Sejarah Puasa dalam Tafsir Al-Qur`an

Mengapa harus ada kewajiban puasa Ramadhan? Secara teologis-ideologis, jawabannya adalah untuk menciptakan manusia-manusia bertakwa. Memang di ujung ayat puasa ada kata لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ sebagai jawaban, tetapi itu lebih sebagai jawaban tujuan puasa, bukan latar belakang kewajiban puasa itu sendiri. Jangan-jangan kalimat كَما كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ bisa memberikan jawaban. Semoga.

Dalam beberapa tafsir, sejarah puasa bisa dilacak pada penafsiran terhadap QS. Al-Baqarah/2: 183, terutama pada potongan ayat كَما كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ. Biasanya, pembahasan para penafsir seputar kewajiban puasa di masa lalu yang berkaitan dengan nabi-nabi hingga Nabi Adam as. Tampaknya, pembahasan sejarah terbatas kepada tradisi semitik dan tidak tentang tradisi puasa dalam agama-agama lain yang bukan termasuk semitik, seperti Hindu atau Budha. Ada kesan dari tafsir-tafsir tesebut bahwa puasa hanya menjadi penting bagi tradisi Semitik dan tidak bagi yang lain.

Bacaan Lainnya

Kesan bahwa puasa hanya penting bagi tradisi Semitik agak berubah pada tafsir-tafsir kontemporer seperti Tafsîr Al-Marâgî, karya Ahmad bin Musthafa Al-Maragi, seorang ulama Mesir yang meninggal 1952. Menurutnya, puasa pun penting bagi para penyembah berhala yang terbukti pada orang-orang kuno Mesir yang bermigrasi ke Yunani dan Romawi. Keturunan mereka hingga kini masih melaksanakan puasa (Ahmad bin Musthafa Al-Maragi, 1946: 68).

Kecurigaan para penafsir awal tentang relasi puasa Ramadhan dengan Yahudi dan Nasrani mungkin sangat beralasan karena merekalah yang tradisinya paling dekat dengan Islam. Jika Al-Maragi memperluas cakupannya menjadi kepada selain Yahudi dan Nasrani, maka itu lebih karena memang sejarah membuktikan bahwa puasa ada sudah sangat lama dan jauh sebelum tradisi Yahudi dan Nasrani. Namun keduanya belum memberikan jawaban tentang relasi, hanya tentang bukti kehadiran puasa sebelum Islam.

Arti bahasa dari puasa dalam bahasa Arab adalah berhenti karena cukup. Misalnya, “Saya berhenti dan tidak lagi melakukan ini dan itu.” Untuk puasa Ramadhan dan sejenisnya, yang dimaksud tidak melakukan ini dan itu adalah makan dan minum serta berhubungan suami-istri. Pada bulan Ramadhan, berlangsung selama bulan tersebut dan dilaksanakan dari terbit fajar hingga matahari tenggelam.

Kewajiban berpuasa tidak hanya berlaku untuk umat Islam, tetapi juga pernah diberlakukan oleh umat-umat sebelum Islam. Ada yang mengatakan bahwa umat-umat tersebut adalah Nasrani dan Yahudi atau Ahli Kitab. Penekanan Al-Qur`an tentang puasa yang juga wajib bagi umat-umat sebelum Islam adalah pengakuan bahwa puasa adalah ibadah yang sulit. Namun umat Islam yang merasa kesulitan berpuasa tidak perlu terlalu terbebani karena kewajiban yang sama juga pernah dialami oleh umat-umat sebelum Islam (Muhammad bin Umar Al-Razi, 2000: 239).

Bentuk puasa sebelum umat Islam tida satu macam. Ada yang mengatakan dengan bentuk yang sama seperti puasa Ramadhan. Ada yang mengatakan lebih lama dan ada pula yang mengatakan lebih singkat (Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, t.th.: 409-913). Umumnya, para penafsir menyebutkan bahwa yang dimaksud umat sebelum Islam adalah Nasrani. Sebuah catatan untuk puasa Ramadhan bagi Nasrani adalah jumlah harinya diubah-ubah sesuai keinginan raja yang berkuasa pada waktu itu. Pernah ada raja yang sakit dan bersumpah bahwa jika sembuh, puasa Ramadhan yagn seharusnya hanya 30 hari menjadi 40 hari karena ditambah 10 (Abd Al-Haqq bin Galib bin Abd Ar-Rahman bin Tamam bin Athiyah, 2001: 250).

Sebuah pendapat mengatakan bahwa puasa yang diwajibkan sebelum puasa Ramadhan adalah puasa tiga hari setiap bulan dan itulah yang dilakukan oleh Nabi tetapi tidak mewajibkannya bagi umat umat Islam (Muhammad bin Jarir Ath-Thabari: 414). Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa puasa Ramadhan itulah yang diwajibkan bagi umat-umat terdahulu. Pendapat lain mengatakan bahwa bentuk puasa sebelum puasa Ramadhan dilakukan bukan pada siang hari tetapi pada malam hari (Muhammad bin Jarir Ath-Thabari: 411).

Bahkan ada riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi Adam as telah mendapatkan syariat puasa yang menjadi sejarah hadirnya puasa sunnah Ayyamul Bidh yaitu puasa pada tanggal 13, 14, dan 15 setiap bulan. Ali bin Abi Thalib berkata bahwa ketika Nabi Adam as turun dari surga ke muka bumi, sinar matahari membakar kulitnya hingga menghitam. Lalu Malaikat Jibril as datang dan berkata: “Jika Anda mau kulit Anda kembali memutih, maka berpuasalah setiap bulan pada tanggal 13, 14, dan 15”. Nabi Adam as melaksanakan perintah itu lalu tubuhnya memutih sepertiga pada puasa pertama, sepertiga lagi pada puasa kedua, dan seluruhnya kembali putih setelah puasa ketiga (Ahmad bin Ibrahim Al-Tsa`labi, 2015: 403-404).

Seluruh pendapat tersebut di atas mengacu kepada teks ayat yang memang menyebutkan beberapa hal, seperti: sebagaimana juga diwajibkan (QS. Al-Baqarah/2: 183). Itu bisa berarti bagi umat sebelum umat Islam, puasa Ramadhan juga adalah kewajiban. Bahkan ada kata hari-hari tertentu di dalam QS. Al-Baqarah/2: 184, maka wajar jika ada kecurigaan bahwa hari-hari puasa yang diwajibkan kepada umat sebelum Islam pun ditentukan pada bulan Ramadhan.

Sebelum kewajiban puasa datang, Nabi Muhammad Saw mempraktikkan puasa Asyura, yaitu puasa yang dilakukan pada hari ke-10 bulan Muharram. Puasa ini dilakukan sebelumnya oleh orang-orang Yahudi sebagai peringatan atas selamatnya Nabi Musa as bersama kaum Yahudi dari kejaran Firaun (Yom Kippur, Hari Penebusan). Puasa ini pun disunnahkan oleh Nabi kepada umat Islam sebagai penghormatan kepada Nabi Musa as. Penegasan Sunnah puasa Asyura disampaikan dalam sebuah Hadis yang kurang lebih berbunyi: “Kita lebih layak menghormati Nabi Musa as daripada kaum Yahudi.” Ada kesan persaingan antara Islam dan Yahudi sebagai agama.

Mengutip Gitein, Kees Wagtendonk menegaskan adanya relasi yang sangat kuat antara turunnya Al-Qur`an dengan puasa Ramadhan. Ayat-ayat puasa juga menyebutkan turunnya Al-Qur`an pada bulan Ramadhan, yaitu QS. Al-Baqarah/2: 185 dan juga langsung dengan praktik puasa pada ayat yang sama. Hal ini mengundang pemahaman bahwa jangan-jangan latar belakang pewajiban puasa adalah turunnya Al-Qur`an, bukan Al-Qur`an itu sendiri. Bagi Kees Wagtendonk, hal itu berhubungan dengan Yahudi yang juga mengalami turunnya kembali Hukum Musa yang berkaitan dengan puasa pada Yom Kippur (Kees Wagtendonk, 2001: 182).

Jika Yahudi memiliki, Yom Kippur (Hari Penebusan), maka Islam memiliki Ayyâm Ma’dûdât (Hari-hari Tertentu). Persaingan yang melahirkan kewajiban ibadah puasa Ramadhan ini adalah episode lain dari persaingan yang melahirkan perpindahan arah kiblat sebagaimana terekam di dalam QS. Al-Baqarah/2: 144 dan 177

Secara umum, tafsir Al-Qur`an berbicara tentang puasa dalam dimensi hukum atau fiqh karena memang sangat kuat kesan fiqh di dalam ayat-ayat puasa QS. Al-Baqarah/2: 183-187. Pengecualian ayat 186 yang sama sekali tidak berbicara tentang puasa, tetapi tentang doa yang pasti dikabulkan. Karena itu, biasanya tafsir-tafsir mengikuti alur teks Al-Qur`an hingga penjelasannya juga cenderung kepada fiqh.

Abd Al-Karim Al-Qusyairi agak berbeda karena tidak terlalu fiqh, namun mulai menampakkan sisi sufistik dari puasa. Penjelasannya tentang puasa langsung membagi puasa menjadi dua macam, yaitu puasa lahiriah dan puasa batiniah. Definisi puasa batin adalah menjaga hati, jiwa, dan isi hati. Bahkan ketika sebuah Hadis yang biasanya dijadikan dalil rukyah untuk penetapan awal dan akhir Ramadhan, صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته, diartikan secara sufistik bahwa puasa dan berbuka itu karena (melihat) Allah SWT, bukan melihat hilal (Abd Al-Karim Al-Qusyairi, t.th.: 152.

Kesimpulannya, sejarah puasa Ramadhan bisa ditelusuri pada penafsiran كَما كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ tetapi dibutuhkan pengetahuan tentang sejarah turunnya ayat-ayat Al-Qur`an dan sejarah yang melingkupinya untuk benar-benar sampai kepada bagaima sesungguhnya sejarah puasa Ramadhan itu sendiri. Tulisan ini telah memaparkan dinamika penafsiran Al-Qur`an terhadap puasa Ramadhan dan uraian sederhana tentang sejarah yang melingkupinya, namun akurasi data yang ditawarkan masih perlu ditelaah lebih jauh.[]

Bahan Bacaan

Athiyah, Abd Al-Haqq bin Galib bin Abd Ar-Rahman bin Tamam bin (2001), Al-Muharrar Al-Wajîz fî Tafsîr Al-Kitâb Al’Azîz, Jilid 1, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah.

Al-Maragi, Ahmad bin Musthafa (1946), Tafsîr Al-Marâgî, Jilid 2, Kairo: Syirkah Maktabah wa Mathbaah Musthafa Al-Bani Al-Halbi wa Awladuh.

Al-Qusyairi, Abd Al-Karim (t.th.), Lathâ`if Al-Isyârât, Jilid 1, Kairo: Al-Haiah Al-Mishriyah Al-Aammah li Al-Kitab

Al-Razi, Muhammad bin Umar (2000), Mafâtîh Al-Gaib aw Al-Tafsîr Al-Kabîr, Jilid 5, Beirut: Dar Ihya Al-Turats Al-Arabi

Al-Thabari, Muhammad bin Jarir (t.th.), Jâmi’ Al-Bayân ‘an Ta`wîl Âyi Al-Qur`ân, Jilid 3, Makkah: Dar At-Tarbiyah.

Al-Tsa`labi, Ahmad bin Ibrahim (2015), Al-Kasyf wa Al-Bayân ‘an Tafsîr Al-Qur`ân Jilid 4, Makkah: Dar At-Tafsir

Wagtendonk Kees (2001), “Fasting” dalam Jane McAullife, Encyclopaedia of the Qur`an, Jilid 2, Leiden: Brill

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *