Aurat berasal dari bahasa Arab secara literal yang berarti celah, kekurangan, sesuatu yang memalukan atau sesuatu yang dipandang buruk dari anggota tubuh manusia, dan menyebabkan malu jika dipandang. Dalam Al-Qur’an, lafazh aurat disebutkan sebanyak empat kali, dua kali dalam bentuk plural (jama’) dan dua kali dalam bentuk tunggal (mufrad). Bentuk tunggalnya disebut dalam surat al-Ahzab ayat 13, sedangkan jamaknya disebutkan dalam surat an-Nuur ayat 31 dan 58. (Husein Muhammad: 2019)
Para wanita dari berbagai belahan dunia mengenal dan mengenakan busana muslimah yang berbeda-beda dalam gaya, bentuk, ukuran, pola, warna, aturan, dan bahkan niat yang beda. Fenomena dalam penggunaan busana Muslimah, khususnya di Indonesia menunjukkan tingginya kesadaran dalam beragama atau hanya sekadar tren fashion belaka. Tentunya sangat jauh berbeda pada zaman jahiliyah, seperti perempuan berjalan dengan keadaan telanjang dada, dan tidak tertutup oleh apapun.
Seperti halnya jilbab yang merupakan penegas dan pembentukan jati diri seseorang. Jilbab juga bisa dijadikan tolok ukur tingkat religiusitas seorang wanita. Namun, seiring berkembangnya jilbab terjadi modernisasi yang tersembunyi. Mulai dari berjilbab adalah trend fashion, ataupun sebagai kebiasaan yang konsumtif sehingga berbagai jenis model jilbab yang ditawarkan, mulai dari fashion show muslim hingga butik khusus jilbab ataupun sebagai gaya hidup yang menunjukkan kelas sosial tertentu.
Sebenarnya banyak arti kata dari jilbab, yang berasal dari Bahasa Arab “ jalaba” yang berati menutup sesuatu dengan sesuatu yang lain sehingga tidak dapat dilihat. Ulama berbeda pendapat tentang hal ini. Sebagian pendapat mengatakan jilbab itu mirip rida’ (sorban), sebagian lagi mendefinisikannya dengan kerudung yang lebih besar dari khimar, dan Al-Asymawi mantan hakim agung Mesir, menyimpulkan bahwa jilbab itu ialah gaun longgar yang menutupi sekujur tubuh Perempuan. (Juneman: 2010)
Saat ini jilbab sudah menjadi identik dengan pakaian muslimah dan wanita muslim. oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa jilbab adalah simbol Islam. Namun jika dilihat dari konteks sejarah bukan hanya umat Islam saja yang mengenal kata jilbab. Jilbab juga muncul dalam kitab Taurat, yang disebut tiferet. Dan di dalam injil istilah yang identik dengan jilbab yaitu Zammah, Re’adah, dan Zaif. Lebih jauh lagi ternyata penggunaan jilbab juga dikenal dalam hukum kekeluargaan Asyria.
Di Indonesia, jilbab mulai dikenal dengan nama kerudung yaitu kain yang panjang untuk menutupi kepala, tapi menyisakan leher dan sebagian rambut terlihat. Barulah pada tahun 1980 istilah jilbab dikenal, yaitu kerudung yang menutupi leher dan rambut. Dalam perkembangannya fenomena jilbab bukan hanya sekedar pendefinisian istilah, namun juga pemberian makna dan penerapannya dalam Masyarakat, yang membawa symbol keagamaan dan identitas sosial.
Di tahun 1982, Departmen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia mengeluarkan surat keputusan yang mengatur penggunaan seragam di sekolah negeri. Hal ini mengakibatkan banyaknya siswi-siswi yang berbondong bondong mencari sekolah swasta yang membolehkan mereka untuk memakai jilbab ke sekolah. Namun pelarangan tersebut menimbulkan berbagai kontra, akhirnya di tahun 1991 keluar surat Keputusan untuk membolehkan mengenakan jilbab di linkungan sekolah.
Kasus ini menunjukkan bahwa di Indonesia jilbab tidak dianggap sebagai masalah agama. Sebab, jika dianggap persoalan agama, larangan berhijab ini tentu saja melanggar aturan perundang – undangan tentang jaminan melaksanakan ajaran agama. Perempuan yang mengenakan pakaian tertutup akan melindungi dirinya dari godaan lawan jenis. Tentu saja berbeda dengan wanita yang mengenakan pakaian berdada terbuka. Laki-laki sangat mudah tergoda dengan pakaian yang memperlihatkan perhiasannya.
Jilbab memiliki dua aspek fisik dan spiritual. Jilbab fisik adalah bahan yang menutupi tubuh. Sedangkan jilbab spiritual adalah keadaan dimana perempuan tidak berusaha mengenakan pakaian yang menonjol, dan ini dimaksudkan untuk menekan penyimpangan dan kerusakan akhlak dan perilaku. Kedua aspek ini dikatakan saling terkait dan saling mempengaruhi. Jilbab jasmani berfungsi sebagai imunitas atau imunitas preventif, dan menjaga jilbab jasmani juga menjaga jilbab rohani.
Ayat – ayat yang dijadikan sebagai perintah untuk berhijab, ayat pertama ini yang dipakai Sebagian ulama untuk menjelaskan nbatas aurat Perempuan yaitu An-nur(24):31
قُلْ لِّلْمُؤْمِنٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ اَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ وَلَا يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلٰى جُيُوْبِهِنَّۖ وَلَا يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلَّا لِبُعُوْلَتِهِنَّ اَوْ اٰبَاۤىِٕهِنَّ اَوْ اٰبَاۤءِ بُعُوْلَتِهِنَّ اَوْ اَبْنَاۤىِٕهِنَّ اَوْ اَبْنَاۤءِ بُعُوْلَتِهِنَّ اَوْ اِخْوَانِهِنَّ اَوْ بَنِيْٓ اِخْوَانِهِنَّ اَوْ بَنِيْٓ اَخَوٰتِهِنَّ اَوْ نِسَاۤىِٕهِنَّ اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُهُنَّ اَوِ التّٰبِعِيْنَ غَيْرِ اُولِى الْاِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ اَوِ الطِّفْلِ الَّذِيْنَ لَمْ يَظْهَرُوْا عَلٰى عَوْرٰتِ النِّسَاۤءِۖ وَلَا يَضْرِبْنَ بِاَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِيْنَ مِنْ زِيْنَتِهِنَّۗ وَتُوْبُوْٓا اِلَى اللّٰهِ جَمِيْعًا اَيُّهَ الْمُؤْمِنُوْنَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
Katakanlah kepada para perempuan yang beriman hendaklah mereka menjaga pandangannya, memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (bagian tubuhnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya……………
Beberapa perbedaan ulama ada pada kata “illa ma zhahara minha”, Ar-Razi berpendapat, perempuan bisa memperlihatkan wajah dan tangannya karena keduanya diperlukan secara fungsional, seperti saat berjualan. Namun menurutnya, tidak diperbolehkan menatap wajah wanita dengan tatapan penuh nafsu. Oleh karena itu, boleh saja memandang wajah seorang wanita, jika tidak ingin melakukan fitnah. (Asghar Ali,88: 2007)
Menanggapi perbedaan pendapat para ahli tafsir sebelumnya, Quraish Shihab menyatakan bahwa masing-masing pendapat itu hanya sebatas penerapan logika dan kecenderungannya masing-masing, dan secara sadar atau tidak sadar mengganggu perkembangannya dan kondisi sosial masyarakat. Batasan aurat wanita tidak disebutkan secara jelas dalam ayat ini. Oleh karena itu, ayat ini hendaknya tidak dijadikan dasar untuk menentukan batas-batas aurat seorang wanita. ( Quraish Shihab:2006)
Sedangkan dalam memahami ungkapan “illa ma zhahara minha”, Shihab berpendapat bahwa sangat penting memperhatikan adat istiadat dalam membuat ketetapan hukum. Namun perlu diperhatikan bahwa adat istiadat tersebut tidak lepas dari batasan prinsip agama dan norma umum. Oleh karena itu, ia menyimpulkan bahwa pakaian adat dan kostum nasional yang biasa dikenakan oleh putri-putri perempuan Indonesia yang tidak berhijab tidak dianggap melanggar aturan agama.
Dalam ayat lain pada surah Al-Ahzab (33):59 yang berbunyi:
يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِّاَزْوَاجِكَ وَبَنٰتِكَ وَنِسَاۤءِ الْمُؤْمِنِيْنَ يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيْبِهِنَّۗ ذٰلِكَ اَدْنٰىٓ اَنْ يُّعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَۗ وَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا
Wahai Nabi (Muhammad), katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin supaya mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali sehingga mereka tidak diganggu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Membaca ayat ini menimbulkan pertanyaan mengenai makna jilbab, karena setiap ahli tafsir mempunyai pendapat yang berbeda-beda. Hampir seluruh ulama sepakat bahwa perintah ayat di atas tidak hanya berlaku pada masa Nabi SAW, namun sepanjang masa kini dan masa depan. Namun, para ulama kontemporer berpendapat bahwa hal ini hanya berlaku pada masa Nabi SAW, ketika perbudakan merajalela, dan perlu dibedakan antara perbudakan dan perempuan merdeka.
Menurut ulama kontemporer, jika tujuan ini dapat tercapai, maka pakaian yang dikenakan pada saat itu akan sesuai dengan tuntutan agama. Mereka beranggapan bahwa ayat ini diturunkan pada saat keadaan tertentu, pada saat itu budak Perempuan bisa dirayu, sedangkan perempuan merdeka juga bisa dianggap budak karena pakaian yang dikenakannya.
Terlepas dari pentingnya jilbab yang diyakini masing-masing ahli tafsir, namun yang lebih penting menurut Quraish Shihab adalah apakah perintah mengulurkan jilbab dalam ayat tersebut hanya berlaku pada zaman Nabi SAW saja? atau selalu berlaku sepanjang masa? Quraish Shihab mengatakan bahwa perintah ini hanya berlaku pada masa Nabi SAW ketika perbudakan masih ada dan perlu dibedakan antara perbudakan dan wanita merdeka serta menghindari campur tangan laki-laki yang penasaran.
Sebelum ayat ini diturunkan, cara berpakaian wanita merdeka dan budak, baik yang bagus maupun yang kasar, hampir sama. Karena itu, laki-laki usil kerap melakukan pelecehan terhadap perempuan, terutama yang mereka kenal atau dicurigai sebagai Sahaya. Ayat di atas diturunkan untuk menghindari kebingungan dan menunjukkan kehormatan bagi wanita Muslim.
Meskipun jilbab dianggap sebagai penghalang komunikasi, jilbab juga merupakan simbol komunikasi nonverbal. Jilbab juga bisa menjadi semacam penghalang bagi kebebasan berekspresi perempuan, bagi sebagian perempuan jilbab sebenarnya merupakan penguat ekspresi diri dan simbol feminitas. Jilbab ini salah satu produk budaya yang diperkuat dengan anjuran agama dengan alasan perlindungan kemaslahatan.
Tetapi, tidak ada jaminan bahwa pemakai jilbab ini Perempuan shalehah atau begitupun sebaliknya. Karena hijab tidak identik dengan kesalehan atau ketaqwaan seseorang. Ini adalah konstruksi sosial yang memberi “label” pada jilbab. Memakai jilbab itu juga pilihan tetapi, Islam sudah mengatur bagaimana tata cara pergaulan dengan manusia, jadi apabila tidak berhijab maka hendaklah bergaul sesuai dengan syariat Islam.
Juneman, 2010 ,Pyschology of fashion: Yogyakarta, Lkis Yogyakarta
Asghar Ali Engineer, 2007, Pembebasan Perempuan, Yogyakarta: LKiS
Muhammad Quraish Shihab, 2006 Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian alQur’an, Jakarta: Lentera Hati, cet 6, Jilid 5 dan 9.
Muhammad Husein, 2019, Fiqh Perempuan: Yogyakarta, Ircisod.