Konsep Keadilan Gender dalam Pembagian Waris: Analisis Tafsir Al-Misbah Surah An-Nisa Ayat 11

Pembagian hak waris yang diatur dalam Al-Qur’an menunjukkan perhatian Islam terhadap kesejahteraan laki-laki dan perempuan serta upaya untuk memberikan perlindungan hukum dan ekonomi kepada mereka. Tidak seperti yang diberlakukan pada masa jahiliah, dimana perempuan tidak memiliki hak dalam mendapatkan harta warisan. Namun, Islam datang memperkenalkan konsep baru dalam warisan.

Perempuan Pra-Islam tidak memiliki Hak Waris

Bacaan Lainnya

Pada masa sebelum Islam datang, berbagai literatur sejarah menyatakan bahwa perempuan tidak pernah menerima harta warisan dari mana pun, termasuk dari keluarga terdekatnya seperti ayah, suami, anak, atau saudara laki-lakinya. Anak laki-laki yang belum akil-balig atau yang sudah udzur (tua bangka)juga tidak berhak menerima harta warisan karena dihukumi sama dengan perempuan.

Konsep warisan pra-Islam berhubungan langsung dengan konsep kepemilikan dan sturktur masyarakat pada saat itu. Struktur masyarakat kabilah yang dipadu dengan sistem kekerabatan patrilineal, yang hanya mengakui garis keturunan laki-laki. Urutannya ialah anak (laki-laki), bapak, saudara laki-laki, dan anak laki-lakinya, nenek dari ayah, dan terakhir paman serta keturunannya. (Umar,  2014: 112).

Perempuan menjadi aset bagi seorang laki-laki seumur hidupnya. Sebelum menikah perempuan adalah milik ayahnya melalui konsep wilayah, lalu setelah menikah menjadi milik suaminya melalui konsep qiwamah. Hal ini terjadi karena masyarakat Arab pada saat itu berstruktur kabilah yang selalu dibayangi perang antarkabilah sehingga menetapkan aturan bahwa yang berhak mewarisi keluarga hanyalah laki-laki terdekat dari si mayit.

Sejarah yang juga cukup menyakitkan adalah bagi masyarakat pada saat itu mengubur bayi perempuan hidup-hidup adalah hal yang biasa. Jangankan untuk dihormati, keberadaan bayi perempuan merupakan sesuatu yang negatif dan menjadi aib bagi keluarga. Kedudukan perempuan dalam masyarakat pra-Islam sangat rendah. Pada dasarnya, ia dianggap berbeda dengan laki-laki (Ja’far, 2001: 1).

Pada masa Jahiliyah, perempuan dianggap makhluk hina, tidak berhak punya harta, bahkan posisinya setara dengan harta warisan yakni objek atau komoditas yang diwariskan. Jika seorang laki-laki meninggal maka istri diwariskan kepada ahli warisnya. Itulah perilaku biadab masyarakat jahiliyah (Mulia, 2020: 713). Disini kita melihat bahwa perempuan tidak dilihat sebagai subjek yang utuh bahkan hak-haknya sangat mudah direnggut.

Semangat Islam Mengangkat Derajat Kaum Perempuan

            Sistem nilai pada masyarakat jahiliyah saat itu, akhirnya direspon ketika Islam datang saat Rasul Muhammad Saw. hadir. Kesadaran kemanusiaan terhadap perempuan ini diangkat pada level tertinggi yakni perempuan adalah manusia seutuhnya seperti laki-laki, perempuan bukan hewan atau benda mati, dan perempuan memiliki pengalamannya sendiri yakni standar kemanusiaan perempuan bukan lagi bersandar pada laki-laki (Rofiah, 2020: 140-141).

Ajaran Islam tentang kemanusiaan perempuan seutuhnya terlihat sangat modern dan belum pernah didapatkan pada sistem manapun saat hadirnya 1400 tahun silam hingga saat ini. Islam pada hakikatnya merupakan sebuah revolusi kemanusiaan (humanisme) yang besar, sebuah revolusi untuk membebaskan manusia dari penghambaan dan ketundukan kepada selain Penciptanya (Qardhawi, 1997: 47).

            Islam datang memperkenalkan konsep baru yang lebih humanis dalam warisan, yakni transformasi hukum waris bagi perempuan dalam masyarakat dari “tidak mendapat” menjadi “mendapat” warisan. Hal ini tidak lepas dari konteks historis masyarakat Arab ketika itu yang sudah mulai berubah sehingga kaum perempuan memiliki hak waris, meskipun porsinya belum seperti yang diterima kaum laki-laki (Umar,  2014: 113).   

            Penting dicatat bahwa usaha merumuskan visi baru hukum kewarisan dalam Islam harus selalu memperhatikan kesesuaian antara penjelasan tekstual yang termaktub dalam Al-Qur’an atau Sunnah Rasul dan realitas kontekstual di masyarakat. Kesesuaian tersebut diperlukan terutama untuk mensinergikan antara otoritas wahyu sebagai sumber autentik hukum Islam dan kemaslahatan manusia sebagai pelaksana syariat (Mulia, 2020: 710).

Pandangan M. Quraish Shihab tentang Pembagian Waris

Dalam Tafsir al-Misbah, M. Quraish Shihab menjelaskan tentang pembagian warisan pada ayat kewarisan berikut:


يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنثَيَيْنِ ۚ فَإِن كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۚ وَإِن كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ ۚ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ وَلَدٌ ۚ فَإِن لَّمْ يَكُون لَّهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ ۚ فَإِن كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ ۚ مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۗ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۚ فَرِيضَةً مِّنَ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan jika yang meninggal itu mempunyai anak, jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapak (saja), maka ibunya mendapat sepertiga, jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orangtuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Menge- tahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa’ [4]: 11)

Firman-Nya: لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنثَيَيْنِ (bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan) mengandung penekaanan pada bagian anak perempuan.  Karena dengan dijadikannya bagian anak perempuan sebagai ukuran untuk bagian anak lelaki, itu berarti, sejak semula seakan-akan sebelum ditetapkannya hak anak lelaki, hak anak perempuan telah terlebih dahulu ada. (Shihab, 2009: 434-435)

Disini kita melihat bahwa wanita tidak dihalangi menerima warisan, seperti yang terjadi pada masyarakat Arab dahulu. Dengan demikian, Islam menghargai wanita dan memberikan hak-haknya secara penuh. Bahkan, hukum waris ini juga memberi bagian warisan kepada kerabat pihak perempuan, seperti saudara lelaki dan perempuan dari ibu. (Shihab, 2020: 168)

Konsep Keadilan Gender dalam Pembagian Waris

Setelah mempelajari pemikiran M. Quraish Shihab dalam tafsir Al-Mishbah mengenai pembagian warisan antara laki-laki dan perempuan, bahwa poin yang sangat penting di sini adalah Islam memberikan pengakuan hak waris bagi perempuan. Hal ini merupakan penghargaan terhadap perempuan yang sebelumnya belum pernah terjadi. Soal kadar atau porsi yang diperoleh adalah persoalan lain.

Dengan adanya semangat “pengakuan” hak waris perempuan ini menunjukkan bahwa ayat kewarisan ini termasuk kelompok ayat-ayat pendukung (muayyidat), untuk menegakkan keadilan didalam masyarakat. Porsi dua banding satu bisa dipahami sebagai pemberian masa transisi menuju kondisi ideal bagi perempuan dalam memperoleh hak-hak properti (Umar,  2014: 116).

 Porsi pembagian warisan antara laki-laki dan perempuan dua banding satu adalah suatu hal yang tidak dapat diubah. Namun, porsi demikian dapat diambil jika alternatif lain tidak disepakati. Dalam karya-karya lain, Quraish Shihab memperbolehkan pembagian warisan yang sama rata (1:1) asalkan sesuai dengan kesepakatan semua ahli waris. Dengan kata lain, tidak masalah jika seorang laki-laki diberikan hak separuh dari hak yang diperoleh seorang perempuan, bila ada kesepakatan.

Dalam bukunya “Anda Bertanya, Quraish Shihab Menjawab” beliau menjelaskan bahwa Jika dalam pembagian waris para ahli waris menghendaki pembagian yang bukan berdasarkan hukum Islam dengan membagi sama rata dan semua pihak telah menyepakati hal tersebut, maka dibenarkan, selama pembagian secara merata tersebut bukan atas dasar menilai bahwa kadar pembagian yang ditetapkan oleh Allah tidak adil atau keliru. (Shihab, 2002: 181)

Islam menunjukkan pentingnya kesejahteraan bagi perempuan sehingga mereka berhak untuk mendapat waris. Dengan memberikan kesempatan kepada perempuan untuk menerima bagian warisan, kita memperkuat posisi mereka dalam masyarakat dan memastikan bahwa keadilan finansial juga diperoleh oleh mereka. Semakin banyak perempuan yang memiliki akses dan kendali terhadap harta warisan, semakin besar pula kontribusi mereka dalam pembangunan sosial dan ekonomi.

DAFTAR PUSTAKA

Umar, Nasaruddin. (2014). Ketika Fikih Membela Perempuan.  Jakarta: PT Elex Media Komputidno.

Ja’far, Muhammad Anas Qasim. (2001). Mengembalikan Hak-hak Politik Perempuan: Sebuah Perspektif Islam, terj.: Mujtaba Hamdi. Jakarta: Azan.

Rofiah, Nur. (2020). Nalar Kritis Muslimah. Bandung: Afkaruna.

Qardhawi, Yusuf.(1997). Pengantar Kajian Islam: Studi Analitik Komprehensif tentang Pilar-pilar Substansi, Karakteristik, Tujuan dan Sumber Acuan Islam, terj. Utomo, Setiawan Budi. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.

Mulia, Musdah. (2020). Ensiklopedia Muslimah Reformis: Pokok-Pokok Pemikiran Untuk Reinterpretasi dan Aksi. Jakarta: Baca.

Shihab, M. Q. (2009). Tafsir Al-Mishbah (Vol. 2). Jakarta: Lentera Hati.

Shihab, M. Q. (2020). Islam yang Disalah Pahami. Tangerang: Lentera Hati.

Shihab, M.Q (2002). Anda Bertanya, Quraish Shihab Menjawab. Bandung: Al-Bayan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *