Tidak sedikit hadis yang dipandang misoginis (hadis yang secara tekstual mengandung pemahaman kebencian atau diskriminasi terhadap wanita) kemudian menjadi penyebab terjadinya diskriminasi antara laki-laki dan perempuan karena mempengaruhi pola pikir khususnya kaum laki-laki.(Nabilah and Aini 2022: 29)
Implikasi yang muncul akibat deskriminasi terhadap perempuan diantaranya adalah anggapan bahwa perempuan itu rendah, bodoh, lemah, makhluk kelas dua. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan tidak hanya dilihat dari sebatas identitas jenis kelamin dan kodrat fisik yang memang tidak berubah, tetapi juga secara negatif merambat pada perlakuan peran, fungsi, kedudukan, kualitas dan prestasi perempuan.
Penempatan perempuan dalam kondisi yang “tidak menguntungkan” (makhluk kelas dua di bawah laki-laki) seakan dikuatkan oleh doktrin-doktrin agama. Tafsir kitab suci yang berkembang turut mengambil bagian dalam mengukuhkan paradigma tidak adil gender yang menjadikan perempuan sebagai objek laki-laki, bukan mitra sejajar laki-laki. Sejumlah hadis yang dipandang misoginis lebih ditonjolkan dibandingkan dengan hadis-hadis yang adil gender. Fakta itu seolah hendak mengatakan bahwa agama benar-benar tidak berpihak pada perempuan.
Salah satu hadis yang diaggap misoginis oleh kaum feminis adalah hadis yang menyatakan bahwa perempuan sebagai penghuni neraka, kurang akal dan agamanya:
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ. قال: خَرَجَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى أَضْحَى , أَوْ فِطْرٍ , إِلَىَ الْمُصَلَّى فَمَرَّ عَلَى النِّسَاءِ. فَقَالَ : يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ , تَصَدَّقْنَ ، فَإِنِّى أرِيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ. فَقُلْنَ : وَبِمَ يَا رَسُولَ اللهِ ؟ قَالَ : تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ , وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ ، مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الْحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ. فقلن : وَمَا نُقْصَانُ دِيْنِنَا وَعَقْلِنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ قَالَ : أَلَيْس َشَهَادَةُ الْمَرْأَةِ مِثْلَ نِصْفِ شَهَادَةِ الرَّجُلِ ؟ قُلْنَ بَلَى. قَالَ : فَذَالِكَ مِنْ نُقْصَانِ عَقْلِهَا, أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ ؟ قُلْنَ بَلَى. قَالَ : فَذَالِكَ مِنْ نُقْصَانِ دِيْنِهَا(Al-Bukhari 1400: 134)
…, dari Said al-Khudri berkata : Rasulullah keluar ke tempat shalat saat Idul Fitri atau Idul Adha, dan beliau melewati sekumpulan perumpuan dan bersabda : “hai kaum perempuan, bersedekahlah ! sesungguhnya aku diperlihatkan bahwa kalian adalah mayoritas penghuni neraka” lalu mereka bertanya “apa sebabnya ya Rasulullah?” dijawablah “kalian banyak melaknat dan mengingkari kebaikan suami kalian, aku belum pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya dapat mengalahkan akal kaum laki-laki yang cerdik dari pada kalian” lalu mereka bertanya “apa kekurangan akal dan agama kami ya Rasulullah?” dijawablah “bukankah kesaksian seorang perempuan sama dengan kesaksian setengah laki-laki?” mereka menjawab “benar”, Nabi melanjutkan “itulah kekurangan akalnya; bukankah perempuan tidak shalat dan tidak puasa ketika sedang haidh?” mereka menjawab “benar”, Nabi melanjutkan “itulah kekurangan agamanya”
Hadis ini seakan menempatkan perempuan di posisi yang tidak menguntungkan. Anggapan bahwa perempuan “penghuni neraka, kurang akal dan kurang beragama” berdampak pada perlakuan masyarakat terhadap makhluk berjenis kelamin perempuan ini (Fawaid 2015: 58). Parahnya bahkan dalam perilaku bawah sadarnya, kaum perempuan itu sendiri selalu memposisikan dirinya tidak bisa melakukan hal-hal berarti dan berada di bawah laki-laki.
Hadis diatas bahkan digunakan sebagian mufassir untuk menafsirkan QS. Al-Baqarah 282 yang berbunyi:
…وَٱسۡتَشۡهِدُوا۟ شَهِیدَیۡنِ مِن رِّجَالِكُمۡۖ فَإِن لَّمۡ یَكُونَا رَجُلَیۡنِ فَرَجُلࣱ وَٱمۡرَأَتَانِ مِمَّن تَرۡضَوۡنَ مِنَ ٱلشُّهَدَاۤءِ أَن تَضِلَّ إِحۡدَىٰهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحۡدَىٰهُمَا ٱلۡأُخۡرَىٰۚ…
Terjemahnya: Mintalah kesaksian dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada) sehingga jika salah seorang (saksi perempuan) lupa, yang lain mengingatkannya.
Ibnu Katsir menafsirkan ayat diatas menggunakan hadis misoginis tentang kurangnya akal perempuan, hal ini seolah menegaskan bahwa perempuan kurang akal dibandingkan laki-laki. Kekurangan akal perempuan diidentikkan dengan kesaksian kaum perempuan setengah dibandingkan kesaksian laki-laki:
Dan firman Allah SWT: (وَٱسۡتَشۡهِدُوا۟ شَهِیدَیۡنِ مِن رِّجَالِكُمۡۖ) “dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang laki-laki diantaramu” ini adalah perintah untuk memberi kesaksian disertai penulisan untuk menambah validitasnya (kekuatannya). (فَإِن لَّمۡ یَكُونَا رَجُلَیۡنِ فَرَجُلࣱ وَٱمۡرَأَتَانِ) “jika tidak ada dua orang laki-laki, maka boleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan” hal itu hanya berlaku pada perkara yang menyangkut harta dan segala yang diperhitungkan sebagai kekayaan. Ditempatkannya dua orang wanita menduduki kedudukan seorang laki-laki karena kurangnya akal kaum wanita. Sebagaimana diriwayatkan Muslim dalam kitab shahihnya, dari Abu Hurairah ra, dari Nabi SAW, beliau bersabda:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ أَبِي عَمْرو، عَنِ المَقْبُري، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ أَنَّهُ قَالَ: “يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ، تَصَدَّقْنَ وَأَكْثِرْنَ الِاسْتِغْفَارَ، فَإِنِّي رأيتكُن أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ”، فَقَالَتِ امْرَأَةٌ مِنْهُنَّ جَزْلة: وَمَا لَنَا -يَا رَسُولَ اللَّهِ -أَكْثَرُ أَهْلِ النَّارِ؟ قَالَ: “تُكْثرْنَ اللَّعْنَ، وتكفُرْنَ الْعَشِيرَ، مَا رأيتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَغْلَبَ لِذِي لُب مِنْكُنَّ”. قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا نُقْصَانُ الْعَقْلِ وَالدِّينِ؟ قَالَ: “أَمَّا نُقْصَانُ عَقْلِهَا فَشَهَادَةُ امْرَأَتَيْنِ تَعْدل شَهَادَةَ رَجُلٍ، فَهَذَا نُقْصَانُ الْعَقْلِ، وَتَمْكُثُ اللَّيَالِي لَا تُصَلِّي، وَتُفْطِرُ فِي رَمَضَانَ، فَهَذَا نُقْصَانُ الدين“
“wahai kaum wanita, bersedekahlah kalian dan perbanyaklah istigfar, karena aku melihat kebanyakan dari kalian sebagai penghuni neraka. Salah seorang wanita bertubuh besar bertanya: ‘mengapa kebanyakan dari kami sebagai penghuni neraka?’ Beliau menjawab: ‘karena kalian banyak melaknat dan tidak bersyukur kepada suami. Aku tidak melihat orang-orang yang kurang akal dan agamanya yang lebih dapat menaklukkan seorang laki-laki yang berakal daripada kalian.’ Wanita itu bertanya; ‘Apa yang dimaksud kurang akal dan agama?’ Beliau menjawab: ‘Yang dimaksud dengan kekurangan akal adalah kesaksian dua orang wanita sama dengan kesaksian seorang laki-laki, yang demikian itu termasuk kurangnya akal. Dan kalian berdiam diri selama beberapa malam, tidak mengerjakan shalat, dan tidak berpuasa pada bulan Ramadhan (karena haid dan nifas). Dan demikian itu termasuk dari kurang agama.”
Dan firman Allah SWT, (مِمَّن تَرۡضَوۡنَ مِنَ ٱلشُّهَدَاۤءِ) “dari saksi-saksi yang kamu ridhoi.” Dalam potongan ayat ini terdapat dalil yang menunjukkan adanya syarat adil bagi para saksi. Dan hal ini adalah taqyîd (batasan). Maka ayat muqayyad (mengikat) inilah yang dijadikan pegangan hukum oleh imam Syafi’i dan menetapkannya pada setiap perintah mutlak untuk memberikan kesaksian di dalam al-Qur’an tanpa ada persyaratan. Dan bagi pihak yang menolak kesaksian orang yang tidak jelas pribadinya potongan ayat ini juga menunjukkan bahwa saksi itu harus adil dan diridhai (diterima).
Dan firman-Nya, (أَن تَضِلَّ إِحۡدَىٰهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحۡدَىٰهُمَا ٱلۡأُخۡرَىٰۚ) “supaya jika seorang lupa. Maka seorang lagi mengingatkannya” yaitu kedua orang wanita tersebut jika salah seorang lupa atas kesaksiannya. (فَتُذَكِّرَ إِحۡدَىٰهُمَا ٱلۡأُخۡرَىٰۚ) “maka seorang lagi mengingatkannya”. Maksudnya, mengingatkan kesaksian yang pernah diberikan. Karena itu ada sebagian ulama membaca dengan menggunakan tasydid dari kata التذكار (peringatan). (Al-Katsir, 2003: 564-565)
Penafsiran Ibnu Katsir diatas sangat jelas mengatakan bahwa kesaksian dua orang perempuan setara dengan satu orang laki-laki dikarenakan kurangnya akal perempuan berpatokan dengan hadis Nabi diatas tanpa ada penalaran terlebih dahulu. Padahal masih banyak kemungkinan lain yang menyebabkan kesaksian dua orang perempuan setara dengan satu orang laki-laki tersebut.
Dengan adanya penafsiran seperti ini menjadikan orang yang membacanya akan membenarkan bahwa perempuan merupakan makhluk yang lebih rendah dari laki-laki dari segi akal dan berimplikasi kepada perlakuan yang “tidak menguntungkan” terhadap perempuan.
QS. Al-Baqarah: 282 mengandung kesan bahwa perempuan mempunyai kualitas daya ingat yang lebih rendah dibandingkan laki-laki. kesan ini terlihat dalam kalimat “maka mengingatkan salah satu kepada yang lainnya”, sehingga saksi perempuan harus didampingi dengan perempuan lainnya supaya saling mengingatkan ketika salah satu di antara keduanya lupa.
Kesan seperti ini dibantah oleh Rasyid Ridha sebagai kesalahan dalam pemahaman yang sering terjadi di kalangan mufassir. Rasyid Ridha berpendapat bahwa kata dhalal (sesat) dalam ayat tersebut bukan berarti kaum perempuan mempunyai sifat pelupa, tetapi perhatian kaum perempuan pada masalah mu’amalah tidak seperti perhatian kaum laki-laki (Ridha, n.d.: 124).
Melihat konteks di mana Nabi masih hidup, perempuan lebih sering berperan dalam urusan domestik (urusan rumah tangganya saja) dan mereka jarang yang terlibat dalam urusan publik, sehingga daya ingat mereka menjadi lemah karena jarang digunakan untuk memikirkan soal publik yang lebih kompleks. Kondisi yang demikian ini tentu mengurangi kompetensi perempuan apabila diminta untuk menjadi saksi dalam wilayah publik termasuk hutang piutang (Parwanto and Rosdiawan 2013: 101).
Seorang mufassir perempuan Kariman Hamzah, menjelaskan bahwa secara umum peran publik perempuan saat masa Rasulullah terbatas, sehingga secara umum perempuan memiliki keterbatasan skill dalam hal transaksi yang berkaitan dengan urusan finansial. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, peran perempuan semakin melebar hingga ranah publik. Menurutnya, ayat tentang persaksian yang mana posisi perempuan setengah dari posisi laki-laki hanya terbatas pada kondisi perempuan belum banyak terlibat di ranah publik. Seiring dengan banyak terlibatnya perempuan di publik, termasuk dalam urusan transaksi moneter, maka keahlian perempuan tidak berbeda dengan keahlian laki-laki. Dalam konteks inilah, Kariman mengatakan bahwa satu orang saksi perempuan setara dengan satu satu orang laki-laki (Hamzah 2010: 116).
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa persaksian dua orang perempuan setara dengan seorang laki-laki bukan dikarenakan kurangnya akal perempuan tetapi karena dilatarbelakangi kondisi sosial yang mana perempuan pada masa itu kurang menekuni kegiatan mu’amalah sehingga persaksiannya dianggap kurang. Jika melihat kondisi sekarang di mana perempuan sudah diberikan kesempatan aktif yang sama dengan laki-laki di ruang publik, maka bisa dikatakan bahwa pada konteks saat ini perempuan sudah dinilai setara dengan laki-laki dalam hal apapun. Konsekuensinya, argumen bahwa kemampuan akal perempuan lebih lemah dari laki-laki menjadi tidak relevan.
Daftar Bacaan
Al-Bukhari, Abu ’Abdillah. 1400. AL-Jami’ Al-Shahih Tahqiq. Kairo: Al-Matba’ah Al-Salafiyah.
Fawaid, Ah. 2015. “Pemikiran Musfasir Perempuan Tentang Isu-Isu Perempuan.” Karsa 23 (1): 58–80. http://ejournal.stainpamekasan.ac.id/index.php/karsa/article/view/609.
Hamzah, Kariman. 2010. Al-Lu’lu’ Wa Al-Marjan Fi Tafsir Al-Qur’an. Jilid I. Kairo: Maktabah al-Syuruq al-Dawliyah.
Katsir, Ibnu. (2003). Tafsir Ibnu Katsir Terj. M. Abdul Ghoffar Jilid 2. Bogor: Pustaka Imam As-Syafi’i.
Nabilah, Mahfidzatun, and Siti Qurrotul Aini. 2022. “Perempuan Dan Neraka.” Al-Manar: Jurnal Kajian Alquran Dan Hadis 8 (2): 27–50. http://dx.doi.org/10.35719/amn.v8i2.24.
Parwanto, Wendi, and Ridwa Rosdiawan. 2013. “Reinterpretasi Kesaksian Perempuan Dalam QS. Al-Baqarah [2] : 282 (Menelisik Antara Pemahaman Normatif-Tekstualis Dan Historis-Kontekstualitas).” Raheema: Jurnal STudi Gender Dan Anak, 87–105.
Ridha, Muhammad Rasyid. n.d. “Tafsir Al-Manar.” . Jilid I, Juz 3. Bairut: Dar al-Fikr.