Ibn ‘Abbās merupakan nama populer dalam dunia tafsir al-Qur’an. Ia bernama lengkap Abdullah ibn ‘Abbās ibn Abd al-Muṭṭalib ibn Hasyim ibn ‘Abd Manāf al-Quraisyī al-Hasyimī (al-Zahabī, 2003, 50). Ibn ‘Abbās termasuk dalam golongan sahabat junior, karena ia dilahirkan pada saat tiga tahun sebelum nabi hijrah ke Madinah, dan pada saat nabi Muhammad meninggal dunia Ibn ‘Abbas baru berusia sekitar sepuluh, tiga belas, atau lima belas tahun (al-‘Asqalānī, 1994, 247).
Yang agak mengherankan menurut Herbert Berg sosok Ibn ‘Abbas meskipun usianya masih belia ketika nabi Muhammad meninggal dunia itu dicap sebagai tokoh yang paling otoritatif dalam dunia tafsir al-Qur’an bahkan mengalahkan tokoh-tokoh pemeluk Islam awal seperti Ali Ibn Abi Ṭalib dan Abū Bakar (Berg, 2004, 127). Nampaknya keheranan ini muncul karena Ibn ‘Abbās hanya mengalami sedikit fase pewahyuan al-Qur’an dibandingkan sahabat-sahabat senior lainnya, namun ia dijadikan sebagai figur otoritatif dalam tafsir al-Qur’an.
Keraguan Sarjanawan terhadap Ibn ‘Abbās
Herbert Berg menampilkan keraguan sarjanawan sebelumnya terhadap otoritas Ibn ‘Abbās dalam dunia tafsir seperti Sprenger yang tak segan-segan menyebut Ibn ‘Abbās sebagai “liar”, begitu pula Noldeke dan Schwally yang berargumen bahwa terlalu banyak kontradiksi yang terjadi untuk menyusun kembali penafsiran terhadap suatu ayat yang disandarkan kepadanya, sehingga kemungkinan yang tersisa adalah otoritas Ibn ‘Abbās dalam dunia tafsir adalah fiktif. (Berg, 2004, 131)
Sedangkan menurut Birkeland otoritas Ibn ‘Abbās adalah sebuah fakta sosiologis, karena pendapatnya mewakili konsensus komunitas Muslim di akhir abad kedua Hijriyah (Birkeland, 1955, 37), selanjutnya Nagel berargumen bahwa sosok Ibn ‘Abbas dijadikan oleh dinasti Abbasiyah sebagai landasan yang kokoh, karena Ibn ‘Abbās merupakan sepupu dari pihak ayah nabi Muhammad, lalu Nagel meragukan hadits-hadits meneguhkan otoritas Ibn ‘Abbas yang menurutnya hadits-hadits tersebut tidak mungkin berasal dari masa sebelum dinasti Abbasiyah. (Nagel, 1967, 56-59)
Lebih jauh lagi Ahmad (Julliandri) bahkan mengatakan pada saat tafsir disusun, keturunan Ibn ‘Abbās (dinasti Abbasiyah) merebut kekuasaan politik sehingga mereka membesar-besarkan kesalehan, kebenaran, serta pengetahuan Ibn ‘Abbās demi tujuan kepentingan politik mereka. (Ahmad, 1968, 79).
Dalam diskusi ini, Herbert Berg memosisikan dirinya ingin mengelaborasi lebih jauh keraguan para sarjanawan mengenai otoritas Ibn ‘Abbās dengan meneliti dan membandingkan tiga karya penulis muslim awal yaitu Abdullah ibn Wahb (W. 197 H) dalam “bāb al-Tafsīr”, al-Bukhari (W. 256 H) dalam “kitāb al-Tafsīr”, dan al-Ṭabarī (W. 311 H) dalam “jāmi’ al-Bayān”.
Analisis Herbert Berg
Herbert Berg mencatat setidaknya terdapat 352 riwayat dalam “bāb al-Tafsīr” karya Ibn Wahb, sebanyak 24 riwayat berasal dari Ibn ‘Abbās sama banyak dengan riwayat Muhammad ibn Ka’b al-Quraẓī, dan dua kali lebih banyak dari riwayat Ibn Mas’ud, Mujāhid ibn Jabr, dan Zaid ibn Aslam, dan tak ada sesuatu yang spesial dinisbatkan kepada Ibn ‘Abbās.
Dalam sebuah kasus Ibn ‘Abbās pernah ditanya oleh Umar ibn al- Khaṭṭāb tentang Qs. al-Ahzab: 33, dan status otoritatifnya dikonfirmasi oleh Umar ibn Khaṭṭāb. Namun dalam dua kasus lain Ibn ‘Abbās justru bertanya kepada orang lain yaitu Ka’b al-Ahbār mengenai arti sijjīn pada Qs. al-Muṭaffifīn: 7-8, ‘illiyyūn pada Qs. al-Muṭaffifīn: 18-19, sidrat al-Muntahā pada Qs. al-Najm: 14 dan 16, serta apa maksud dari pernyataan Allah terhadap nabi Idris pada Qs. Maryam: 57, lalu Ka’b al-Ahbār pun menjawabnya. Hal ini menunjukkan bahwa Ibn ‘Abbās juga tunduk pada pengetahuan orang lain.
Kasus selanjutnya Ibn ‘Abbās pernah ditanya oleh seseorang mengenai arti Qs. al-‘Adiyāt: 1, dan orang tersebut juga bertanya pada Ali ibn Abi Ṭālib. Ketika Ali ibn Abi Ṭālīb mengetahui jawaban Ibn ‘Abbās ia berkata kepadanya tufti al-Nās bi ma lā ‘ilm laka bihi (kamu memberitahu seseorang tentang sesuatu yang kamu tidak ketahui), lalu Ali ibn Abi Ṭālib pun memberikan arti yang benar. (Berg, 2004, 134-135)
Selanjutnya dalam “kitāb al-tafsīr” karya al-Bukhari terdapat 500 hadits dan 105 diantaranya berasal dari Ibn ‘Abbās. Hadits-hadits ini menjadikan Ibn ‘Abbās sebagai figur otoritatif, misalnya riwayat yang menceritakan bahwa beberapa orang dari generasi Tabi’in datang ke Kufah untuk meminta fatwanya, bahkan diriwayatkan Umar suatu saat pernah marah kepada para sahabat karena tidak bisa menjawab pertanyaannya mengenai Qs. al-Baqarah: 266, lalu pertanyaan Umar tersebut dijawab oleh Ibn ‘Abbās sehingga Umar pun memujinya, terdapat juga riwayat-riwayat yang menggambarkan posisi istimewanya dengan menggambarkan kekerabatannya dengan nabi Muhammad, dan riwayat yang “meragukan otoritas” Ibn ‘Abbās sudah tidak ada. (Berg, 2004, 135-136)
Lalu dalam tafsir jāmi’ al-Bayān karya al-Ṭabari, Ibn ‘Abbās dikutip sebanyak 5.835 kali dari 38.397 riwayat yang tercantum dalam tafsir tersebut. Ini menunjukkan bahwa terdapat peningkatan mengenai jumlah hadits-hadits Ibn ‘Abbās selama setengah abad antara masa Bukhari dan al-Ṭabarī. Kendati demikian al-Ṭabarī tak segan-segan berbeda pendapat dengan Ibn ‘Abbās dalam masalah penafsiran (Berg, 2004, 139), misalnya dalam Qs. al-Baqarah: 78 pada frasa wa minhum ummiyyun, dimana terdapat sebuah riwayat dari Ibn ‘Abbās yang menafsirkan ummiyyun adalah:
kaum yang tidak meyakini rasul yang diutus oleh Allah, serta kitab yang diturunkan oleh Allah, lalu mereka menulis kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu berkata kepada kaum yang tidak mengetahui bahwa ini dari Allah, mereka dinamai dengan ummiyyun karena pengingkaran mereka terhadap kitab-kitab dan rasul-rasul Allah.
Lalu al-Ṭabarī mengomentari riwayat ini dengan mengatakan:
Ini adalah takwil yang berbeda dengan yang umumnya diketahui dari orang-orang Arab, karena al-Ummī menurut orang Arab adalah yang tidak tahu menulis.
Kesimpulan analisis Herbert Berg
Dari data-data diatas, bahwa status otoritas Ibn ‘Abbās tidaklah statis, melainkan terus berkembang dan ikut merefleksikan pengaruh kekuasaan dinasti Abbasiyah. Masa Bukhari merupakan puncak kekuasaan politik dan keagamaan dinasti Abbasiyah sehingga reputasi Ibn ‘Abbās sebagai mufassir otoritatif menjadi kokoh dan mulai mengalami kemunduran pada masa Ṭabarī karena saat itu dinasti Abbasiyah telah berkuasa selama kurang lebih 150 tahun, sehingga kebutuhan untuk membenarkan klaim kekhalifahan mereka tidak begitu mendesak seperti sebelumnya. (Berg, 2004, 140-141) Dalam analisisnya Mun’im Sirry mengatakan seiring dengan menurunnya kedigdayaan dinasti Abbasiyah, pamor dan reputasi Ibn ‘Abbās mulai memudar. (Mun’im, 2021, 136)
Asumsi “liar”
Penulis mencoba untuk beropini liar dan mengulik implikasi dari otoritas Ibn ‘Abbās berdasarkan kesimpulan Herbert Berg, tentunya ini bersifat subjektif dan perlu didiskusikan lebih lanjut. Nasr Ḥāmid Abū Zayd dalam artikelnya Isykāliyyāt al-Ta’wīl Qadīman wa Hadītsan menunjukkan bahwa kata ta’wil sebagai istilah dalam aktifitas memaknai al-Qur’an awalnya lebih populer dibandingkan istilah tafsir, namun akibat adanya manipulasi politik pada istilah ta’wil dimana kata ta’wil erat dengan kelompok khawarij, syi’ah, mu’tazilah, dan mutashawwifah membuat istilah ta’wil tergeserkan dengan istilah tafsir. (Nasr Ḥāmid Abū Zayd)
Apa yang membuat istilah ta’wil awalnya lebih populer? Penulis beropini salah satu alasannya adalah kuatnya pamor dan otoritas Ibn ‘Abbās dalam dunia pemaknaan al-Qur’an, sebanding dengan masa kedigdayaan dinasti Abbasiyah. Hal ini disimbolkan dengan doa yang didapatkan Ibn ‘Abbās dari nabi Muhammad Saw allahumma faqqihhu fiddin wa ‘allimhu al-Ta’wīl. Dan istilah ta’wil inilah yang digunakan oleh dinasti Abbasiyah untuk merujuk pada kegiatan memaknai al-Qur’an.
Lebih jauh lagi, kalau ingin lebih skeptis, bisa saja riwayat yang mencantumkan doa nabi kepada Ibn ‘Abbās itu merupakan hasil rekaan semata dari dinasti Abbasiyah untuk mempopulerkan istilah ta’wil untuk meraih puncak kekuasaan keagamaan, sebagaimana yang dikemukakan oleh sarjanawan yang meragukan otoritas Ibn ‘Abbās.
Respon terhadap Herbert Berg
Namun analisis Herbert Berg tersebut juga dipertanyakan oleh Michael Cook yang salah satunya menyoroti aspek politis, menurutnya harusnya riwayat-riwayat Ibn ‘Abbās itu kental bernuansa politis yang menguntungkan untuk dinasti Abbāsiyah, namun dari data-data yang diajukan Herbert Berg tidak demikian. Menurut Herbert Berg fungsi Ibn ‘Abbās dalam dinasti Abbasiyah adalah sebagai contoh atas otoritas keagamaan yang dimilikinya dengan banyak memahami makna al-Qur’an dan melalui dirinya otoritas tersebut terwarisi pada keturunannya, sehingga timbul kesan bahwa keturunannya yang menjadi khalifah akan memerintah dengan adil dan berlandaskan al-Qur’an dan Sunnah. (Berg, 2004, 144).
Refrensi
Muḥammad Ḥusain al-Zahabi, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2003)
Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī, tahẓīb al-tahzīb, (Beirut, 1994)
Herbert Berg, “Ibn ‘Abbās in Abbasid era Tafsir” in ‘Abbāsid Studies, Cambridge 6-10 July 2002, (Leuven: Peeters Publisher, 2004)
H. Birkeland, Old Muslim Opposition against Interpretation of the Koran, (Oslo: 1955)
T. Nagel, Die Qiṣaṣ al-Anbiyā, (Bonn: 1967)
R. Ahmad (Julliandri), “Qur’ānic Exegesis and Classical Tafsir” in Islamic Quarterly, 1968
Mun’im Sirry, Rekonstruksi Islam Historis: Pergumulan Kesarjanaan Mutakhir, (Yogyakarta: Suka Press, 2021)
Nasr Ḥāmid Abū Zayd, Isykāliyyāt al-Ta’wīl Qadīman wa Hadītsan, https://www.sudaress.com/hurriyat/111226