Telaah Kritis: Reinterpretasi Ayat “وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالْاُنْثٰى” dalam Konteks Kesetaraan Gender dalam Islam

Dalam Al-Qur’an, terdapat banyak ayat yang menyiratkan peran laki-laki dan perempuan di berbagai sektor. Beberapa ayat menimbulkan penafsiran yang cenderung bias gender, menciptakan kesan adanya ketidaksetaraan dan diskriminasi antara laki-laki dan perempuan. Diantara ayat-ayat tersebut ialah yang terdapat pada surat Ali Imran ayat 36, dan salah satu penggalan ayat tersebut berbunyi “Laki-laki tidak sama dengan perempuan”

            Penggalan ayat ini sering diartikan sebagai indikasi superioritas laki-laki atas Perempuan, khususnya dalam perkara yang berkaitan dengan keagamaan. Dimana ayat ini menceritakan kisah istri Imran bernama Hannah binti Faruq yang sangat menginginkan seorang anak. Ia pun berharap untuk mendapatkan anak laki-laki yang kemudian ia nazarkan untuk menjadi muharrar, yang secara bahasa berarti bebas dan merdeka. Dalam hal ini muharrar berarti individu yang bebas dan merdeka dalam ketundukan mutlak kepada Tuhan serta memiliki tugas mengabdi kepada Tuhan dan menjaga rumah Tuhan (Mubarok, 2022:9).

            Dalam situasi sosial pada masa tersebut, perempuan ditempatkan pada posisi sekunder setelah laki-laki. Pandangan umum menganggap bahwa perempuan memiliki keterbatasan seperti menstruasi ataupun kekuatan yang membuatnya tidak cukup pantas menjadi muharrar dan menjaga rumah Tuhan (Ibnu Athiyah, 1997:425).Hal inilah yang sempat menimbulkan keraguan bagi Hannah yang kemudian diabadikan dalam Al-Qur’an pada surat Ali Imran ayat 36 yang berbunyi:

فَلَمَّا وَضَعَتْهَا قَالَتْ رَبِّ اِنِّيْ وَضَعْتُهَآ اُنْثٰىۗ وَاللّٰهُ اَعْلَمُ بِمَا وَضَعَتْۗ وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالْاُنْثٰى ۚ وَاِنِّيْ سَمَّيْتُهَا مَرْيَمَ وَاِنِّيْٓ اُعِيْذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطٰنِ الرَّجِيْمِ

Ketika melahirkannya, dia berkata, “Wahai Tuhanku, aku telah melahirkan anak perempuan.” Padahal, Allah lebih tahu apa yang dia (istri Imran) lahirkan. “Laki-laki tidak sama dengan perempuan. Aku memberinya nama Maryam serta memohon perlindungan-Mu untuknya dan anak cucunya dari setan yang terkutuk.”

Beberapa ulama menafsirkan ayat ini sebagai indikasi superioritas laki-laki dibanding perempuan dalam konteks pengabdian kepada Tuhan. Mereka mengemukakan sejumlah argumen yang mendukung pandangan tersebut. Salah satu alasan yang mereka kemukakan adalah dari segi fisik, di mana laki-laki dianggap memiliki kekuatan yang lebih besar daripada perempuan.

Selain itu, laki-laki juga dianggap tidak memiliki aib atau kelemahan dalam menjalankan tugas pelayanan dan berinteraksi dengan sesama manusia, sebagaimana yang mungkin terjadi pada perempuan. Pandangan ini menyoroti pemahaman bahwa laki-laki dianggap lebih mampu secara fisik dan lebih bebas dari kendala-kendala tertentu dalam konteks pengabdian dan pelayanan kepada Tuhan.

            Dalam kaitannya dengan hal ini, terdapat beberapa pandangan ulama. Salah satunya adalah pandangan Imam Ibnu Athiyyah yang mengartikan bahwa penyebutan laki-laki terlebih dahulu dalam ayat tersebut dikarenakan anak yang lebih diharapkan bagi Hannah untuk lahir dari kandungannya dan menjadi seorang Muharrar (Ibnu Athiyah, 1997:425). Akan tetapi, yang di lahirkan oleh Hannah seorang anak perempuan. Karena itulah kata laki-laki disebutkan lebih dahulu daripada perempuan. Pandangan ini juga sejalan dengan pendapat Qatadah, Ikrimah, dan Al-Rabi’.

            Imam al-Razy memberikan interpretasi alternatif bahwa kalimat “laisa al-dzakar ka al-untsa” justru menyoroti posisi lebih unggul perempuan dibanding laki-laki. Seolah-olah dalam konteks ini, Hannah menyampaikan pemikirannya bahwa meskipun ia berharap mendapatkan seorang anak laki-laki, Allah memberinya anugerah berupa seorang anak perempuan. Dia mengungkapkan keyakinannya bahwa anak perempuan yang diberikan oleh Allah lebih baik daripada apa yang ia harapkan. (Mubarok, 2022:9). Hannah memahami bahwa tindakan Tuhan terhadap hamba-Nya selalu lebih baik daripada harapan yang dimiliki oleh seorang hamba untuk dirinya sendiri (Al-Razy, 1420:325).

            Jika ayat ini dipahami secara utuh dan dianalisis lebih mendalam, justru dalam ayat ini dapat ditemukan nuansa kesetaraan gender yang tersembunyi. Kisah kelahiran Maryam menyoroti bahwa kekuatan dan potensi seseorang tidak ditentukan oleh jenis kelamin, melainkan oleh kebajikan dan kesalehan. Al-Quran dengan jelas mengoreksi pandangan diskriminatif terhadap perempuan, menggambarkan perempuan sebagai figur setara bahkan mampu melebihi laki-laki.

Adapun jika memahami ayat ini dari sisi kebahasaan, penggalan kalimat وليس الذكر كالأنثى adalah bentuk kalimat Tasybih dimana Prinsip dasar tasybih menyatakan bahwa sifat pada musyabbah bih lebih kuat dibandingkan dengan musyabbah. jika tidak, maka tasybih tersebut tidak memiliki manfaat (Al-Hasyimi, 1960:235). Dalam konteks ayat ini, musyabbah bih merujuk kepada untsa atau perempuan, sedangkan musyabbah merujuk kepada dzakar atau laki-laki. Berdasarkan prinsip ilmu Balaghah ini, maka perempuan sebagai musyabbah bih memiliki sifat yang lebih kuat dibandingkan laki-laki.

            Ulama juga berbeda pendapat terkait kalimat وَلَيْسَ الذكر كالأنثى apakah berasal dari Hannah atau merupakan kalimat dari Allah. Bagi mereka yang memahami bahwa ini ucapan Hannah dan merupakan lanjutan kalimat inni wadho’tuha untsa, maka ditafsirkan sebagai ungkapan atas halangan bagi Hannah untuk melaksanakan nazarnya yaitu untuk menjadikan anak tersebut sebagai muharrar penjaga rumah tuhan. (Al-Tsa’aliby, 1997:34)

            Sebagian yang lain ada juga yang berpendapat bahwa ungkapan tersebut dapat diartikan sebagai komentar dari Allah yang menunjukkan bahwa meskipun yang dilahirkan adalah seorang anak perempuan, bukan berarti kedudukannya lebih rendah daripada anak laki-laki. Sebaliknya, pandangan ini menekankan bahwa anak perempuan tersebut memiliki kedudukan yang lebih baik dan agung daripada banyak anak laki-laki. Allah telah menyiapkan anak tersebut untuk suatu tujuan yang luar biasa, yaitu melahirkan tanpa melibatkan proses yang dialami oleh seluruh keturunan Adam, baik laki-laki maupun perempuan. (Shihab, 2002:2)

            Dengan kata lain, kelahiran anak perempuan ini merupakan tanda kebesaran dan keistimewaan yang diberikan oleh Allah, sebab anak tersebut nantinya mampu melahirkan tanpa melalui hubungan seksual dengan siapapun. Pandangan ini menggambarkan aspek keagungan dan persiapan khusus yang diberikan oleh Tuhan kepada anak perempuan untuk mengemban misi yang istimewa dalam menciptakan kehidupan.

            Dalam menutup uraian ini, dapat diambil kesimpulan bahwa pernyataan “bukanlah laki-laki itu seperti perempuan” sejatinya tidak dapat dijadikan landasan untuk mengklaim superioritas laki-laki dalam konteks keagamaan. Ayat ini justru mengajak kita untuk melihat setiap individu tanpa terpaku pada perbedaan jenis kelamin. Allah memberikan isyarat dalam ayat tersebut bahwa perempuan juga mampu memainkan peran penting dalam kehidupan agama dan masyarakat.

            Kesetaraan gender bukan sekadar nilai tambahan, melainkan nilai inti dalam ajaran agama yang seharusnya tercermin dalam tindakan sehari-hari. Pentingnya mengatasi stereotip dan norma-norma yang merugikan perempuan menjadi pokok dalam upaya mewujudkan masyarakat yang adil dan merata bagi semua individu, tanpa memandang jenis kelamin. Oleh karena itu, pemahaman mendalam terhadap pesan-pesan agama dan implementasinya dalam kehidupan sehari-hari menjadi kunci dalam memperjuangkan kesetaraan gender yang sejati.

Daftar Pustaka

Al-Andalusy, Abd Al-Haq bin Ghalib bin ‘Athiyah. Al-muharrar Al-Wajiz fi Tafsir Al-Kitab Al-‘Aziz.  Dar Ibn Hazm , 1997

Al-Hasyimi, A. (1960). Jawahir al-Balaghah fi al-Ma ‘ani wa al-Bayan wa al-Badi’. Maktabah Dar al-Kutub al-’Arabiyah.

Al-Tsa’aliby, Abu Zaid . Al-Jawahir Al-Hisan Fi Tafsir Al-Qur`anil Karim, Libanon: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabiy, 1997.

Ar-Razy, Fakhruddin. Mafatih Al-Ghaib. Dar Ihya Turats Arabiy. Beirut. 1420

Mubarok, Fatkhu Syahril. Konsep Pendidikan Keluarga Islami (Kajian Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 33-37) dan Implementasinya dalam Keluarga Milenial di Kabupaten Sidoarjo. Indonesian Journal of Innovation Studies, 2020

Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah. Jakarta: lentera hati, 2. 2002

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *