol. 3, No. 2 Tahun 2022, hal. 199-223.

Putra, Andi Eka. “Konsep Ahlul Kitab dalam Al-Qur’an Menurut Penafsiran Muhammed Arkoun dan Nurcholish Madjid: Sebuah Telaah Perbandingan,” Jurnal Al-Dzikra, Vol. 10 No. 1 Tahun 2016, hal. 44-65.

Qorib, Muhammad. Pluralisme Buya Syafii Maarif: Gagasan dan Pemikiran Sang Guru Bangsa. Yogakarta: Building, 2019.

Suharman, dkk. “Pendidikan Sosial dalam Perspektif Al-Qur’an Surah Ali Imran ayat 64,” Jurnal Kolaboratif Sains, Vol. 6 No.12 Tahun 2023, hal. 1904-1913.

Ulfa, Maria. “Mencermati Inklusivisme Agama Nurcholish Madjid”, dalam Jurnal Kalimah, Vol. 11, No. 2 Tahun 2013, hal. 238-250.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *