Memotret Konsep Kesalehan-Perempuan Persistri: Dari Teks Hingga Praktik

Menjalani proses perkenalan terhadap isu keagamaan, tentu menjadi hal menarik bagi seorang perempuan. Bukan tanpa alasan, kompleksitas kebutuhan materi keperempuanan dalam ranah keagamaanlah yang menjadikan ketertarikan tersebut semakin menguat. Dari mulai kegelisahan warna darah mana yang masuk dalam kriteria haid, hingga sejumlah pertanyaan tentang kemungkinan pemaknaan aurat secara kontekstual.  

Proses tersebut saya alami bersama sebuah Organisasi Masyarakat (Ormas) Islam bernama Persatuan Islam atau Persis. Di mana sebagai Ormas Islam, Persis memiliki Badan Otonom Perempuan dengan nama Persatuan Islam Istri (Persistri). Termasuk isu keperempuanan, yang nyatanya menjadi ranah khusus dari Persistri. Sebab itu, menjadi penting untuk ditelisik  bagaimana isu tersebut berkembang dalam tubuh Ormas Islam Persis, melalui kehadiran Persistri.

Di samping bermula dari kebutuhan pengetahuan, sampai identitas paham keagamaan, Persistri menawan pandangan dari segi keteguhan atas rujû ilâ al-Qur’ân wa al-Sunnah. Prinsip yang menjadi dinding pembatas gaya berpikir organisasi, termasuk  karakter gerakan  yang mereka jalankan. Prinsip ini juga tentunya menjadi isyarat gaya interpretasi yang Persistri gunakan. Interpretasi yang patut untuk dilihat konsistensi patron-patron di dalamnya. Patron yang bersemayam sebagai konsep berpikir, lalu berbuah dalam praktik gerakan organisasi dari masa awal hingga Persistri hari ini.

Belum lagi sebagai bagian dari Ormas Islam, keberadaan prinsip rujû ilâ al-Qur’ân wa al-Sunnah akan berpengaruh terhadap gagasan keperempuanan-keislaman Persistri, khususnya kesalehan-perempuan. Gagasan yang diletakan sebagai unsur fundamental bagi “standar” keagamaan seorang perempuan. Sebab itu, perlu untuk menyoroti kerangka interpretasi yang tersaji dalam aktivitas keorganisasian Persistri, sebagai arena yang harus dilalui untuk sampai pada pemahaman unsur fundamental tersebut.

Menyingkap Persistri dari 1936 hingga Hari ini

Persatuan Islam Istri atau akrab disebut dengan akronimnya Persistri, merupakan organisasi keagamaan perempuan yang berada di bawah organisasi induknya, Persis. Penggunaan diksi “istri” di sini dapat dipahami dalam dua sudut pandang. Pertama, secara khususnya yakni para istri dari anggota Persis sebagai individu yang mengisi Persistri masa awal pembentukan. Kedua, secara umum dalam bahasa Sunda—bahasa yang digunakan oleh masyarakat tempat di mana Persis dibentuk, “istri” artinya perempuan. Karenanya juga dipahami bahwa Persistri ialah kaum perempuan dari Persis.

Terdapat tiga faktor yang diindikasikan menjadi penyebab terbentuknya Persistri. Pertama, berkembangnya kegiatan organisasi perempuan di tanah air, maupun organisasi yang dibentuk oleh organisasi keagamaan (Lies M. Marcoes Natsir, 1993: 100) menjadi faktor lain yang memengaruhi pembentukan Persistri. Interaksi yang kental antara Persis dan Sarekat Islam (SI) juga turut andil di dalamnya. SI yang kala itu telah memiliki organisasi perempuan dengan nama Sarekat Siti Fatimah yang dibentuk pada 1918 di Garut, tentu berkelindan dengan rangsangan yang dialami para istri anggota Persis maupun masyarakat perempuan kala itu.

Faktor kedua, tantangan berat yang dihadapi oleh para perempuan Persis—sebelum terbentuk Persistri—yang mana respon keras datang dari masyarakat. Sikap dan pandangan ini juga berkaitan dengan cara Persis dalam memperkenalkan paham keagamaan yang mereka yakini. Termasuk dalam penggunaan tiung, tudung kepala atau kerudung yang lebih tertutup dari kebiasaan perempuan Muslim kala itu. Misalnya, reaksi yang dilancarkan kepada rumah salah satu anggota Persis, karena istrinya mengenakan kerudung ala Persis. Gaya penggunaan kerudung dengan tidak hanya sebuah selendang yang menutup kepala bagian atas, namun menutupi seluruh bagian kepala, leher hingga terulur ke dada (A. Hassan, 1989: 26-28).

Faktor ketiga, kiranya poin ketiga ini yang banyak dicantumkan dalam sejumlah literatur yang membahas Persistri. Yakni sebagai jawaban atas kegelisahan yang dialami oleh kaum laki-laki di Persis yang ragab atau kesulitan untuk masuk dalam pembahasan seputar keperempuanan. Sebut saja perihal cara memandikan jenazah perempuan, junub perempuan, membedakan darah haid maupun nifas dengan istihadzah, serta persoalan fikih perempuan lainnya. Persis merasa bahwa masalah keagamaan yang berdekatan dengan pengalaman biologis, tentu akan lebih kredibel ketika langsung diedukasikan kepada masyarakat oleh jenis kelamin yang juga mengalami pengalaman tersebut.

Fakta lain pun ditemukan, bahwa adanya indikasi kuat Persistri berasal dari kesadaran utuh para perempuan, bukan atas inisiasi kaum laki-laki di Persis. Dibentuknya Persis masa awal oleh kalangan laki-laki elite-terpelajar Palembang, menjadikan para istri mereka pun banyak berhubungan dengan wacana yang digaungkan suaminya. Itulah sebabnya, Persistri turut dibentuk dari keinginan yang dimiliki para perempuan pedagang dari Palembang.

Lantas Persistri hari ini, tentunya telah hadir dalam wujud yang tidak sepenuhnya serupa. Wujud yang berasal dari pertemuan gagasan Persistri dan kemajuan ilmu pengetahuan, kecanggihan teknologi, hingga perubahan gaya hidup masyarakat. Satu bukti pertemuan tersebut, nampak dalam arsip Persistri yang berisi agenda keorganisasian. Sebut saja, Persistri yang anggotanya berusia minimal 35 tahun, dipaksa untuk beradaptasi dengan aktivitas serba digital. Pastinya bukan hal yang mudah untuk dijalankan.

Dari Kacamata Resepsi Qur’ani Menuju Keagensian

            Integrasi konsep resepsi eksegesis milik Ahmad Rafiq, serta teori keagensian Saba Mahmood dipilih sebagai sarana untuk memetakan konsep kesalehan-perempuan Persistri. Diksi “pemetaan” dipilih, karena konsep tersebut belum hadir secara baku dalam bangunan organisasi Persistri. lagi-lagi, melalui indikasi kepemilikan atas prinsip rujû ilâ al-Qur’ân wa al-Sunnah, rasa optimis tersebut muncul. Optimis bahwa Persistri melandaskan konsepsi kesalehan-perempuannya di atas nilai maupun asas berupa Al-Qur’an dan Hadis Nabi.

            Melihat bangunan suatu organisasi, niscaya harus juga menyusun arsip demi arsip yang mereka simpan. Arsip yang tidak sebatas wujud fisik lembaran kertas, namun hari ini juga termasuk siaran video bahkan audio di media digital. Sama halnya dengan Persistri—yang telah disinggung di atas—yang telah masuk ke dunia serba digital secara aktivitas, menjadi penting untuk turut menyertakan arsip di media tentang wajah Persistri.

            Proses integrasi tersebut mengarah kepada kecondongan Persistri yang nyaman dalam jenis transmisi diskursif, di samping masuk dalam kategori resepsi eksegesis. Pola transmisi yang mana adanya keyakinan akan nilai yang sama, namun terjadi penyesuaian implementasi pada tiap generasinya. Salah satu contohnya seperti Persistri dalam perannya bagi anak-anak yatim. Di masa awalnya, Persistri berpegang kepada QS. al-Baqarah/2:220. Lebih tepatnya pada kalimat قُلْ إِصْلاَحٌ لَهُمْ خَيْرٌ “katakanlah, memperbaiki keadaan mereka adalah baik!”.

            Upaya memperbaiki keadaan anak yatim di sini, ternyata dijalankan dalam medium yang berbeda. Di masa awal, Persistri dengan tegas menyatakan ketidaksetujuan mereka atas keberadaan bangunan “Rumah Yatim”. Ungkap Maryam—Ketua Persistri Pertama, hal itu justru membuat mereka terasingkan, jelas tidak menjadi representasi perbaikan keadaan, malah membuat mereka semakin menderita. Maryam kala itu lebih memilih gagasan untuk menjadikan rumah pribadi tiap-tiap anggota Persistri sebagai rumah bagi anak yatim (Majalah Risalah, Juli 1966: 18-19). Dalam satu atap, berisi satu anak yatim untuk memberikan mereka kehidupan yang lebih layak, utamanya nuansa kekeluargaan dan muatan kasih sayang.

            Gagasan ini masih dipilih oleh Persistri hari ini. Hal yang membedakan, Persistri nampak meminimalisir resiko dengan mengubah haluan. Wujud perbaikan dalam masa ini, dengan melakukan sinergi bersama Bidang Tarbiyah dalam Gerakan Ar-Ruhama. Gerakan yang menyasar para anak yatim melalui beasiswa pendidikan hingga jenjang Perguruan Tinggi.

            Selain menjadi contoh aplikasi resepsi Qur’ani yang dijalankan Persistri, turut serta menunjukan model keagensian yang tumbuh sejak tahun 1936. Model keagensian, yang tidak dimaksudkan sebagai pencarian atas nilai kebebasan (Saba Mahmood, 2005:2), namun justru usaha untuk merealisasikan nilai teladan profetik. Apabila menggunakan lanjutan dari kajian Saba Mahmood, akan muncul nama Kelsy C. Burke. Ia menyatakan model keagensian tersebut dengan istilah Compliant (Kelsy C. Burke, 2012: 127-128). Sebutan bagi jenis keagensian yang memandang kualitas keimanan bukan ditunaikan untuk diri sendiri, akan tetapi semata bagi keagungan Tuhan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *