Apakah Al-Mauḍū’ī Adalah Metodologi Paling Komprehensif dalam Tafsir Feminis?

Penamaan tafsir al-mauḍū’īmerujuk kepada metodologi yang digunakan oleh sang penafsir dalam menyusun tafsirnya, yakni dengan metode tematik. Adapun jika melihat kepada jenis tafsir yang diklasifikasikan oleh al-Zahabi (w. 1977 M), terdapat lima jenis tafsir, yakni; al-tafsīr bi al-ma’tsūr, al-tafsīr bi al-ra’y/al-tafsīr al‘aqlī, al-tafsīr al-mauḍū’ī, al-tafsīr al-isyārī, dan al-tafsīr al-‘ilmī (al-Zahabi, 1977: 40).

Pembagian ini dirumuskan oleh al-Zahabi berdasarkan pada penyelidikan terhadap karya-karya tafsir yang telah ada pada masing-masing zamannya, terkait dengan metodologi yang digunakan dan arah penafsirannya. Sementara menurut Samir ‘Abd al-Rahman Risywani, melihat kepada klasifikasi yang lebih spesifik terkait manhaj/metodologi tafsir, terdapat empat jenis metode tafsir yang dikenal secara umum, yakni; talīlī, ijmālī, muqāran, dan mauḍū’ī(Risywani, 2009: 47).

Bacaan Lainnya

Baik tipologisasi yang dilakukan oleh al-Zahabi maupun Risywani, al-mauḍū’ī yang dimaksud sama-sama merupakan jenis penafsiran dengan mengedepankan pesan kesatuan makna dalam satu tema tertentu dalam Al-Qur’an. Makna kata “al-mauḍū’ī”diambil dari akar kata Bahasa Arab “waḍa’a”, yaitu sebuah materi yang menunjukkan tempat absolut membuat sesuatu berada di tempat (Abd al-Sattar Fath Allah Sa’id, t.th.: 20).  

Menurut mayoritas ulama tafsir, kata “al-mauḍū’ī” secara terminologi diartikan sebagai suatu permasalahan yang memiliki banyak metode dan tempat di dalam Al-Qur’an, akan tetapi memiliki satu aspek yang menyatukannya, yaitu satu makna atau satu tujuan. Maka istilah tafsir al-mauḍū’ī adalah sebuah ilmu yang membahas tentang berbagai persoalan di dalam Al-Qur’an yang mempunyai kesatuan makna atau tujuan, dengan cara mengumpulkan ayat-ayat yang tersebar, lalu mengkajinya dengan bentuk dan syarat-syarat tertentu untuk memperjelas makna, mengekstraksi unsur-unsurnya, dan menghubungkannya secara komprehensif (‘Abd al-Sattar Fath Allah Sa’id, t.th.: 20).

Terkait model pengaplikasiannya, tafsir ini mempunyai beberapa jalan atau cara, tergantung “tematis” seperti apa yang diinginkan oleh sang penulis tafsir/mufasir. Dalam Dirāsāt fî al-Tafsīr al-Mauḍū’ī li Al-Qur’ān al-Karīm karya Zahir ibn ‘Awad, disebutkan terdapat dua bentuk dari susunan tafsir tematik. Pertama yaitu menjadikan satu surah dalam Al-Qur’an dengan mempunyai satu kesatuan makna yang sama dan satu tujuan. (Zahir ibn ‘Awad, 2007: 25).

Adapun jalan kedua yaitu dengan mengumpulkan seluruh ayat-ayat Al-Qur’an yang sekiranya mempunyai satu tujuan yang sama, tidak lagi terbatas dalam satu surah saja. Adapun cara kedua ini yang banyak ditempuh dalam menghadirkan tafsir al-mauḍū’ī atau tematik dalam bidang penelitian ilmiah yang berkembang hingga abad sekarang (Zahir ibn ‘Awad, 2007: 25).

Corak penafsiran feminis yang berkembang secara masif pada era kontemporer ini menjadi salah satu penafsiran yang kerap menggunakan metode al-mauḍū’ī. Menarik untuk melihat apakah al-mauḍū’ī adalah metodologi paling komprehensif dalam tafsir feminis sehingga cukup mudah ditemukan penggunaannya dalam karya-karya feminis yang mencoba menafsirkan al-Qur’an ataukah ada motif tertentu di balik pengaplikasiannya? Maka apa yang ingin dikaji lebih lanjut dalam tulisan ini berfokus pada metodologi al-mauḍū’ī yang digunakan oleh penafsir feminis.

Metode al-Mauḍū’ī pada Tafsir Feminis

            Pada awal abad ke-20, gerakan feminisme Muslim telah berada pada level praktis di berbagai belahan dunia Muslim, yang selanjutnya pada akhir abad tersebut juga mengalami perkembangan pada level teoretis. Pada level ini pula para feminisme Muslim masuk pada perdebatan ranah akademik terkait penafsiran ayat Al-Qur’an (maupun hadis Nabi dalam skala yang lebih luas) yang menyangkut isu keperempuanan (Saeed, 2014: 42).

            Prinsip fundamental dari penafsiran feminis adalah meyakini bahwa Al-Qur’an sebagai “Kalam Tuhan” mempunyai pesan universal akan kesetaraan (egaliter) antara laki-laki dan perempuan. Maka terhadap penafsiran Al-Qur’an yang (sekalipun ayat-ayat Al-Qur’an secara redaksional itu sendiri) tidak sejalan dengan prinsip tersebut, akan dilakukan upaya dekonstruksi dan rekonstruksi penafsiran demi tercapainya pemaknaan yang egaliter. Atas dasar ini, hingga saat ini banyak ditemukan penafsiran-penafsiran yang disusun secara tematik ayat terkait isu keperempuanan dari berbagai feminisme Muslim.

              Kusmana, seorang Guru Besar Ilmu Tafsir dari UIN Syarif Hidayatullah, menyebutkan bahwa karya tafsir feminis ini tergolong kepada tafsir tematik non-mainstream yang hadir sebagai bagian dari perkembangan tafsir di era modern atau kontemporer (Kusmana, 2022: 12). Sementara pendapat lain datang dari Abdul Mustaqim, seorang Guru Besar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, menyebutkan bahwa tafsir feminis tidaklah menggunakan metodologi tematik (al-mauḍū’ī), akan tetapi para feminis cenderung mengambil begitu saja ayat-ayat yang ingin ditafsirkan agar sesuai dengan prinsip kesetaraan gender (Mustaqim, 2010: 70).  

            Berdasarkan jenisnya, tafsir feminis dapat dianggap sebagai tafsir tematik karena dibangun berdasarkan tema tertentu dengan menghimpun ayat-ayat yang memiliki tujuan yang serupa, paling tidak menurut perspektif feminis tersebut. Namun, hal ini menimbulkan kontroversi, karena prinsip “tujuan yang sama” tersebut dianggap tidak memiliki landasan yang kuat seperti prinsip metodologi tematik yang telah ada sebelumnya, contohnya seperti yang digagas oleh al-Farmawi (w. 2017 M) yang memiliki struktur sistematika yang jelas sebagai pondasi metodologi tafsir tematik.

            Salah satu model pembacaan tafsir feminis dalam menghasilkan tafsir tematiknya ialah sebagaimana yang diterapkan oleh Asma Barlas dan Amina Wadud, yakni model pembacaan intratekstual (intratextual reading). Model pembacaan ini sama halnya dengan prinsip penafsiran yang telah diterapkan oleh mufasir klasik, yang dikenal dengan tafsīr Al-Qur’ān bi Al-Qur’ān. Akan tetapi justru mendapatkan kritikan dari berbagai kesarjanaan Muslim era modern yang menganggap bahwa penafsiran dari mufasir klasik tersebut terkesan atomistis dan tidak komprehensif, sehingga cenderung menghasilkan penafsiran yang mendeskriminasikan perempuan (Hidayatullah, 2014: 87). 

Pembacaan intratekstual ini terinspirasi dari metodologi yang digagas oleh Fazlur Rahman (w. 1988 M). Menurut Rahman, Al-Qur’an harus dipelajari sedemikian rupa, agar pesan kesatuan makna konkretnya dapat dipahami secara komprehensif. Maka Barlas dan Wadud menawarkan model pembacaan intratekstual sebagai upaya dalam membaca pesan Al-Qur’an secara utuh/cohesive outlook (Kusmana, 2022: 23).

Salah satu contoh pengaplikasian model pembacaan intratekstual ini misalnya terkait perdebatan penciptaan laki-laki dan perempuan. Dalam menafsirkan Q.S. al-Nisā’/4: 1, dengan masih mengutip pendapat Rahman, Barlas sepakat bahwa Al-Qur’an tidak mendukung adanya dualisme gender yang mengarah pada adanya kedudukan mana yang lebih tinggi dan yang lebih rendah. Alih-alih perbedaan, term “nafs” dan “zauj” yang terdapat dalam penggalan ayat tersebut justru menegaskan keserupaan, yakni berasal dari diri yang satu dan sama-sama merupakan pasangan (Barlas, 2005: 240).

Barlas kemudian mengumpulkan sejumlah ayat berbeda yang menginformasikan tentang diciptakannya laki-laki dan perempuan dari diri yang satu dan saling tak terpisahkan sebagai pasangan: Q.S. 6: 98, Q.S. 7: 189, Q.S. 16: 72, Q.S. 30: 21, Q.S 49: 13, Q.S. 53: 45, Q.S 75: 39, Q.S. 78: 8, Q.S. 50: 7, dan Q.S. 51: 49 (Barlas, 2005: 241).

Keserupaan penciptaan yang disebutkan dalam berbagai ayat di atas sebagai isyarat bahwa hubungan laki-laki dan perempuan adalah hubungan timbal balik yang setara, tanpa adanya hierarki. Kemudian Barlas juga menguatkan argumennya dengan menyebutkan ayat-ayat yang menginformasikan kesetaraan di luar tema penciptaan, seperti: Q.S. 92: 15-17 terkait tidak adanya perbedaan ganjaran berdasarkan jenis kelamin; Q.S. 92: 18-20 terkait kebaikan yang disebutkan secara netral dari perbedaan jenis kelamin; Q.S. 33: 35 tentang kemampuan yang sama dalam ketakwaan; Q.S. 9: 71-72 terkait pasangan sebagai auliyā’, serta beberapa ayat lainnya (Barlas, 2005: 246-259).

Serangakaian model pembacaan intratekstual yang dilakukan oleh Barlas di atas menghasilkan satu pesan yang diyakini terintegral sebagai bagian dari Kalam Tuhan, yaitu pesan akan kesetaraan (egaliter). Maka tidak ada indikasi bahwa laki-laki lebih superior dibandingkan perempuan dalam hubungan sesama manusia, termasuk dalam urusan pernikahan dan seksualitas. Pesan yang ditemukan justru mutualitas.

  Namun model pembacaan ini mendapatkan kritikan dari kesarjanaan Muslim lainnya, salah satunya dari Kecia Ali. Menurutnya, apa yang dilakukan oleh Barlas hanya berupaya mendamaikan antar ayat dengan mengabaikan beberapa data informasi penting dari sejumlah ayat tersebut. Misalnya Q.S. 2: 223, dalam redaksinya dapat ditemukan bahwa yang diajak berbicara ialah kaum laki-laki, sementara yang dibicarakan ialah kaum perempuan.

“Istrimu adalah ladang bagimu. Maka, datangilah ladangmu itu (bercampurlah dengan benar dan wajar) kapan dan bagaimana yang kamu sukai…” (Q.S. 2: 223)

Dalam diskusi lebih lanjut, Ali menekankan bahwa dalam redaksi ayat tersebut tidak disebutkan pesan akan mutualitas, melainkan adanya ketentuan yang bersifat hierarkis dan androsentris dalam mengatur urusan pernikahan dan seksualitas. Inilah salah satu fakta yang dapat ditemukan dalam Al-Qur’an dan seharusnya tidak diabaikan atau dihilangkan begitu saja hanya karena “memaksakan” prinsip egaliterianisme (Kusmana, 2022: 39).

Kritikan yang disampaikan oleh Ali dapat dipahami karena baginya, penafsiran harus mempertimbangkan segala aspek, termasuk setiap redaksi atau teks yang ada. Tidak dapat dipungkiri bahwa memang ayat-ayat di dalam Al-Qur’an terbagi kepada dua tipologi. Di satu sisi menyampaikan pesan kesetaraan gender, namun di sisi lainnya justru menampilkan adanya perbedaan tersebut secara eksplisit.

Apa yang dilakukan oleh tafsir feminis cenderung memukul rata dua tipologi ayat ini menjadi satu, yaitu pesan egaliter. Metodologi tematik (al-mauḍū’ī) yang semulanya diharapkan dapat menghasilkan penafsiran yang komprehensif dan objektif, justru memberi kesan subjektivitas yang sangat tinggi dalam tafsir feminis, khususnya melalui model pembacaan intratekstual ini. Ayat-ayat yang dikolektifkan (setidaknya yang dianggap setema oleh para feminis) tidak dibiarkan berbicara apa adanya sebagaimana prinsip dari tafsir tematik itu sendiri, sehigga tidak menampilkan cohesive outlook pesan Al-Qur’an.  

Referensi

‘Awad, Zahir ibn. Dirâsât fî al-Tafsîr al-Maudhû’î li Al-Qur’ân al-Karîm. Riyad, t.p., 2007.

Barlas, Asma. Cara Qur’an Membebaskan Perempuan. Terj. R. Cecep Lukman Yasin, Believing Women in Islam. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2005.

Hidayatullah, Aysha A. Feminist Edges of the Qur’an. New York: Oxford University Press, 2014. 

Kusmana. “Maksud Tuhan dalam Penafsiran Manusia: Dinamika Pembacaan Al-Qur’an Feminis”. Orasi Ilmiah. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2022.

Mustaqim, Abdul. Epistemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: LKiS, 2010.

Risywani, Samir ‘Abd al-Rahman. Manhaj al-Tafsîr al-Maudhû’î li Al-Qur’ân al-Karîm, Suriah: Dâr al-Multaqâ, 2009.

Sa’id, ‘Abd al-Sattar Fath Allah. al-Madkhal ilâ al-Tafsîr al-Maudhû’i.  Kairo: Dâr al-Tauzî’ wa al-Nasyr al-Islâmiyah, t.th.

Saeed, Abdullah. Reading the Qur’an in the Twenty-First Century: A Contextualist Approach. London and New York: Routledge, 2014.

Zahabi, Muhammad Husain. ‘Ilm al-Tafsîr. Mesir: Dâr al-Ma’ârif, 1977.  

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *