Perbedaan Pendekatan Hermeneutika dalam Kajian Islam: Perspektif Quraish Shihab dan Muhammad Imara

Tulisan ini akan berupaya mengulas artikel yang ditulis oleh pakar hermeneutika Indonesia Dr. Phil sahiron (1968-sekarang) yang berjudul Differing Responses to Western Hermeneutics (2021). Secara umum, artikel ini berusaha untuk mencoba mendeskripsikan bagaimana respon para sarjana muslim terhadap penggunaan Ilmu Hermeneutika dalam studi al-Quran. Dimana fokus yang hendak disampaikan lebih kepada dua sarjana muslim kontemporer Mesir dan Indonesia, yakni Quraish Shihab (1944-sekarang) dan Muhammad Imara (1931-2020).

Ulasan Sahiron mengenai kisah tanggapan dua tokoh ini cukup layak untuk didengar mengingat latar belakang beliau yang cukup kuat dipandang sebagai ‘tokoh hermeneutik Indonesia’. Sahiron bersamaan dengan tiga tokoh lain, seperti Amin Abdullah (1953-sekarang), Komarudin Hidayat (1953-sekarang) dan Fahrudin Faiz (1975-sekarang) berperan cukup banyak dalam membawa diskursus baru ini ke tanah air (Izza Rahman,2006: 79-86) Dalam hal ini, mungkin kita perlu mendengar bagaimana tanggapan tokoh pakar terkait terhadap track record sejauh mana hermeneutika al-Quran berjalan di Indonesia.

Bacaan Lainnya

Didalam artikelnya, Sahiron berupaya menganalisa secara kritis bagaimana pandangan kedua tokoh tersebut -Shihab dan Imarah- terhadap ilmu hermeneutik. Pada kesimpulannya, kedua tokoh ini memiliki perbedaan pandangan yang cukup signifikan terutama terkait kebolehan ilmu tersebut diterapkan didalam studi penafsiran al-Quran. Quraish Shihab cenderung membolehkan tetapi dengan beberapa persyaratan/catatan. Sedangkan Muhammad Imara menolak secara penuh

Menarik untuk ditelisik, mengingat kedua tokoh ini memiliki persamaan almamater kampus, yakni sama-sama lulusan Universitas al-Azhar Kairo. Tetapi bisa memiliki perbedaan pandangan yang cukup beda. Memang , jika diruntut secara historis, kedua tokoh ini tetap saja memiliki latar belakang kehidupan yang tidak sama, dimana Quraish Shihab banyak menghabiskan waktunya dalam ranah akademis dan menjadi dosen diberbagai kampus islam di Indonesia, sedangkan Muhammad Imarah banyak menghabiskan waktunya menjadi aktivis keislaman di Mesir.

Dalam hal kaitannya dengan kasus hermeneutik, Quraish Shihab dengan latar belakang akademisnya, tentu akan senantiasa berupaya se-obyektif mungkin dalam memandang permasalahan tersebut, sedangkan Muhammad Imara akan cenderung subyektif, terutama karena ia juga cukup banyak turut serta dalam gerakan-gerakan anti-westernisasi (yang juga cukup populer di Mesir pada saat itu). Dan pada akhirnya, karena sikap anti-baratnya itulah yang kemudian membawa Imara pada sikap penolakan terhadap hermeneutik, karena dianggapnya hermeneutik juga merupakan produk barat.    

Sahiron cukup rinci dalam mendeskripsikan kedua pandangan tokoh ini. Dimana ia sampai menyorot bagaimana pendapat mereka khususnya dalam menanggapi dua tokoh hermeneut populer scheilemecher (1768-1834 M), dan gadamer (1900-2002 M). Dalam pandangan Qurais Shihab, ia cukup setuju dengan pemikiran scheilemecher khususnya analisa gramatikal-nya, tapi tidak dengan analisa psikologisnya. Karena menurutnya, memahami psikologis pengarang, jika itu konteksnya al-Quran, maka cukup sulit untuk dilakukan. Sedangkan dalam pandangan Muhammad Imara, ia menolak secara penuh pemikiran scheilemceher ini.

Baik Quraish Shihab maupun Muhammad Imara, sebenarnya titik sorot permasalahan yang mereka tekankan itu sama. Jika hermeneutik diterapkan dalam al-Quran, bagaimana posisi pengarang (author) dalam hal ini?. keduanya, cenderung memahami bahwa hermeneutik meniscayakan kematian bagi pengarang, dalam artian posisi ‘maksud pengarang’ dalam pemahaman intrepertasi teks sudah tidak penting lagi. Dengan kata lain, pembaca (readers) mampu memahami makna diluar maksud dari pengarang. Dan jika demikian yang dimaksud hermeneutik, maka dalam konteksnya penafsiran al-Quran, ini jadi problem menurut mereka.     

Inilah letak permasalahannya menurut sahiron. Kedua tokoh ini, baik Quraish Shihab maupun Muhammad Imara, telah cukup gagal paham terhadap apa yang mereka sebut sebagai ‘hermeneutik’. Menrutnya, apa yang kemudian mereka definisikan sebagai hermeneutik itu -seperti kematian pengarang, makna diluar maksud pengarang dsb- itu bukan lah definisi sesungguhnya dari hermeneutik.

Apa yang mereka sebut sebagai ‘hermeneutik’ itu, sebenarnya baru terbatas pada salah satu aliran mazhab saja dari metode tersebut, yakni ‘mazhab subyektivis’, mereka tidak menyadari bahwa ada banyak diluar sana, para hermeneut yang tetap menekankan secara penting pada maksud inti pengarang.

Dengan kata lain, mereka mungkin saja tidak tahu bahwa ada banyak aliran hermeneutik yang sebenarnya merupakan aliran obyektivis -menganggap penting posisi pengarang; alias pengarang masih hidup!- dan juga ada aliran-aliran yang meskipun cenderung subyektif mengambil makna yang relevan dengan konteksnya disatu sisi tapi tetap berpegang teguh tidak keluar dari makna obyektif menurut pengarang di sisi yang lain, sahiron menyebut aliran ini dengan mazhab obyektivis cum subyektivis.  (Sahiron S, 2017: 45-58)

Pada kesimpulan akhirnya, Sahiron berpendapat bahwa ada perbedaan persepsi mengenai terminologi hermeneutik bagi kedua tokoh ini. Ini berarti mungkin saja tidak penting apakah mereka beda atau sama sikapnya terhadap hermeneutik, yang terpenting adalah bagaimana mereka memahami istilah itu. Apa yang mereka sebut sebagai hermeneutik, belum cukup untuk dikatakan sebagai hermeneutik. Mungkin kita tidak pernah tahu, seandainya mereka mengenal ada para tokoh hermeneutik lain diluar dari mazhab subyektivis (kaum yang mematikan pengarang tadi itu), apakah mereka kelak akan membolehkan -bahkan secara penuh- terhadap penggunaan hermeneutik ini didalam studi al-Quran? Kita tidak pernah tahu.  

Referensi :

Izza Rahman, Rethinking Aproaches To Intrepreting The Quran in Contempory Indonesian Muslim Thought

Sahiron Syamsudin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Quran

Sahiron Syamsudin, Differing Responses to Western Hermeneutics: A Comparative Critical Study Of M.Quraish Shihab’s and Muhammad Imara’s Thought

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *