Childfree adalah sebuah keputusan atau pilihan hidup untuk tidak memiliki anak secara biologis. Pada masa Revolusi Prancis yang terjadi pada abad ke-18. 15 sampai 22 persen populasi dewasa memilih lajang dan mungkin tidak pernah punya anak. Sejarah tersebut berlanjut sampai abad ke-19.
Tingkat tidak Memiliki anak mencapai puncaknya pada tahun 1900-an. Setidaknya 1 dari 5 wanita Amerika yang lahir antara tahun 1885 dan 1915 tidak pernah memiliki anak. Kemudian Penggunaan istilah Childfree untuk menyebut orang-orang yang memilih untuk tidak memiliki anak ini baru muncul di akhir abad 20.
Masyarakat yang memilih status childfree terbagai dalam dua kelompok. Kelompok pertama ialah, orang yang memang tidak mau punya anak baik dengan cara melahirkan ataupun mengadopsi, kelompok yang kedua adalah orang yang tidak mau mempunyai anak secara biologis akan tetapi mau mengadopsi anak dan mendidik anak.
Sedangkan di indonesia fenomena childfree menjadi viral saat seorang public figur menyatakan bahwa dirinya memilih untuk childfree, dan menjadi perbincangan sejak akhir agustus, khususnya 21 agustus hingga menjadi tranding topic pada tanggal 26 agustus 2021. (Reza, 2021:1) kemudian fenomena ini menjadi perbicangan hangat sehingga ramai dan memunculkan pendapat-pendapat public figur yang lain.
Salah satu cara menggali maqoshid atau tujuan dari sebuah penafsiran adalah dengan mlakukan badi’ tauriyyah yakni dengan cara menerka-nerka makna yang jauh dalam ayat al-Quran.Teori maqoshid bisa menjadi sebuah pisau analisis dalam menjawab sebuah fenomena dan permasalahan kontemporer.(Muzakki, 2021:85-86) Berikut beberapa maqoshidus syar’iyah dari ayat-ayat yang menyinggung pro kontra chidfree
Pertama yaitu aspek Hifdzu ad-din. Pada surat al a’raf 86 terdapat maqoshidus syari’ah menjaga agama, yang mana allah memperbanyak jumlah anak-anak untuk memperkuat orang-orang mu’min. Sehingga dalam hal ini childfree tidak dianjurkan dikarenakan mempunyai banyak keturunan merupakan salah satu aspek dari hifdzu ad-din.
Meskipun orang yang mempunyai banyak keturunan termasuk dari aspek hifdzu ad-din akan tetapi orang yang memilih childfree belum tentu tidak menjaga agama, karena sebagian dari mereka mendedikasikan dirinya untuk mendidik anak-anak yang terlantar, dan menggunakan hartanya untuk menyantuni mereka. sehingga mereka masih mendapat pendidikan yang baik, dan juga kehidupan yang layak seperti anak-anak pada umumnya
Kedua Hifdzu an-nafs. Sebagian orang memilih untuk childfree karena merasa tidak mampu mengasuh dan merawat anak, ada juga yang tidak mau melahirkan karena tidak mau menurunkan gen penyakit kepada anaknya.
Mempunyai anak tanpa tanggung jawab adalah sebuah tindakan yang egois, apalagi melahirkan banyak anak saja dan tidak dididik dengan benar itu hanya akan membuat dinamika penduduk tidak stabil, sebab angka kelahiran dan kematian yang tidak seimbang.
Pada zaman Rasulullah kaum muslimin diperbolehkan mengatur keturunan jika ada motif yang masuk akal dan kebutuhan penting yang diperlukan. Metode yang di gunakan untuk mencegah dan mengurangi keturunan pada era itu yakni dengan cara ‘azl (keluarnya mani di luar rahim).(Qardlowi, 1960:175)
Maka dalam keadaan yang demikian, penulis condong terhadap aspek hifdzu an-nafs, bagi orang yang memilih childfree. Yakni sebagai upaya menjaga psikologi ibunya yang belum mampu melahirkan anak, dan juga jika seorang ibu takut akan kesehatan dari kehamilan atau persalinan yang sudah diketahui dari pengalaman maupun keterangan dari dokter yang dapat dipercaya, menjaga anaknya dari penyakit genetika.
Akan tetapi jika alasan childfree karena khawatir akan masalah duniawi yang menyebabkan dia malu maka hal itu akan menjadi sesuatu yang tidak diperkenankan untuk dilakukan, karena sudah dijelaskan dalam QS. 2:185 dan QS. 17:31 yang menerangkan bahwa Allah akan memberikan rezeki kepada kamu dan anak-anakmu dan allah menghendeki kemudahan bagi kalian semua.
Akan tetapi kebanyakan orang yang memilih childfree tetap mempunyai hubungan yang baik dengan anak-anak, seperti halnya hasil penelitian yang dilakukan oleh Amy Blackstone bahwasanya orang yang memilih childfree itu mendedikasikan dirinya untuk berkontribusi melayani anak-anak dan membantu membesarkan generasi berikutnya.
Berkontribusi kepada anak-anak dengan cara menyantuni ataupun menjadi guru bagi mereka. (Blackstoon, 2014:69) Maka dalam hal ini orang yang memilih childfree belum tentu tidak menjaga jiwa, karena mereka tetap menjaga eksistensi dedikasi mereka untuk anak-anak.
Beberapa moral value dalam penafsiran pro kontra childfree, yaitu nilai kemanusian, nilai kesetaraan, nilai pembebasan dan nilai tanggung jawab. Dari segi nilai kemanusiaan orang yang tidak memilih childfree dapat menjaga eksistensi keturunannya, bisa mempunyai anak yang dapat dibimbing untuk menjadi seorang mu’min, sehingga keturunan tersebut akan memperkuat dan menjaga agamanya.
Suami istri yang mau mempunyai anak juga menjaga hubungan pernikahannya, karena anak sendiri merupakan penguat rumah tangga, sehingga tidak mudah memutuskan berpisah ketika terjadi permasalahan.
Adapun orang yang berkomitmen memilih childfree mereka bisa menciptakan suasana harmonis dalam sebuah tangga melalui saling menghargai keputusan baik itu keputusan dari suami maupun dari istri dan mempunyai banyak waktu untuk quality time bersama pasangan.
Karena termasuk dari aspek-aspek perkawinan yang harmonis adalah menyediakan waktu bersama dalam keluarga, mempunyai komunikasi yang baik dengan keluarga dan saling menghargai antar sesama anggota keluarga. (Agustin, 2013:659)
Selanjutnya Nilai kesetaraan, pada pasal 1 deklarasi umum hak asasi manusia mengatakan bahwa semua manusia dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak yang sama. Mereka dikaruniai akal budi dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu dengan yang lain dalam semangat persaudaraan.(Futhoni,2009:19)
Islam sendiri tidak membenarkan tindakan diskriminatif. Jadi baik orang yang memilih atau tidak memilih childfree mereka setara. Orang yang memilih untuk mempunyai anak, mereka mempunyai tanggung jawab terhadap anaknya karena anak bisa menjadi cobaan atau menjadi harta yang paling berharga.
Akan tetapi mereka mempunya privilage karena adanya seorang anak, seperti mempunyai amal yang tidak terputus karena do’a anaknya, dan anak juga bisa dijadikan kebanggaan, harta serta perhiasan. Sedangkan orang yang memilih childfree mereka juga mempunyai keuntungan, seperti bisa melanjutkan pendidikan, bisa berkarir dengan bebas dan lain-lain, akan tetapi mereka bisa jadi kesepian, pernikahannya mudah bosan dan rentan dengan perceraian.
Kemudian dari segi Nilai pembebasan, setiap manusia memiliki kebebasan untuk memilih, memilih untuk mempunyai anak satu, dua dan seterusnya. Begitupun dengan orang yang memilih untuk memutuskan tidak mempunyai anak, mereka mempunyai kebebasan untuk memilih.
Seorang istri boleh meminta kepada suaminya untuk bersepakat tidak mempunyai anak, dengan alasan menjaga kesehatannya, menjaga keturunannya dari penyakit genetika, ataupun karena memilih untuk menjadi wanita karir dan mendedikasikan dirinya untuk mengkuti amal bakti sebagaimana yang dilakukan oleh orang amerika yang memilih untuk childfree.
Eksistensi manusia sendiri hanya bisa dilihat dari karya-karyanya, dan adanya pengakuan dari orang lain, tidak memilah-milah keberadaan manusia menurut derajat ataupun tingkatan-tingkatan yang munculnya tidak ilmiah, semua mengarah pada satu tujuan, kebahagiaan, meskipun jalannya berbeda-beda. Kebebasan itu sendiri disinyalir sebagai aktualisasi eksistensi manusia.(Maharani, 2007:215)
Yang terahir Nilai tanggung jawab yakni mempertanggung jawabkan keputusan. كُلّكم راعٍ و كُلُّكم مَسؤُولٌ عن رعيته setiap pemimpin mempunyai tanggung jawab untuk seluruh rakyatnya”. Hadis ini tidak hanya berlaku pada seorang pemimpin dalam suatu kaum, akan tetapi juga berlaku untuk manusia secara umum.
Dalam hal ini orang yang memilih childfree ataupun tidak mereka tetap mempunyai bentuk tanggung jawab masing-masing terhadap apa yang menjadi keputusannya. Orang yang memilih untuk melahirkan anak maka mereka wajib memberi pendidikan dan kehidupan yang memadahi untuk anak-anak mereka.
Sedangkan orang yang memilih childfree mereka tetap memiliki tanggung jawab lebih-lebih kepada dirinya sendiri, seperti halnya dalam mengatur finansial dan menjaga kesehatan. Hal itu wajib mereka pikirkan sejak dini dikarenakan di masa tua mereka tidak bisa mengandalkan seorang anak untuk mengurusnya.
Teori yang sangat terkenal, yaitu teori life choice (pilihan kehidupan yang nyata) mengajarkan bahwa, manusia sepanjang hidupannya selalu melakukan pilihan-pilihan sesuai dengan keadaan yang dialaminya. Mengambil alternatif-alternatif pilihan yang sekiranya mampu digunakan dalam kondisi yang sesuai, sehingga mampu digunakan sebaik mungkin. (Fahrudin, 2021:63)
Ghoyah yakni puncak atau tujuan utama dari penafsiran ayat-ayat yang berkaitan dengan Childfree adalah mempunyai generasi penerus yang beriman dan berkualitas. Washilah atau perantara untuk mencapai ghoyah tersebut tentunya tidak harus sama.
washilah bisa dengan cara melahirkan keturunan, dan bisa juga dengan mendedikasikan dirinya sebagai pengajar bagi anak-anak terlantar dan menyantuni mereka untuk mendapatkan kehidupan yang setara dengan anak-anak pada umumnya.
Dengan demikian poin utama dalam hakikat mempunyai keturunan ialah tidak hanya perkara melahirkan keturunan secara biologis, akan tetapi lebih luas dari hal tersebut ialah aspek tanggung jawab untuk mendidik dan menyantuni keturunan tersebut.
Daftar Pustaka
Agustin, Maria. “Hubungan Kemandirian Istri Dengan Keharmonisan Perkawinan Pada Tahap Awal Perkawinan.” Jurnal Psikologi Tabularasa 8 (t.t.): 695
Blackstoon, Amy. “Childless or Childfree?” Sosiological Assosiation, 2014.
Dwiputri Maharani, Septiana. “Pandangan Leo Tolstoy terhadap Wanita.” jurnal filsafat, 2007.
Fahrudin, Ahmad. “Pengambilan Keputusan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.” IAIN Tulungagung 1 (2021): 63.
Fulthoni. Memahami Diskriminasi. Jakarta Selatan: The Indonesian Legal Resource Center, 2009.
Hardiyanti Wida Reza. “Study Of Childfree in islamic prespective using big data analystic from social media and online platfrom.” to understand the people indonesia view, 2021.
Al Qordlowi, Yusuf. Halal haram fil qur’an. Kairo: Maktabah Wahbah, 1960.
Muzakky, Althaf Husein. “tafsir maqoshidi dan pengembangan kisahal-qur’an: studi kisah nabi bermuka masam dalam QS. Abasa (80):1-11.” QUHAS 10 (Juni 2021)