Rijāl dan Qawwām Sebagi Konstruk Sosial: Menelisik Penafsiran Abū Ḥayyān  Al-Andalusi dalam Tafsir Al-Baḥr Al-Muḥîṭ

Mengenal Abū Ḥayyān  Al-Andalusi

Abū Ḥayyān Al-Andalusi merupakan salah satu dari banyaknya ulama tafsir yang memiliki pandangan berbeda mengenai penafsiran QS. Al-Nisā/4: 34. Jika umumnya penafsiran ulama klasik dianggap mendiskreditkan perempuan karena tidak melibatkan pengalaman perempuan dalam proses interpretasi, maka berbeda halnya dengan ulama tafsir asal Granada, Andalusia ini yang lahir pada tahun 1254 M / 654 H (Restu & Andi, 2022: 92).

Bacaan Lainnya

Sosok Abū Ḥayyān dikenal luas ilmuwan muslim yang menguasai ilmu Nahwu (Atho’, 2023: 3), dan merupakan guru Tafsir di Qubbah Al-Malik Al-Mansur pada masa Raja Al-Nashir.  Abū Ḥayyān banyak menulis karya dalam bidang kebahasaan, di antaranya Al-Tazkirah, I’rāb Al-Qur’ān, Al-Syadza fî Mas’alati Kadza dan lain-lain. Selain itu, salah satu karya monumental Abū Ḥayyān dalam  bidang Tafsir adalah kitabnya Al-Baḥr Al-Muḥîṭ yang bercorak kebahasaan.

Al-Baḥr Al-Muḥîṭ ditulis pada tahun 710 H dan terdiri dari 8 jilid, dan dicetak pertama kali di Mesir. Dalam tafsirnya Abū Ḥayyān banyak mengemukakan, bahkan memperdebatkan perbedaan pendapat di kalangan ahli Nahwu sehingga tafsir ini lebih dekat ke bahasan Nahwu dibandingkan Tafsir. Di samping bercorak bahasa, tafsir ini juga menggunakan pendekatan Ilmu Fikih dan banyak menggunakan riwayat sebagai penjelasan (Nur, 2022).

Meskipun menggunakan riwayat dalam tafsirnya, Al-Baḥr Al-Muḥîṭ tidak serta merta tergolong ke tafsîr bi al-matsūr. Karena Abū Ḥayyān juga menjelaskan I’rāb ayat secara rinci dengan menggunakan akal sebagai metode pembacaan untuk memahami makna Al-Qur’an sehingga tafsir ini boleh disebut tafsîr bi al-ra’yî. Selain itu, Abū Ḥayyān banyak mengutip penafsiran Al-Zamaksyari dan Ibn Atiyah dalam penulisan tafsirnya (Faisol, 2011: 76).

Harus diakui bahwa mayoritas ulama  menginterpretasikan QS. Al-Nisā/4: 34 dengan lebih mempertimbangkan teks daripada konteks ayat sehingga dominasi kaum laki-laki semakin kuat dan mendapatkan legitimasi teologisnya. Hal ini bertentangan dengan semangat egalitarianisme Al-Qur’an sebagaimana QS. Al-Hujurat/49:13. Kajian kebahasaan mendalam oleh Abū Ḥayyān mampu menyingkap makna berbeda sebagaimana mufasir lainnya.

Tekstualitas QS. Al-Nisā/4: 34

QS. Al-Nisā/4: 34 merupakan salah satu ayat yang menjadi objek kajian gender perspektif Islam. Hal ini disebabkan mayoritas mufasir meyakini ayat ini merupakan salah satu legitimasi tentang kesuperioritasan laki-laki dan perempuan sebagai makhluk subordinatif. Pandangan yang serupa kemudian dituangkan kedalam fatwa-fatwa hukum sebagaimana adanya di dalam kitab-kitab Fikih.

اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ …

Rijāl adalah Qawwām atas para Perempuan” (QS. Al-Nisā/4: 34).

Berdasarkan pada QS. Al-Nisā/4: 34 mayoritas mufasir meyakini bahwa posisi laki-laki dan perempuan dalam sebuah relasi merupakan pemberian dari Allah Swt., yang bersifat kodrati dan mutlak. Para mufasir juga menggunakan ayat lain untuk mendukung pendapatnya yakni QS. Al-Baqarah/2: 228. Belakangan pandangan ini dianggap tidak relevan dan merusak citra Islam yang menjunjung tinggi kesetaraan sebagai usaha untuk melahirkan keadilan.

Sementara itu, persamaan status keagamaan perempuan dan laki-laki sebagaimana status sosialnya diakui oleh Al-Qur’an sebagaimana dalam QS. Al-Aḥzāb/33: 35. Oleh karena itu, penting melihat penafsiran lain mengenai QS. Al-Nisā/4: 34 agar tidak memberikan kesan saling bertentangan antara ayat-ayat Al-Qur’an dan menjadi salah satu langkah untuk mengompromikan ayat-ayat Al-Qur’an.

              Menurut Abū Ḥayyān, mengetahui konteks yang  melingkupi teks merupakan suatu hal penting dalam penafsiran begitupun dengan QS. Al-Nisā/4: 34. Diriwayatkan oleh Ibn Abi Hatim dari Hasan ia berkata, “Seorang Wanita mendatangi Rasulullah Saw., untuk mengadukan suaminya yang telah menamparnya, maka Rasulullah Saw., bersabda, ‘bagi suami qișas,’ lalu Allah Swt., menurunkan firmannya ‘Arrijālu qawwāmūna alā an-nisā (As-Suyuthi, 2001: 75).

              Al-Zamakhsyari dalam Tafsir Al-Kasysyāf (1987: 506 Jilid I) menuliskan tentang asbab al-nuzūl ayat ini bahwa melalui riwayat dari Zaid bin Rabi’ bahwasanya ada seorang pemuka kaum Ansar yang diumpat oleh istrinya yang bernama Habibah binti Zaid bin Zuhair kemudian suaminya menamparnya. Habibah tidak menerima diperlakukan demikian dari suaminya sehingga ia mengeluh ke ayahnya yang bernama Zaid bin Zuhair.

              Zaid  mengadukan kasus anaknya ke Rasulullah yang telah mengawinkan Habibah binti Zaid Bersama laki-laki pemuka kaum Ansar. Mendengar hal tersebut Rasulullah menganjurkan Habibah untuk membalasnya (meng-qișaș) suaminya dan turunlah QS. Al-Nisā/4: 34 sehingga Rasulullah membatalkan perintahnya seraya mengatakan, “Aku menginginkan sesuatu, namun Allah Swt., menginginkan yang lain, kehendak Allah Swt., jauh lebih baik.”

              Berdasarkan riwayat di atas kita mengetahui bahwa tindakan suami yang memukul istrinya telah menjadi tradisi saat itu. Sehingga Rasulullah mendesak mereka agar tidak bertindak kasar dan memukul istri-isti mereka. Fahkruddin Ar-Razi dalam tafsirnya Mafātiḥ Al-Gaib mengenai tafsiran QS. Al-Nisā/4: 34 juga memberikan penjelasan yang panjang terkait situasi saat ayat tersebut turun.

              Umar bin Khattab menyebutkan, “Bahwa suami-suami di masyarakat Quraisy mampu menguasai istri-istrinya, namun setelah tiba di Madinah kami mendapatkan bahwa istri-istrilah yang menguasai suami-suami mereka. Setelah istri kami bergaul dengan mereka, istri kami juga mulai berani menentang suami, sehingga Nabi pun mengizinkan para suami untuk memukul istrinya. Akhirnya sekelompok perempuan mengelilingi rumah istri-istri nabi.’

              ‘semua mengadukan perlakuan suami mereka terhadap diri mereka. Nabi berkata bahwa pada malam hari pernah ada 70 perempuan yang mengelilingi rumah istri-istrinya untuk mengadukan perlakukan suami-suami mereka, kalian tidak mendapati yang terbaik di antara mereka.” Maksudnya adalah suami yang telah memukul istrinya tidaklah lebih baik dibanding suami yang tidak memukul istrinya (Fahkruddin Ar-Razi, 1999, Jilid I: 505-507).

              Menelisik ilustrasi yang dideskripsikan oleh Al-Razi maka dapat dikatakan bahwa struktur sosial Masyarakat Makkah mengikuti sistem patriarkal sedangkan di Madinah sistem matriarkal lebih medominasi, meskipun secara keseluruhan sistem patriarkal  mendominasi di Arab. Paling tidak ayat-ayat Al-Qur’an yang turun  pada saat itu tidak dapat mengabaikan kondisi semacam itu.

Rijāl dan Qawwām Sebagi Konstruk Sosial

Sikap Rasulullah yang cenderung ingin menerapkan qișaș yakni balasan yang setimpal terhadap suami yang memukul istrinya mengindikasikan bahwa sebenarnya Rasulullah ingin mengubah sistem patriarkal sebagaimana perkataannya “Aku menginginkan sesuatu …,” akan tetapi Allah Swt., berkehendak lain. Lantas bagaimana pengertian ayat tersebut menurut Abū Ḥayyān Al-Andalusi?

               Kata qawwām adalah atribut yang digunakan untuk menegaskan status rijāl. Kata qawwām merupakan khabar sedangkan kata rijāl merupakan mubtadā’ yang dijelaskan oleh term qawwām. Dalam struktur ayat ini terdapat jumlah yang muqaddarah (tersembunyi) yang bunyinya sebagai berikut (Abū Ḥayyān , 1999, Jilid III: 622):

الرخال قوامون على النساء إن كانو رجالا

Rijāl adalah qawwām bagi nisā jika mereka rijālan.

              Abū Ḥayyān juga mengutip puisi Arab yang berbunyi:

أكل ارئ تحسبن امرأ و نار توقد بالليل نار

Apakah kalian mengira bahwa setip orang itu adalah benar-benar orang dan api yang dinyalakan malam hari itu adalah benar-benar api.

              Abū Ḥayyān  menegaskan bahwa seseorang yang dalam Bahasa Arab disebut dengan umru’un atau al-mar’u bisa saja bukan orang tetapi sesuatu atau benda yang dianggap orang, begitupun nyala api di malam hari bisa saja bukan api, namun benda yang kebetulan menyala dan dianggap api. Jadi al-mar’u dan dan al-nār merupakan  lafaz yang mengacu pada objek tertentu melalui sebuah asosiasi seseorang terhadap objek yang dilihat.

              Asosiasi atau mediasi pikiran dalam proses penamaan suatu benda tidak dapat terpisahkan dengan konteks yang melingkupi dirinya. Analisis semacam inilah yang digunakan Abū Ḥayyān  dalam menafsirkan term rijāl yakni orang yang memiliki ketangguhan tidak semata-mata sebagai orang yang memiliki jenggot karena banyak orang yang berjenggot, namun tidak bisa memberi manfaat, menangkal mudharat dan tidak memiliki kehormatan (Abū Ḥayyān , 1999, Jilid III: 622).

Abū Ḥayyān  tampak memberikan perbedaan antara jenis kelamin dan ciri fisik. Jenggot merupakan ciri fisik yang  lazim dimiliki oleh laki-laki. Namun, tidak setiap orang yang berjenggot dapat disebut rajul. Sifat ke-rajul-an dapat dimiliki oleh siapapun selama ia memiliki ketangguhan dan keunggulan atas yang lain bisa berupa kekuatan, ketangguhan dan kecerdasan.

Dapat dikatakan bahwa rajul mengacu pada pemaknaan sosial-kultural yang berimplikasi bahwa konsep qawwām dapat berlaku untuk semua jenis kelamin sehingga seseorang akan menjadi rajul jika ia menjadi qawwām di tengah keluarganya. Al-Qur’an mengabadikan potret keperkasaan perempuan yang bernama Ratu Balqis yang merupakan fakta bahwa perempuan pun bisa jauh lebih unggul.

Demikian Al-Qur’an memberikan kelebihan tertentu kepada laki-laki atas perempuan pada konteks ayat QS. Al-Nisā/4: 34 karena konteks sosial yang didominasi oleh sistem patriarki. Al-Qur’an juga menjelaskan bahwa kelebihan yang diberikan tidak melekat pada diri laki-laki dan kelemahan itu tidak melekat pada diri perempuan. Oleh karena itu, masalah kelebihan yang menjadi syarat ke-qawwām-an bukan berupa kelebihan jenis kelamin.

Daftar Pustaka

Putra, Restu Ashari & Andi Malaka. (2022). Manhaj Tafsir Al-Bahr Al-Muhit, Jurnal Iman dan Spiritualitas, 2 (1), h. 92.

Atho’, M. dkk. (2023). Implikasi Ayat Kursi Menurut Abū Ḥayyān  Al-Andalusi dalam Kitab Al-Bahr Al-Muhit fi Al-Tafsir, Relinesia: Jurnal Kajian Agama dan Multikulturalisme Indonesia, 2 (2), h. 3.

Faisol, M. (2011). Hermeneutika Gender Perempuan dalam Tafsir Bahr Al-Muhith, Malang: UIN Maliki Press.

Rochmawati, Nur Anis. (2022). Mengenal Abū Ḥayyān  Al-Andalusi dan Tafsir Al-Bahr Al-Muhit, Tanwir.ID https://tanwir.id/mengenal-abu-hayyan-al-andalusi-dan-tafsir-al-bahr-al-muhith/

Asy-Suyuthi. (2001). Asbāb Al-Nuzūl, Kairo: Dār Al-Faj li Al-Turāși.

Al-Zamakhsyari. (1987). Tafsîr Al-Kasysyāf, Kairo: Dār Al-Rayyān li Al-Turāși.

Ar-Razi, Fahkruddin. (1999). Mafātîh Al-Gaibi, Jilid I, Beirut: Dār Iḥyā Al-Turāș Al-‘Arabî.

Hayyan, Abu. (1999). Al-Bar Al-Muḥîṭ fî Al-Tafsîr, Jilid III, Beirut: Al-Fikr.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *