Editorial Spesial Ramadhan: Membaca Q.S. al-Baqarah [2]: 183 dalam Karya-Karya Tafsir Klasik (Edisi al-Kasyf wa al-Bayān ‘an Tafsīr al-Qur’ān)

Edisi kedua dari seri editorial Ramadhan kali ini akan mengkaji karya tafsir fenomenal, al-Kasyf wa al-Bayān ‘an Tafsīr al-Qur’ān yang ditulis oleh Abu Ishaq al-Tsa’labi (w. 427 H). Salah satu karya tafsir yang menjadi landmark dalam sejarah literatur karya-karya tafsir klasik. Tafsir ini lahir di abad kelima atau terpaut sekitar satu abad setelah Jāmi’ al-Bayān fī Ta’wīl āy al-Qur’ān karya Ibn Jarir al-Thabari (w. 310 H). Maka akan sangat menarik untuk membaca narasi eksegesis yang dikonstruksi oleh al-Tsa’labi terhadap Q.S. al-Baqarah (2): 183 dan melacak apa saja yang tetap dan berubah jika merujuk pada informasi-informasi interpretasi yang sebelumnya telah dihimpun dari penafsiran Ibn Jarir dalam Jāmi’ al-Bayān.


Ya ayyuhaā alladzīna āmanū dan Tafsir Para “Sufi”

Bacaan Lainnya

Perbedaan sub judul atau bahasan dalam tulisan ini dengan tulisan sebelumnya yang membahas Jāmi’ al-Bayān, bukan tanpa sebab. Al-Tsa’labi tidak memberikan perhatian yang khusus sehingga merasa perlu untuk memberikan komentar tambahan yang memberikan pemahaman terhadap redaksi ya ayyuhaā alladzīna āmanū. Dalam mengurai fragmen awal dari ayat ini, Q.S. al-Baqarah (2): 183, al-Tsa’labi membukanya dengan menukil pendapat para “sufi”.

Pendapat pertama dikutip dari al-Hasan (saya cukup meyakini yang dimaksud ialah al-Hasan al-Bashri). Ia mengatakan bahwa ketika seorang hamba mendengar lafaz ya ayyuhaā alladzīna āmanū, maka ia harus mengondisikan pendengarannya sebab di dalam ayat yang memuat redaksi tersebut, selalu ada perintah maupun larangan yang disampaikan oleh Tuhan. Pendapat kedua datang dari Ja’far al-Shadiq. Dengan nuansa kebatinan yang begitu tinggi, ia menyatakan bahwa kata (wahai) dalam frasa seruan (al-nidā’) yang menjadi pembuka Q.S. al-Baqarah (2); 183 merupakan kenikmatan yang dapat menghilangkan letih dan penatnya dalam menjalankan ibadah. Ladzdzah al-yā’ fī al-nidā’ azāla ta’b al-‘ibādah wa al-‘inā’. Keduanya memperlihatkan sikap batin ketika membaca al-Qur’an.

Kedekatan al-Tsa’labi terhadap narasi-narasi yang bersumber dari para “sufi” dan memiliki intensitas nuansa spiritual menjadi bagian yang menarik ketika membaca penafsirannya. Dalam kasus ini, al-Tsa’labi terlihat konsisten pada statemen dalam muqaddimah-nya yang memberikan informasi bahwa salah satu hal yang menjadi fokusnya dalam menafsirkan al-Qur’an ialah menghadirkan al-ikam wa al-isyārāt (hikmah-hikmah dan isyarat—kebatinan). Maka menjadi sesuatu yang niscaya apabila ia kemudian membawa argumentasi sufistik dalam penafsirannya.

Pemahaman Puasa Secara Etimologis

Sebagaimana al-Thabari, al-Tsa’labi juga memberikan uraian etimologis pada redaksi kutiba ‘alaikum al-shiyām. Bahkan, ada beberapa hal yang serupa dengan narasi eksegesis al-Thabari yang dapat dijumpai. Pertama, menginversi term kutiba dengan furidha dan menambahkan term wājib sebagai ta’kīd atau penekanan. Kedua, mengurai term shiyām dengan mencari format akar katanya, mashdar, dan menginformasikan makna bahasanya. Walaupun keduanya memiliki perbedaan dalam menentukan makna etimologis dari term shaum. Ibn Jarir berpendapat bahwa al-shaum bermakna al-kaff, dan al-Tsa’labi lebih memilih al-imsāk, akan tetapi implikasi pemaknaannya tetap sama.

Ketiga menjelaskan asal-usul di balik konsensus makna imsāk sebagai makna lugawī dari term shiyām. Seperti halnya membawa narasi shāmat al-khail idzā waqa’at wa amsakat ‘an al-sair (kuda itu dikatakan tertahan, “berpuasa”, tatkala tidak bisa atau tertahan dari berjalan). Meskipun ada beberapa kalimat lain yang dibawanya untuk menjelaskan bahwa makna puasa adalah imsāk. Dalam hal ini, Ibn Jarir yang memilih al-kaff, membawa redaksi: idzā kaffat ‘an al-sair. Jika ditelisik, perbedaan ini disebabkan adanya perbedaan preferensi dan bukan perbedaan sumber rujukan yang diambil oleh masing-masing mufasir. Baik Ibn Jarir maupun al-Tsa’labi sama-sama menukil syair Jahili yang dibawa oleh al-Nabigah al-Dzibyani, yang merupakan sastrawan pra-Islam yang populer karena menjadi salah satu penulis yang syairnya dipamerkan di muallaqāt (Abbas Abd al-Satir, Dīwān al-Nābigah al-Dzibyānī, 1997: h. 3-7).

Keempat, membawa penggalan Q.S. al-Maryam: 26, innī nadzartu li al-rahmān shaumā, untuk menegaskan bahwa makna shaum pada ayat tersebut ialah imsāk ‘an al-kalām (menahan berbicara), sehingga semakin kuat argumentasi bahwa term shaum secara etimologis bermakna imsāk. Al-Tsa’labi kemudian menutup diskusi dengan memberikan definisi terminologis puasa yaitu al-imsāk ‘an al-mu’tād min al-tha’ām wa al-syarāb wa al-jimā’ (menahan dari hal-hal yang lumrah (dikerjakan) seperti mengonsumsi makanan dan minuman serta melakukan hubungan seks).

Pada diskursus ini, baik Ibn Jarir di abad keempat maupun al-Tsa’labi di abad kelima, sama-sama memiliki perhatian yang intens dalam mengeksposisi makna semantik dari salah satu kata kunci dalam ayat. Secara metodologis, pada dua abad tersebut proses pengkajian aspek kebahasaan tampak terstruktur secara sistematis. Mulai dari menentukan struktur kelas kata hingga sampai dengan kesimpulan makna semantiknya, dengan menggunakan berbagai dalīl untuk menunjukkan bahwa hasil analisisnya memiliki landasan yang kuat. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa pendekatan bahasa memiliki posisi penting pada dua karya tafsir di dua masa awal di abad pertengahan tersebut.

Siapa Kaum Terdahulu?

Pada tema pembahasan ini, secara umum al-Tsa’labi membawa narasi tradisi yang serupa dengan yang telah didokumentasikan oleh Ibn Jarir. Pada konteks argumentasi yang sama dengan Ibn Jarir, al-Tsa’labi menuliskannya berdasarkan dua sumber tradisi yang dikutipnya. Salah satu dari sumber tersebut merupakan sumber yang sama dengan sumber yang dibawa oleh Ibn Jarir, yaitu berasal dari al-Sya’bi. Sumber tradisi yang lain berasal dari al-Hasan (sepertinya yang dimaksud Hasan al-Bashri—sebagaimana pada pembahasan pertama tulisan ini) serta sejumlah ulama’ lainnya.

Sebenarnya dari sumber tradisi yang kedua yang diambil oleh al-Tsa’labi, informasi yang didapatkan sama halnya dengan dengan riwayat al-Suddi dalam Jāmi’ al-Bayān. Khususnya pernyataan bahwa yang dimaksud dengan alladzīna min qablinā ialah Nashrani.Namun hal yang membedakan ialah adanya keterangan yang lebih detail mengenai proses “bid’ah” yang dilakukan oleh umat Nashrani. Keterangan tersebut menjelaskan bahwa pada mulanya jumlah bilangan puasa umat Nashrani itu bertambah menjadi 40, karena adanya tambahan 10 hari sebagai bentuk kaffārah mereka setelah mereka memindahkan waktu pelaksanaannya dari bulan Ramadhan menuju musim antara, di antara musim dingin dan musim panas.

Jumlah tersebut tidak langsung bertambah menjadi 50 hari, namun sebelumnya terjadi suatu kasus sehingga penambahan awalnya tidak langsung 10 hari melainkan 7 hari, menjadi 47. Kasus yang dimaksud berkaitan dengan raja yang memimpin mereka kala itu. Pada suatu waktu, sang raja mengalami sakit pada mulutnya sehingga merasa tersiksa dan sampai bernadzar apabila sakitnya sembuh, maka ia akan menambah bilangan puasa sebanyak seminggu. Lalu ia pun sembuh dan menunaikan nadzarnya, sehingga saat itu umat Nashrani harus menjalani puasa selama 47 hari. Raja itu kemudian meninggal dan digantikan oleh raja lainnya, dan tanpa ada alasan yang jelas kemudian memerintahkan agar puasa digenapi pelaksanaannya selama 50 hari.

Selain membawa narasi historis yang sama dengan Ibn Jarir, bahkan ada kesamaan dari sisi pengambilan sumbernya, al-Tsa’labi memiliki narasi lain yang tidak dijumpai dalam Jāmi’ al-Bayān. Ia mendokumentasikan dua riwayat yang bersumber dari Ali ibn Abi Thalib ra. mengenai sejarah puasa yang dipraktikkan umat Islam sebelum datangnya syariat puasa Ramadhan. Pada tradisi pertama, digambarkan adanya dialog yang terjadi antara Nabi Muhammad, Ali ibn Abi Thalib dan Jibril. Dalam percakapan tersebut kemudian dibahas bahwa ada ritual khusus yang diberikan kepada Ali ra. dan memiliki ganjaran kebaikan sangat besar. Ritual liturgis tersebut kemudian dilisensi oleh Nabi saw. untuk diamalkan secara umum dan yang dimaksud ialah puasa ayyām al-bīdh atau puasa di tanggal 13, 14, 15 setiap bulannya.

Pada riwayat kedua, terjadi dialog antara Ali ibn Abi Thalib dengan ‘Antarah berkenaan dengan rasionalisasi di balik nama ayyām al-bīdh. Lalu Ali ra. menjawab bahwa penamaan itu berkaitan dengan peristiwa turunnya Adam as. dari surga ke muka bumi. Saat peristiwa itu terjadi, kulit Adam as. terbakar matahari dan menjadi gelap. Maka kemudian ia pun berkeinginan untuk puasa tiga hari. Maka turunlah Jibril dan bertanya kepada Adam as. soal keinginannya untuk mengembalikan warna kulitnya. Maka Adam as. pun mengiyakan dan diperintahkan untuk berpuasa pada tanggal 13, 14, 15 di bulan tersebut. Maka hari demi hari, warna kulitnya kembali cerah seperti semula, maka itulah yang menjadi alasan di balik penamaan ayyām al-bīdh.

Pasca menuliskan dua riwayat dari Ali ibn Abi Thalib ra., al-Tsa’labi kemudian mengutip pendapat para mufasir yang memiliki keterkaitan dengan narasi historis sebelumnya. Para mufasir berpendapat bahwa ada dua puasa yang telah diwajibkan oleh Allah sebelum datangnya syariat puasa Ramadhan dan kewajibannya itu dimulai pada saat umat Islam menginjakkan kakinya di Madinah hingga sampai turunnya syariat puasa Ramadhan. Dua puasa yang dimaksud ialah puasa ‘Asyura dan ayyām al-bīdh. Jika dibaca secara seksama, tidak ada narasi “pilihan” yang menunjukkan preferensi al-Tsa’labi dalam diskusi ini. Tidak seperti Ibn Jarir yang mendukung pandangan bahwa yang dimaksud alladzīna min qablinā ialah al al-kitāb.

Meskipun kisah-kisah ini “tidak cukup menarik” bagi pembaca saat ini, namun upaya al-Tsa’labi untuk memberikan narasi kisah yang lengkap memberikan indikasi bahwa kelengkapan narasi tradisi bisa jadi menjadi sebuah barometer dalam menilai kualitas suatu tafsir pada saat itu. Seakan seperti menunjukkan bahwa ia memiliki materi arkeologi sejarah yang lebih kaya, sehingga karya tafsirnya lebih otoritatif dari yang lain. Hipotesis ini lahir karena ada statemen al-Tsa’labi dalam muqaddimah-nya yang “menyerang” Ibn Jarir karena dianggap terlalu sesak informasi sehingga bisa menyebabkan misleading terhadap materi-materi yang dimuat (izdiâm al-‘ulûm madhillah li al-fuhûm). Jadi apa yang “memaksa” al-Tsa’labi sehingga harus menghunuskan tuduhannya itu pada dirinya sendiri?

La’allakum Tattaqūn

Sama halnya dengan Ibn Jarir di abad keempat, al-Tsa’labi yang merupakan mufasir abad kelima pun tidak memberikan perhatian yang cukup terhadap frasa ini. Ia hanya menulis: la’allakum tattaqūn: li kay tattaqū al-akl wa al-syurb wa al-jimā’ (supaya kamu menjaga dirimu dari makan, minum dan berhubungan seks). Tidak ada uraian kebahasaan, pencantuman tradisi atau apapun selain hanya eksposis ringkas yang dijadikan sebagai interpretasi al-Tsa’labi terhadap bagian akhir ayat ini.

Terakhir, saya ingin mengulas bahwa dari pembacaan terhadap dua karya tafsir ini, Jāmi’ al-Bayān dan al-Kasyf wa al-Bayān, ada dua tema yang selalu mendapat perhatian intens mufassir. Tema pertama yaitu mengenai makna etimologis al-shaum, yang berhasil memperlihatkan upaya para mufasir dalam mengaplikasikan pendekatan dan mengeksplorasi aspek kebahasaan sehingga memperlihatkan kesan sentralitas analisis linguistik. Lalu tema “kaum terdahulu atau sebelumnya” yang justru memberikan kesan sentralitas aplikasi tradisi yang begitu dominan. Lantas apakah hal yang sama akan dijumpai pada karya tafsir selanjutnya?

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *