Nusyuz Suami Menurut Pandangan Imam Al-Thabari (Studi Kasus Q.S Al-Nisa: 128)

Nusyuz merupakan suatu perbuatan pembangkangan istri terhadap suaminya. Seperti, dengan menentang segala hal yang menjadi kewajiban terhadap suaminya atau suami mematuhi istrinya dalam kewajiban itu namun dengan sikap terpaksa atau berat hati, begitu pula sebaliknya pada pembangkangan suami terhadap istrinya. (Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Shahih Fiqh Wanita Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah (terj. Faisal Saleh & Yusuf Hamdani, 339.)

Nusyuz lazimnya dipahami sebagai bentuk praktik kedurhakaan istri terhadap suami. Padahal sebenarnya nusyuz bisa dilakukan masing-masing pihak. Mengenai nusyuz suami, Syaikh Abdul ‘Azhim pada kitab Al-Wajiz menyatakan bahwa sikap nusyuz dan sikap acuh yang dikhawatirkan oleh istri yang nantinya datang dari pihak suami berupa mendapat perlakuan kasar sehingga dapat mengancam keamanan, kehormatan istri serta mengancam keselamatan seluruh keluarga, dan biasa berakhir pada perceraian. (Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz (terj. Ma’ruf Abdul Jalil), 613-614.)

Bacaan Lainnya

Begitu juga Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyatakan bahwa nusyuz dari pihak suami seperti bersikap kasar dan tidak memberikan hak istri. Dari dua pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa nusyuz suami yaitu suami yang bersikap tidak baik kepada istrinya serta mengabaikan kewajibannya sebagai suami. Nusyuz dapat berbentuk perkataan maupun perbuatan. (Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Shahih Tafsir Ibnu Katsir, 681.)

Perbuatan nusyuz lebih identik dikaitkan pelakunya itu adalah istri, padahal tidak jarang suami juga menjadi pelakunya. Ketika seorang suami dalam memimpin sebuah rumah tangga tidak mena’ati perintah Allah serta bersikap tidak baik pada keluarga besarnya sehingga rumah tangga menjadi suram dan jauh dari keharmonisan bukankah itu juga termasuk perbuatan nusyuz.

Pada dasarnya kewajiban bersama suami istri itu saling mengayomi satu sama lain dalam menciptakan keharmonisan dalam keluarga serta rumah tangga dan yang utama mengayomi untuk selalu ta’at pada perintah Allah.

Terhadap hal ini, Imam Al-Thabari menyatakan bagaimana sikap seorang istri ketika suaminya tidak memenuhi hak-hak istrinya berdasarkan tafsir Surat Al-Nisa’ ayat 128, bahwasanya seorang istri dibolehkan untuk mengurangi sebagian hak suami, dalam tafsirnya Al-Thabari menafsirkan اَنْ يُّصْلِحَا بَيْنَهُمَا yaitu meninggalkan jatahnya bersama suami atau meninggalkan sebagian kewajibannya yang menjadi hak suami tetapi tetap berlaku baik padanya, karena meninggalkan sebagian haknya dengan tetap menghormatinya itu lebih menjaga sebuah akad pernikahan dari pada harus meminta perpisahan atau talak. (Abī Ja’far Muhammad bin Jarīr Al-Thabari, Tafsīr Al-Thabarī Jami’ al-Bayāni ’An Ta‘wīl Āyil Qur‘ān, 548-549.)

Mengenai ayat pengabaian kewajiban istri karena nusyuz suami, terdapat pada firman Allah Q.S al-Nisa’ ayat 128, sebagai berikut:

وَاِنِ امْرَاَةٌ خَافَتْ مِنْۢ بَعْلِهَا نُشُوْزًا اَوْ اِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَآ اَنْ يُّصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًاۗ وَالصُّلْحُ خَيْرٌۗ وَاُحْضِرَتِ الْاَنْفُسُ الشُّحَّۗ وَاِنْ تُحْسِنُوْا وَتَتَّقُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرًا

 “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya Mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Al-Thabari menjelaskan nusyuz dalam ayat ini adalah keengganan seorang suami terhadap istrinya, bersikap keras kepadanya, tidak mau menggaulinya dan tidak mau memberikan haknya. Di antara faktor-faktor terjadinya nusyuz adalah umur yang sudah lanjut usia (tua), paras yang tidak cantik lagi dan masih banyak faktor-faktor lainnya. (Abī Ja’far Muhammad bin Jarīr Al-Thabari, Tafsīr Al-Thabarī Jami’ al-Bayāni ’An Ta‘wīl Āyil Qur‘ān Juz VII, 548-549.)

Selanjutnya maksud اَوْ اِعْرَاضًا dalam ayat ini adalah berpaling dari istrinya dan tidak menyukainya lagi. Maka apabila kekhawatiran ini terjadi dari seorang istri, maka فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَآ اَنْ يُّصْلِحَا keduanya dapat mengadakan perdamaian yang sebenarnya. Adapun maksud dari ungkapan ini adalah seorang istri bersedia untuk dikurangi beberapa hak dan kewajibannya untuk diberikan kepada istri yang lain, dengan syarat suami mau kembali kepadanya.

Hal ini bertujuan untuk mempertahankan pernikahan. وَالصُّلْحُ خَيْرٌ (dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)). Adapun maksudnya adalah perdamaian seperti ini (dikurangi sebagian hak dan kewajiban suami-istri) bertujuan untuk menjaga kesucian dan mempertahankan pernikahan. Hal itu lebih baik daripada memutuskan untuk berpisah dan bercerai.

Ayat ini menjelaskan mengenai nusyuz suami dalam berbagai persoalan rumah tangga seperti hilangnya kecenderungan suami pada istrinya yang mandul atau sudah tua dan sama halnya pada poligami kecenderungan yang tidak seimbang antara istri muda dan istri tua. Sehingga ayat ini memberikan solusi sebagai jawaban bagaimana menyelesaikan persoalan rumah tangga dengan menempuh jalan perdamaian yang nantinya akan ada beberapa pilihan yang di sepakati oleh istri ataupun suami.

Pada kasus seorang suami ingin menikah lagi disebabkan istrinya sudah tua serta mandul, maka jalan perdamaian yang di ajukan oleh suami ialah menyepakati adanya pembagian hari dan harta untuk kedua istri, jika istri tua tidak setuju, maka jalan perdamaian terakhir ialah bercerai. Oleh karena itu dapat diketahui bahwasanya setiap jalan perdamaian itu merupakan pilihan bukan suatu keharusan.

Kesimpulan

Dalam perkawinan dalam Islam, kewajiban dan tanggung jawab ditempatkan pada setiap suami dan istri. Ayat-ayat dalam Al-Qur’an, seperti Q.S. Al-Nisa’ ayat 34 dan 128, menjelaskan bahwa ketika seorang istri atau suami mengabaikan kewajibannya, hal itu dianggap sebagai nusyuz. Nusyuz dari kedua belah pihak dapat terjadi, dan solusi yang diajarkan dalam Al-Qur’an adalah mencari jalan damai.

Imam al-Thabari menjelaskan jika seorang istri mengabaikan kewajibannya terhadap suami, atau sebaliknya, jika suami melakukan nusyuz, Al-Qur’an menunjukkan bahwa penyelesaian sebaiknya dilakukan dengan cara damai. Dalam kasus suami yang nusyuz (Q.S. Al-Nisa’ ayat 128), tidak ditemukan anjuran untuk istri mengabaikan kewajibannya sebagai respons. Sebaliknya, disarankan untuk mencapai kesepakatan yang mengurangi hak dan kewajiban keduanya sebagai upaya perdamaian dalam hubungan.

Kesimpulannya, dalam Islam, tanggung jawab dan kewajiban dalam perkawinan sangat penting, dan penyelesaian konflik seharusnya dilakukan dengan semangat kesepakatan dan perdamaian, dengan mengurangi hak dan kewajiban masing-masing pihak untuk menjaga keharmonisan dalam rumah tangga.

Daftar Pustaka

Abdul Azhim bin Badawi Al-Khalafi, Al-Wajiz, Terj. Ma’ruf Abdul Jalil, Jakarta: Pustaka As-Sunnah, 2006.

Abī Ja’far Muhammad bin Jarīr Al-Thabari, Tafsīr Al-Thabarī Jami’ al-Bayāni ’An Ta‘wīl Āyil Qur‘ān Juz VII, Jazirah: Dar Hajr, 2003.

Misran, Pengabaian Kewajiban Istri karena Nusyuz Suami, Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam Volume 2 No. 2. Juli-Desember 2018.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Shahih Fiqh Wanita Menurut A-Qur’an dan As-Sunnah, Terj: Faisal Saleh & Yusuf Hamdani, Jakarta Timur: Akbar Media, 2012.

Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Shahih Tafsir Ibnu Katsir jilid 2, Terj: Abu Ihsan al-Atsari, Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2008.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *