Perlunya Kasih dalam Mendidik

Mendidik merupakan aktivitas yang bersahaja, kesahajaannya itu diiringi dengan kejelian serta ketekunan mengantisipasi maupun mencermati akan pelbagai unsur dan dimensinya dengan detail yang amat subtil. Tidak ayal bila Hujjatul Islâm Abû Hâmid Al-Ghazâlî (2014: 60) memaknai pendidikan serupa halnya dengan apa yang dilakukan oleh petani yang senantiasa mencabuti duri serta mengenyahkan tanaman pengganggu yang terdapat di sela-sela tanamannya, agar tanamannya itu tumbuh elok serta sempurnalah hasilnya.

Dengan kompleksitas akan detail-detailnya nan halus dan subtil, serta kegigihan akan mengamati dan menjadikan tumbuh kembangnya agar elok dan berhasil, kiranya dibutuhkan kasih dalam mengiringinya maju dan berkembang menjadi kâmil. Demikianlah dalam pendidikan dengan tujuan memanusiakan manusia, membentuk pribadi paripurna, dibutuhkan kasih mengiringi ketelatenan serta kesabaran membersamai anak ataupun peserta didik menuju tebangunnya dirinya sebagai manusia seutuhnya.

Bacaan Lainnya

Rolex Daytona super clone, kronograf ikonik, memadukan kemewahan dan performa, menampilkan skala takimetrik untuk mengukur kecepatan dan desain yang khas.

Mewujudkan kegiatan mendidik dengan kasih yang melingkupinya, telah ditekankan pula Al-Ghazâlî (2004: 238) sendiri, disampaikan pendekatan-pendekatan yang kiranya amat mendasar untuk dilangsungkan. Di antaranya bagaimana mendekati peserta didik dengan hangat maupun kelemahlembutan, pun bijak terhadap peserta didik yang kemampuannya untuk bertanya terbilang kurang atau merasa sudah mampu. Syaikh Nawawî Al-Jâwî (2010: 167) menguraikan mengenai hal tersebut, dijelaskan bahwa terhadap peserta didik yang dalam hal ini kapasitas bertanya kurang, merasa tahu namun sebenarnya tidak, tetaplah dekati ia dengan tutur kata serta sikap yang elok.

Pendekatan-pendekatan lain yang tidak kalah mendasarnya bagaimana tetap membimbing dengan sebaik-baiknya yang kecakapannya lamban serta menghindari marah terhadapnya (Al-Ghazâlî, 2004: 238). Dituturkan pula bagaimana pendidik itu mestilah memiliki kasih terhadap para peserta didiknya, juga memperlakukan para peserta didiknya tersebut layaknya anak sendiri (Al-Ghazâlî, 2021: 208).

Demikian pula aksentuasi kasih maupun cinta dalam mendidik itu diuraikan oleh Imam An-Nawawî (t.th.: 58), bahwa sejatinya bagaimana pendidik itu semestinya perhatian, peduli, terhadap apa yang dibutuhkan oleh peserta didik sebagaimana perhatian dan kepeduliannya terhadap apa yang dibutuhkan dirinya juga anak-anak kandungnya. Ia mendekati peserta didiknya dengan kasih kelembutan seperti halnya ia kepada buah hatinya sendiri, sabar serta memaafkan sikap maupun perangai yang kurang dan tidak berkenan dari peserta didiknya.

Mendekati maupun memperlakukan peserta didik tak ubahnya buah hati terkasih nan disayangi dan dicintai itu pun ditekankan oleh Hadratussyaikh Muhammad Hâsyim Asyʻari (t.th.: 83-84), dan diserukan pula dalam menghadapi sikap maupun perangai yang tidak atau kurang berkenan itu tidak dengan kekerasan, namun dengan tutur nasihat serta kelembutan kasih maupun sayang.

Uraian yang telah disimak tersebut memberikan kesadaran akan perlunya perlakuan yang penuh kasih, sayang pun cinta, diiringi dengan kelembutan dan kehangatan kepada peserta didik. Penekanan untuk memperlakukan peserta didik layaknya anak sendiri itu pun kiranya menunjukkan suatu optimalisasi perhatian, kepedulian, sentuhan kelembutan cinta kasih dan sayang itu sendiri.

Penyaluran cinta dalam aktivitas mendidik, kiranya pun terisyarat dalam Al-Qur’an, salah satunya melalui Surah Ali ‘Imran/3: 159 berikut:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ

Maka, berkat rahmat Allah engkau (Nabi Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka akan menjauh dari sekitarmu. Oleh karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan (penting). Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal.

Secara prinsip, dari ayat tersebut kita mendapati betapa luhurnya sikap Nabi ﷺ, dan itu tidak luput sebab cinta dan kasih sayang Allah itu sendiri. Itu terlihat melalui potongan redaksi ayat tersebut yakni linta lahum, dalam bahasan Hasanayn Muhammad Makhlûf (1997: 45), itu menunjukkan kepada sikap yang halus, lunak, atau luwes. Demikian pula dalam penjelasan Wahbah Az-Zuhaylî (2009: 468), didapati bahwa itu menunjukkan kepada sikap yang lembut maupun halus. Dalam konteks pendidikan, bagaimana sikap yang amat adiluhung ini selayaknya pula diupayakan, menjadi fondasi hakiki yang melandasi kegiatan pendidikan yang dijalani.

Kemudian terisyarat pula sikap lain yang layaknya pula diupayakan, yaitu memaafkan. Bagaimana sikap memaafkan di sini berbeda dengan menahan membaranya amarah, seperti halnya dalam penjelasan Mutawallî Asy-Syaʻrâwî (1991: 1839), memaafkan di sini identik kepada totalitas pemaafan, dalam arti memaafkan dengan sepenuhnya, seutuhnya, hingga enyah dan terhapus silap-salah itu secara menyeluruh. Pemaafan yang utuh menyeluruh itu tentunya disertai pula dengan panjatan pinta dan permohonan ampunan untuk mereka, penanda lengkapnya pula maaf serta kelembutan kasih yang ada.

Syahdan tidak luput pula pengupayaan lain yakni bermusyawarah, sebagaimana dalam penjelasan Ibn Katsîr (1998: 131), bahwa Nabi ﷺ selalu saja dan senantiasa bermusyawarah dengan para sahabat agar hati mereka senang serta lebih lebih bersemangat. Apa yang telah dicoba dengan menunjukkan sikap-sikap yang disyaratkan ini, bertujuan untuk memperlihatkan perlunya sikap-sikap tersebut. Mendekati dengan kasih kelembutan, memaafkan dan memohon ampunan atas perangai yang tidak berkenan, serta mengajak musyawarah menjadi prinsipil adanya dalam sebuah kegiatan pendidikan yang menuansakan corak kasih dan pengupayaan penyaluran perolehan cinta di dalamnya sebagai kerangka lestarinya bangunan proses yang mewujudkan belajar.

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Baginda Nabi ﷺ merupakan suri tauladan, di antara diutusnya beliau adalah sebagai pribadi yang mendidik, yang mengajarkan, serta sebagai fasilitator yang memberikan kemudahan (Al-Munâwî, 2001: 321). Sebagai pendidik beliau tanpa kenal letih menerapkan pendekatan mendidik juga mengajar yang cakap nan efektif (Al-Bûthî, 1991: 22).

 Bagaimana antusiasme beliau untuk mendidik ataupun mengajarkan ilmu dan kebajikan pada setiap waktu serta setiap momen dan kesempatan. Lalu bagaimana kesantunan, kelemahlembutan, juga kehangatan beliau terhadap peserta didiknya. Serta mentalitas dan sikap penuh cinta, kasih, dan sayang disertai pula dengan pengenyahan kekerasan (Abû Ghuddah, 1996: 21).

Kiranya hal tersebut merepresentasikan beberapa di antara pendekatan Nabi ﷺ sebagai pendidik, hingga secara konkret dan autentik dapat disaksikan kemanjuran maupun keefektifan pendekatan tersebut dalam memanifestasikan kemaksimalan juga keoptimalan hasil dari pendidikan maupun pembelajaran yang dijalankan. Pendekatan dengan kelembutan, kehangatan, penuh kesantunan, cinta, dan pengasihan kepada peserta didik kinasih itu juga terlihat melalui hadis berikut:

عَنْ أَبِي سُلَيْمَانَ مَالِكِ بْنِ الْحُوَيْرِثِ قَالَ: أَتَيْنَا النَّبِيَّ ﷺ  وَنَحْنُ شَبَبَةٌ مُتَقَارِبُونَ، فَأَقَمْنَا عِنْدَهُ عِشْرِيْنَ لَيْلَةً، فَظَنَّ أَنَّا اشْتَقنَا أَهْلَنَا وَسَأَلَنَا عَمَّنْ تَرَكْنَا فِي أَهْلِنَا فَأَخْبَرنَاهُ، وَكَانَ رَقِيقًا رَحِيمًا، فَقَالَ: ارجِعُوا إِلَى أَهْلِيْكُمْ فَعَلِّمُوهُمْ وَمَرُوهُمْ وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي وَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذّنْ لَكُم أَحَدُكُم ثُمَّ لِيَؤُمّكُم أَكْبَرُكُم

(Shahîh Al-Bukhârî, no. hadis 6008, bab Rahmah An-Nâs wa Al-Bahâim: 1507-1508; Shahîh Muslim, no. hadis 674, bab Man Ahaqqa bi Al-Imâmah: 308).

Abû Sulaymân Mâlik ibn Al-Huwayrits berkata: Aku – Mâlik ibn Al-Huwayrits – beserta sahabat-sahabat sebayaku pernah menemui Rasulullahdan tinggal bersama beliau selama 20 malam lamanya, beliau menduga bahwa kami itu telah merindukan keluarga kami, beliau pun menanyakan keluarga yang kami tinggalkan, kami pun menginformasikannya pada beliau, kami mendapati beliau sebagai pribadi yang penuh kelembutan dan amat penyayang, beliau Nabi lantas bersabda: Kembalilah kalian kepada keluarga kalian, ajarilah mereka, anjurkanlah mereka, serta laksanakanlah shalat sebagaimana kalian melihatku shalat. Bila tiba sudah waktunya shalat, hendaknya seorang di antara kalian mengumandangkan adzan serta yang paling tua di antara kalian menjadi imam.

Boleh disimak terlebih dahulu untuk kata raqîqan pada hadis tersebut, dalam hal ini sejatinya pula ada yang merujuknya dengan kata rafîqan, sebagai halnya dalam bahasan Ibn Hajar Al-Asqalânî (1987: 453) juga An-Nawawî (1930: 174). Kedua kata tersebut sekurang-kurangnya agaknya sama-sama menunjukkan bagaimana pembawaan Nabi ﷺ nan penuh kelembutan.

Kemudian tertera pula rahîman yang menunjukkan sosok Nabi ﷺ sebagai pribadi yang penuh cinta dan kasih sayang. Melalui redaksi hadis tersebut kiranya dapat tergambar pendekatan Nabi ﷺ terhadap peserta didiknya sebagaimana yang kita sebut itu. Sosok beliau yang kita teladani sebagai pendidik nan merupakan tauladan autentik dan universal adalah sosok yang senantiasa menjalin tali kasih maupun cinta terhadap siapa pun itu tanpa pandang bulu (Al-Jâwî, t.th.: 55).

Jati diri pribadi yang bergelimang kasih tersebut adalah asasi kiranya untuk terinfiltrasi dalam segenap pribadi pendidik hari ini, mencintai peserta didik dengan kasih hakiki yang syumûli apapun status, latar belakang mereka, bahkan bagaimanapun perangai, sikap, yang datang dari mereka.

Dengan kasih dan cinta yang lestari terhimpun pada pribadi Nabi ﷺ, yang terakumulasi dalam keteladanan sejati, tidak terpungkiri pula menjadikan bangkitnya suatu perasaan hakiki dari setiap apa yang beliau sampaikan. Dalam uraian Saʻîd Ramadhân Al-Bûthî (2011: 139), bahwa tertilik bagaimana manjurnya perkataan-perkataan yang terpancar darinya kedalaman cinta, dengan kehangatan emosional yang mengiringinya ia menelisik masuk, tembus melesat, ke dalam sanubari.

Apa yang disampaikan dengan cinta juga kasih yang mendalam nyatanya memunculkan pesona, membawa daya yang mampu memberikan sentuhan yang memikat perasaan, mendatangkan resonansi magis yang menggetarkan relung-sekat kesadaran, hingga apa yang disampaikan mendapati keadaan internalisasinya. Demikian bagaimana kasih menjadi pokok yang perlu diinisiasi oleh setiap pendidik dalam kegiatan mendidik yang dilangsungkan.

Referensi

Abû Ghuddah, Abd Al-Fattâh. Ar-Rasûl Al-Muʻallim wa Asâlîbuhu fî At-Taʻlîm.Aleppo: Maktab Al-Mathbûʻât Al-Islâmiyyah, 1996.

Al-Asqalânî, Syihâb Ad-Dîn Ahmad ibn ʻAlî ibn Hajar. Fath Al-Bârî bi Syarh Shahîh Al-Bukhârî, Juz 10, Kairo: Dâr Ar-Rayân li At-Turâts, 1987.

Asyʻari, Muhammad Hâsyim. Adâb Al-ʻÂlim wa Al-Mutaʻallim. Jombang: Maktabah At-Turâts Al-Islâmi, t.th.

Al-Bukhârî, Muhammad ibn Ismâʻîl. Shahîh Al-Bukhârî. Damaskus: Dâr ibn Katsîr, 2002.

Al-Bûthî, Muhammad Saʻîd Ramadhân Al-Bûthî. Al-Hubb Fî Al-Qur’ân wa Dawr Al-Hubb Fî Hayâh Al-Insân. Damaskus: Dâr Al-Fikr, 2011.

——-. Fiqh As-Sîrah An-Nabawiyyah maʻa Mûjaz li Târîkh Al-Khilâfah Ar-Râsyidah. Damaskus: Dâr Al-Fikr, 1991.

Al-Ghazâlî, Abû Hâmid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad. Ayyuhâ Al-Walad. Beirut: Dâr Al-Minhâj, 2014.

——-. Bidâyah Al-Hidâyah. Beirut: Dâr Al-Minhâj, 2004.

——-. Ihyâ’ ʻUlûm Ad-Dîn. Jilid 1. Beirut: Dâr Al-Minhâj, 2021.

Ibn Katsîr, Abû Al-Fidâ’ Ismâʻîl. Tafsîr Al-Qur’ân Al-Azhîm. Juz 2. Beirut: Dâr Al-Kutub Al-ʻIlmiyyah, 1998.

Al-Jâwî, Muhammad Nawawî ibn ʻUmar. Madârij Ash-Shuʻûd ilâ Iktisâ’ Al-Burûd. Semarang: Maktabah wa Mathbaʻah Toha Putera, t.th.

Makhlûf, Hasanayn Muhammad. Kalimât Al-Qur’ân Tafsîr wa Bayân. Beirut: Dâr Ibn Hazm, 1997.

Al-Munâwî, Muhammad Abd Ar-Raûf. Faydh Al-Qadîr Syarh Al-Jâmiʻ Ash-Shaghîr min Ahâdîts Al-Basyîr An-Nadzîr. Juz 2. Beirut: Dâr Al-Kutub Al-ʻIlmiyyah, 2001.

An-Nawawî, Abû Zakariyyâ Yahyâ ibn Syarf An-Nawawî. Al-Majmûʻ Syarh Al-Muhadzdzab. Juz 1. Jeddah: Maktabah Al-Irsyâd, t.th.

——-. Shahîh Muslim bi Syarh An-Nawawî. Juz 5. Kairo: Al-Mathbaʻah Al-Mishriyyah bi Al-Azhar, 1930.

An-Naysaburi, Abû Al-Husayn Muslim ibn Al-Hajjâj. Shahîh Muslim. Beirut: Dâr Al-Fikr, 2003.

Asy-Syaʻrâwî, Muhammad Mutawallî. Khawâthirî Hawl Al-Qur’ân Al-Karîm. Jilid 3. Kairo: Akhbâr Al-Yawm, 1991.

Az-Zuhaylî, Wahbah. At-Tafsîr Al-Munîr: fî Al-Aqîdah wa Asy-Syarîʻah wa Al-Manhaj. Jilid 2. Damaskus: Dâr Al-Fikr, 2009.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *