Dualitas Narasi Gender dalam Tafsir Negara

Kementerian Agama telah lama menjadi penggerak utama dalam penafsiran Al-Qur’an di Indonesia, menghasilkan berbagai jenis karya tafsir sejak tahun 1975. Tradisi ini mencakup Tafsir Al-Qur’an dan Tafsirnya, Tafsir Al-Qur’an Tematik, Tafsir Ilmi, dan Tafsir Wajîz. Tujuan utama dari produksi tafsir-tafsir ini adalah untuk mendukung pembangunan dalam bidang keagamaan, khususnya Islam, dengan menyediakan pemahaman yang lebih mendalam tentang teks Al-Qur’an (Tim Departemen Agama RI, 2009: xvii).

Salah satu contoh yang menonjol adalah “Tafsir Al-Qur’an Tematik” yang fokus pada isu-isu kontemporer seperti peran dan kedudukan perempuan dalam masyarakat. Meskipun dikonstruksi melalui tujuan yang positif, tafsir semacam itu juga menerima kritik, terutama dari kalangan akademisi yang menyoroti adanya bias gender dalam interpretasi yang dihasilkan.

Bacaan Lainnya

Kritik terhadap Tafsir Al-Qur’an Tematik yang dikemukakan oleh peneliti seperti Faiq Ainurrofiq (2020) dan Akhmad Supriadi (2022) menyoroti peran pemerintah dalam membentuk pandangan keagamaan melalui tafsir tersebut. Mereka menegaskan bahwa karya semacam itu cenderung mencerminkan sudut pandang yang tidak netral terhadap isu-isu gender.

Oleh karena itu, penelitian yang dilakukan untuk memahami epistemologi di balik tafsir tersebut menjadi penting. Melalui pemahaman lebih dalam tentang epistemologi yang digunakan, kita dapat mengetahui bagaimana penafsir mengarahkan dan membentuk makna dari teks Al-Qur’an, serta bagaimana hal ini memengaruhi interpretasi terhadap isu-isu sosial dan gender dalam masyarakat.

Epistemologi Tafsir Al-Qur’an Tematik seri Kedudukan dan Peran Perempuan

 Dalam konteks epistemologi tafsir, perhatian tertuju pada tiga aspek utama: sumber-sumber yang digunakan dalam proses penafsiran, metodologi yang diterapkan, dan uji kebenaran atau validasi atas hasil penafsiran tersebut. Namun, fokus penelitian ini terbatas pada pemahaman hakikat tafsir itu sendiri, khususnya dalam hal sumber dan metodologi yang diterapkan oleh Kementerian Agama dalam tafsir tematik yang sedang diteliti. Validasi terhadap kebenaran penafsiran tersebut bukanlah tujuan penelitian saat ini.

Dalam mengkaji metodologi, tafsir tersebut menggunakan pendekatan tematis (al-mauḍū’ī), sesuai dengan jenis dan nama tafsirnya. Proses penafsiran dimulai dengan menetapkan tema tertentu dan mengumpulkan ayat-ayat yang relevan dengan tema tersebut (Tim Departemen Agama RI, 2009: xxx).

Sementara itu, dalam penggunaan sumber rujukan, tafsir ini menggabungkan berbagai teks keagamaan seperti hadis, pandangan ulama fikih dari berbagai mazhab, serta pendapat ulama tafsir klasik dan modern, serta ayat-ayat Al-Qur’an itu sendiri. Selain itu, analisis kebahasaan juga mengandalkan referensi dari kamus-kamus bahasa, termasuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan sejumlah kamus bahasa Arab.

Lebih lanjut, dengan merujuk pada konstruksi epistemologi Islam yang diperkenalkan oleh Muhammad ‘Abid al-Jabiri (w. 2010), penafsiran ini dapat dipahami melalui tiga tipologi epistemologi Islam, yaitu bayan, ‘irfān, dan burhān. Pendekatan ini memungkinkan untuk melacak indikator-indikator dari ketiga tipologi tersebut dalam Tafsir Al-Qur’an Tematik, memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang landasan epistemologis dari penafsiran tersebut.

Dalam penafsiran subtema “Kepemimpinan Perempuan,” terdapat fokus pada penggunaan sumber-sumber tafsir yang terbatas. Penafsiran tersebut hanya mengandalkan satu rujukan dari karya Ali al-Shabuni (w. 2021), Ṣafwah al-Tafâsir, yang merupakan tafsir modern. Mayoritas sumber utama yang digunakan adalah ayat-ayat Al-Qur’an itu sendiri dan sebagian besar dari hadis Nabi SAW.

Misalnya, dalam menggambarkan kepemimpinan perempuan berdasarkan kisah Ratu Balqis, penulis tafsir menyoroti kegagalan kepemimpinan perempuan yang tidak mampu membangun negeri berdasarkan keimanan, mengaitkannya dengan ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi SAW.

Meskipun ada perdebatan tentang interpretasi hadis yang dikutip, penulis tafsir tetap mengambil kesimpulan bahwa perempuan tidak layak menjadi pemimpin, dengan argumentasi bahwa tanggung jawab pemimpin sangatlah berat (Tim Departemen Agama RI, 2009: 71).

Selanjutnya, penulis tafsir menggunakan dalil-dalil tambahan dari hadis tentang tanggung jawab berat seorang pemimpin, serta ayat Al-Qur’an yang menekankan kebutuhan akan pemimpin yang memiliki pengetahuan dan kekuatan fisik.

Penalaran yang digunakan dalam penafsiran ini lebih mengutamakan analisis teks, sesuai dengan tipologi al-Jabiri, yang mencakup dalam model penalaran bayān. Hal ini menunjukkan pendekatan yang kuat pada teks-teks agama dalam membangun argumentasi terkait kepemimpinan perempuan, yang menjadi fokus utama dari penafsiran tersebut.

Dalam subtema lainnya, “Kesaksian Perempuan,” terdapat model penalaran yang berbeda, yaitu burhān, yang menonjolkan penafsiran yang lebih rinci dengan menyajikan pandangan dari berbagai mazhab fikih. Penafsiran ini menggabungkan pendekatan fikih perbandingan (muqâran) dengan pandangan ulama tafsir klasik dan modern (Tim Departemen Agama RI, 2009: 278-280).

Misalnya, penulis tafsir menyoroti Surah al-Baqarah/2: 282 tentang persaksian, menyajikan interpretasi yang kontekstual, mengaitkannya dengan kasus harta (utang-piutang) bukan persaksian di pengadilan. Sumber rujukan yang digunakan berasal dari ulama modern seperti Muhammad Abduh (w. 1905) dan Muhammad Syaltut (w. 1963), yang mengklarifikasi konteks ayat tersebut, termasuk pernyataan kontroversial tentang kelemahan perempuan dalam akal atau daya ingat.

Dalam pembahasan subtema ini, penulis tafsir juga mengulas dalil-dalil yang berkaitan dengan persaksian perempuan dalam konteks lain, seperti qishāsh, pembunuhan, pernikahan, dan pelukaan (jarḥ). Setiap aspek ini dijelaskan dengan sumber rujukan yang memadai, menunjukkan bahwa anggapan tentang kelemahan atau kurangnya akal perempuan tidaklah beralasan.

Pembahasan subtema ini ditutup dengan mengacu pada Surah al-Hujurat/49:13 untuk menegaskan kesetaraan derajat antara perempuan dan laki-laki, kecuali dalam hal keketakwaan. Ini menunjukkan pendekatan yang cermat dan inklusif dalam menafsirkan ayat-ayat terkait perempuan dalam konteks fikih dan sosial.

Tafsir Negara dalam Tipologi Tafsir Feminis

Untuk menentukan posisi Kementerian Agama dalam merespon isu-isu gender yang terdapat di dalam tafsirnya, penulis menggunakan tipologi tafsir feminis yang direkonstruksi oleh Kusmana, tafsir feminis yang mencerminkan nilai-nilai egaliter Al-Qur’an atau tafsir feminis yang mempertahankan kepercayaan pada nilai-nilai Androsentris dalam pesan Tuhan. Tipologi tafsir feminis yang dipetakan oleh Kusmana ini didasarkan pada dua klasifikasi yang awalnya dikonstruksi oleh Hadia Mubarak dan Aysha A. Hidayatullah (Kusmana, 2022).

Penafsiran Al-Qur’an mengalami perubahan dari pendekatan tekstual menjadi kontekstual, terutama dengan munculnya beragam pendekatan dalam penafsiran feminis. Tafsir feminis, yang dikatakan oleh Kusmana sebagai tafsir non-mainstream yang membuka suara alternatif terhadap Al-Qur’an, menjadi salah satu wujud dari penafsiran kontekstual ini.

Penafsir feminis seperti Asma Barlas, Aysha A. Hidayatullah, dan Nashr Hamid Abu Zayd, dengan serius mengkaji isu-isu gender dalam Al-Qur’an, mencoba menggali maksud Tuhan dalam teks suci tersebut. Perbedaan model penafsiran terhadap ayat-ayat gender menyoroti kompleksitas Al-Qur’an yang pada satu sisi menggambarkan kesetaraan gender, tetapi pada sisi lainnya juga terdapat redaksi yang mendukung ketidaksetaraan gender.

Penafsir feminis yang mengadopsi konsep egalitarianisme Al-Qur’an beranggapan bahwa Al-Qur’an mengandung nilai-nilai egaliter, menentang penafsiran patriarkis yang mengaburkan pesan sesungguhnya dan menafikan eksistensi Tuhan Yang Maha Esa (Barlas, 2005: 38). Mereka memperkuat argumen bahwa penafsiran patriarkis berasal dari pandangan bias penafsir laki-laki. Model pembacaan egaliter menekankan pada tiga jenis metode: historis kontekstual, intratekstual, dan tauhîdî (Kusmana, 2022: 17).

Tipologi kedua dalam respon para penafsir feminis terhadap ayat-ayat gender dalam Al-Qur’an adalah pandangan yang menekankan sisi androsentrik Al-Qur’an. Menurut Kusmana, pendekatan ini bertujuan untuk menggali makna dan fungsi ayat-ayat sesuai dengan konteks saat wahyu diturunkan di masyarakat Arab pada abad ketujuh. Dalam tipologi ini, terdapat dua model yang dikembangkan oleh Kusmana berdasarkan klasifikasi Hidayatullah dan Mubarak: pembacaan skripturalis dan kritis (Kusmana, 2022: 30)

Setelah membaca respon Kementerian Agama, yang diwakili oleh para tim penyusun tafsir yang sedang diteliti, pandangan mereka terhadap isu-isu gender dalam Al-Qur’an dapat dikelompokkan menjadi dua tipologi besar seperti yang disebutkan oleh Kusmana, yaitu tafsir feminis-egalitarianisme dan tafsir feminis-androsentrisme.

Sampel penafsiran pada subtema “Kepemimpinan Perempuan” diidentifikasi sebagai bentuk dari model penafsiran feminis-androsentrisme, khususnya dengan model pembacaan skripturalis. Salah satu indikator yang mencirikan pembacaan skripturalis ialah penafsiran dengan menggunakan teks-teks keagamaan yang berada pada masa Nabi, Al-Qur’an dan hadis, sebagai penguat argumentasinya.

Sementara subtema “Kesaksian Perempuan” tergolong kepada tafsir feminis-egaliterianisme, dengan model pembacaan historis kontekstual. Pembacaan model historis kontekstual menitikberatkan pada asbâb al-nuzûl sebagai salah satu indikator utama, memungkinkan penafsir untuk memahami ayat sesuai dengan konteks turunnya, dan kemudian mengekstrak nilai-nilai yang relevan untuk disesuaikan dengan konteks kekinian.

Catatan Akhir

Munculnya tuduhan bias gender terhadap Tafsir Al-Qur’an Tematik seri Kedudukan dan Peran Perempuan yang diproduksi di bawah pemerintah ini dapat dijelaskan sebagai hasil konstruksi melalui sistem penalaran bayān, yang mana sangat terpaku pada teks-teks keagamaan, dengan fungsi rasio yang hanya sebatas membenarkan teks tersebut.

Meskipun demikian, tafsir tematis ini tidak dapat secara langsung digeneralisir sebagai tafsir yang bias gender. Dalam konteks ini, setidaknya terdapat satu sampel penafsiran lain yang menunjukkan hal yang sebaliknya, yang mana dapat dipahami sebagai penafsiran yang dikonstruksi melalui penalarana burhān dan menghasilkan penafsiran yang responsif terhadap isu gender.

Hal ini menunjukkan bahwa epistemologi penafsiran yang berbeda dapat menghasilkan produk penafsiran yang berbeda pula. Model penalaran bayān yang diterapkan pada penafsiran ayat-ayat yang berkaitan dengan isu gender mengantarkan penafsir pada tipologi tafsir feminis-androsentrisme. Sementara model penalaran burhān cenderung menghasilkan penafsiran feminis-egaliterianisme.

Hal ini dapat dimengerti karena tafsir ini disusun oleh sekelompok orang yang bekerja dalam sebuah tim, di mana metodologi yang digunakan belum diterapkan secara konsisten dalam setiap subtema tafsir. Metodologi tafsîr al-maudhû’î, yang dianggap dapat menghasilkan pembacaan yang komprehensif, sebaliknya memberikan ruang subjektivitas yang tinggi bagi masing-masing penulis untuk mengekspresikan pandangan dan memilih ayat-ayat Al-Qur’an yang mendukung argumentasi mereka.

Oleh karena itu, peninjauan ulang terhadap penerapan metodologi ini menjadi salah satu rekomendasi dari penulis, agar tafsir yang dihasilkan sejalan dengan tujuan utama dihadirkannya tafsir ini. Dalam konteks ini ialah untuk meningkatkan pemberdayaan perempuan melalui pemahaman keagamaan.

Bahan Bacaan

 Ainurrofiq, Faiq, et al. “Interpretation of Gender Bias in QS. al-Taubah/9 verse 71: Critical Review of Tafsir Al-Qur’an Tematik The Ministry of Religion Affairs Republic of Indonesia”, Religia (2020): Vol. 23, Iss. 2.

Barlas, Asma. Cara Al-Qur’an Membebaskan Perempuan, diterjemahkan oleh R. Cecep Lukman Yasin dari judul Believing Women in Islam. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2005.   

Jabiri, Muhammad ‘Abid, Formasi Nalar Arab, diterjemahkan Imam Khoiri dari judul Takwîn al-‘Aql al-‘Arâb, Jogjakarta: IRCiSoD, 2014.

Kusmana. Maksud Tuhan dalam Penafsiran Manusia: Dinamika Pembacaan Al-Qur’an Feminis. Jakarta: Orasi Ilmiah, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2022.

Supriadi, Akhmad. “Negara, Tafsir dan Seksualitas: Konstruksi Maskulinitas dan Relasi Kuasa dalam Tafsir Al-Qur’an Tematik dan Tafsir Ilmi Kementerian Agama Republik Indonesia”. Disertasi. Yogyakarta: Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2022.

Tim Departemen Agama RI. Tafsir Al-Qur’an Tematik seri Kedudukan dan Peran Perempuan, Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2009.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *