Umat Islam berhutang jasa besar kepada Abu al-Aswad al-Du`alî, salah satu Tâbi’în yang juga dikenal sebagai pencetus ilmu nahwu. Tanpa kerja kerasnya, niscaya umat Islam hingga saat ini akan kesulitan untuk membaca al-Qur’an. Berdasarkan dokumentasi sejarah al-Qur’an yang dilakukan oleh beberapa intelektual Muslim, ia merupakan orang pertama yang memberikan tanda titik pada al-Qur’an. (al-Qalqasyandî: 156) (al-Farmâwî: 59-65) (al-Dâlî: 55)
Upaya kodifikasi al-Qur’an yang terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar dan ‘Utsmân masih tidak memperhatikan detil-detil tertentu, seperti titik dan harakat. Pasca kodifikasi, umat Islam menulis ulang mushhaf dan menyebarkannya dengan kondisi tersebut selama lebih dari empat puluh tahun. (al-‘Awfî: 5)
Selama kurun waktu tersebut, wilayah kekuasaan Islam semakin meluas. Hal ini mengakibatkan banyaknya bangsa non-Arab (‘ajm) yang masuk Islam. Ekspansi ini ternyata juga berdampak pada banyaknya kekeliruan dalam cara membaca al-Qur’an, baik yang dilakukan oleh bangsa ‘ajm maupun bangsa Arab sendiri, lantaran pencampuran interaksi antara bangsa Arab dan ‘ajm. Karena mushhaf yang tersebar tidak memiliki tanda baca, penguasa Muslim merasa khawatir bahwa kekliruan dan penyimpangan akan terjadi padanya. (al-‘Awfî: 5)
Pemberian tanda titik dalam mushhaf terjadi pada masa Dinasti Bani Umayyah, tepatnya pada masa kepemimpinan Mu’âwiyah bin Abî Sufyân. Pada saat itu, Mu’âwiyah mengirim surat kepada Ziyâd, gubernur Bashrah pada masa itu, agar mengutus putranya, ‘Abîdullâh bin Ziyâd, untuk datang ke kerajaan. Pertemuan itu menyebabkan sang khalifah tercengang lantaran ‘Abîdullâh bin Ziyâd, seorang putra gubernur Bashrah, banyak mengalami kekeliruan tata bahasa ketika berkomunikasi dengan sang khalifah. (al-Qâdhî: 74-75)
Menanggapi kejadian itu, Mu’âwiyah segera mengirim surat kepada Ziyâd. Melalui surat itu, Mu’âwiyah menceritakan apa yang ia alami dan menyatakan kekecewaannya atas kejadian tersebut. Ziyâd yang mendapat teguran dari Mu’âwiyah melalui surat itu kemudian tidak tinggal diam. Ia lantas menemui Abu al-Aswad al-Du`alî dan memintanya untuk memberikan penanda dalam mushhaf agar lebih mudah membacanya. (al-Qâdhî: 74-75)
Ketika mendengar usulan dari Ziyâd, al-Du`alî tidak langsung menyetujuinya karena berbagai pertimbangan. Melihat respons dari al-Du`alî, Ziyâd menyusun sebuah skenario agar usulannya dapat diterima oleh al-Du`alî. Ia mengutus seseorang untuk berdiri di jalan yang biasa dilalui oleh al-Du`alî pulang seraya berpesan kepada orang tersebut. “Jika kamu melihat al- al-Du’alî lewat, bacalah keras-keras ‘innallâha barîun min al-musyrikîna wa rasûluh’ tapi dengan men-jarr-kan huruf lam pada lafaz rasûluh.” Pesan Ziyâd kepada utusannya. (al-Qâdhî: 74-75)
Utusan Ziyâd mengeksekusi skenario ini dengan baik. Saat al-Du`alî melintas di hadapannya, ia membaca dengan suara yang lantang ‘innallâha barîun min al-musyrikîna wa rasûlih’ sehingga al-Du`alî mendengarnya. al-Du`alî yang mendengar itu seketika menjadi resah. Dalam hati ia berkata, “tidak mungkin Allah berlepas diri dari rasul-Nya.” Hal ini membuatnya berubah pikiran untuk menerima usulan Mu’âwiyah. (al-Qâdhî: 74-75)
Pemberian tanda titik pada mushhaf yang al-Du`alî lakukan, untuk menunjukkan harakat dari huruf yang termaktub di dalamnya. Ia memberi tanda titik di atas huruf untuk menunjukkan harakat fathah. Tanda titik di bawah huruf untuk menunjukkan harakat kasrah. Tanda titik di depan huruf untuk menunjukkan harakat dhammah. Sementara untuk tanwîn, ditunujukkan dengan dua titik sesuai dengan posisi yang telah dijelaskan. (al-Qâdhî: 74-75)
Adapun pemberian titik untuk membedakan huruf-huruf dalam mushhaf, dilakukan oleh Yahya bin Ya’mar dan Nashr bin ‘Âshim. Keduanya mendapatkan mandat dari ‘Abd al-Malik bin Marwân, gubernur Iraq pada masa itu, untuk mengantisipasi kekeliruan dalam membacanya. (al-Qalqasyandî: 152-155) Yahya dan Nashr mendapat kepercayaan untuk melakukan hal ini lantaran mereka berdua dikenal sebagai pakar bahasa dan qirâ`at. (Syamsuddîn: 32)
Tanda baca – dalam hal ini adalah tanda titik – telah dikenal sejak zaman dahulu di kalangan orang Yahudi, Suryani, Akkadia, Aram, dan Nabath. Meskipun demikian, penggunaannya di kalangan Arab sebelum penulisan mushhaf sangat terbatas karena kurangnya kebutuhan akan hal tersebut. Bahkan, pengetahuan tentang tanda baca tetap dikenal setelah munculnya Islam di kalangan para Sahabat. (al-Farmâwî: 28-38)
Penemuan arkeologis telah mengonfirmasi hal ini. Sebuah dokumen berupa surat dari salah satu pekerja Amr bin al-‘Ash kepada Ahnâsah di Mesir, yang tercatat pada tahun 22 H, serta prasasti dekat Tha’if pada masa pemerintahan Mu’âwiyah bin Abî Sufyân, yang berasal dari tahun 58 H, menunjukkan penggunaan tanda baca di dalamnya. (al-Farmâwî: 28-38)
Setelah tanda titik digunakan untuk membedakan huruf-huruf yang ada di dalam mushhaf, umat Islam selanjutnya menuliskannya dengan tinta berwarna untuk membedakan antara titik sebagai penanda huruf dan penanda harakat. Ini berlangsung sampai berakhirnya Dinasti Umayyah dan awal berdirinya Dinasti ‘Abbasiyah pada 132 H. (al-Qalqasyandî: 82-85)
Upaya-upaya ini mengundang pro-kontra di antara umat Islam kala itu. Kelompok yang sepakat dengan pemberian tanda titik dalam mushhaf menganggap hal tersebut mengandung pemjelasan dan pengaturan dalam membacanya. Sementara kelompok yang tidak sepakat, menganggap perbuatan tersebut tidak dicontohkan para sahabat ketika mengumpulkan al-Qur’an dan menyebarkan mushhaf-nya. Menurut mereka, jika pemberian titik dalam mushhaf merupakan sesuatu yang penting, niscaya mereka tidak akan mengabaikannya. (al-‘Awfî: 5)
Dokumentasi sejarah perkembangan mushhaf yang dipaparkan oleh para intelektual Muslim di atas berhasil memberikan gambaran bahwa pada masa Dinasti Umayyah beberapa inovasi terhadap penulisan mushhaf terjadi, mulai dari pemberian tanda titik, baik sebagai harakat maupun pembeda huruf, hingga penggunaan warna dalam penulisannya agar lebih mudah terbaca.
Inovasi ini merupakan hasil kolaborasi antara kelompok penguasa dan intelektual Muslim pada masa itu. Keputusan Ziyâd mengutus al-Du`alî untuk memberikan penanda pada mushhaf setelah mendapat teguran dari khalifah Mu’âwiyah menunjukkan al-Qur’an memiliki peran yang sangat krusial sebagai medium pembelajaran bahasa Arab dalam kehidupan umat Muslim pada masa itu.
Pemantik dari munculnya gagasan memberikan penanda dalam mushhaf juga menarik untuk disoroti. Ide ini muncul dan dieksekusi dari kekecewaan khalifah Mu’âwiyah atas pertemuannya dengan putra Ziyâd, ‘Abîdullâh bin Ziyâd, yang banyak menunjukkan kesalahan tata bahasa ketika berkomunikasi dengan khalifah.
Dengan kata lain, gagasan pemberian tanda dalam mushhaf lahir dari masalah kelompok elit, yang dalam hal ini adalah ‘Abîdullâh bin Ziyâd, seorang putra gubernur Bashrah. Ini berbeda dengan pemicu kodifikasi al-Qur’an yang lahir dari kelompok akar rumput, di mana perang Yamamah menyebabkan banyaknya penghafal al-Qur’an menjadi syahîd. (al-Suyûthî: 203-208) (al-Zarkasyî: 233)
Perbedaan stimulus dari kedua hal yang tidak perenah dicontohkan oleh Nabi Muhammad ini memantik beberapa pertanyaan. Apakah pemberian tanda titik dalam mushhaf benar-benar untuk kepentingan umat Islam? atau apakah hal ini dilakukan untuk mengatasi permasalahan kelompok elit saja? yang kebetulan dampak positifnya juga dapat dirasakan oleh umat Islam secara luas.
Referensi:
al-‘Awfî, Muhammad Sâlim. Tathawwur Kitâbat al-Mushhaf al-Syarîf wa Thaba’atih. t.d.
al-Dâlî, ‘Abdul ‘Azîz. al-Khaththâthah (al-Kitâbah al-‘Arabiyyah). Mesir: Maktabah al-Khanjî. 1998.
al-Farmâwî, ‘Abdul al-Hayy. Qishshat al-Naqth fî al-Mushhaf al-Syarîf. Kairo: Mathb’ah Hasân. t.th.
al-Qâdhî, ‘Abdul Fattâh. Târîkh al-Mushhaf al-Syarîf. Kairo: Mathb’ah al-Husaynî. t.th.
al-Qalqasyandî, Abu al-‘Abbâs. Shabh al-A’Syâ fî Shinâ’at al-Insyâ Juz 3. Kairo: t.p. t.th.
al-Suyûthî, Jalâluddîn. al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’an Juz 1. Mesir: al-Hay`ah al-Mishriyyah. 1974.
al-Zarkasyî, Badrdudîn. al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’an Juz 1. Beirut: Dâr al-Ma’rifah. 1957.
Syamsuddîn, Abu al-‘Abbâs. Wafayât al-A’yân wa Anba` Abnâ` al-Zamân. Beirut: Dâr al-Tsaqâfah. t.th.