Asma Barlas, seorang pemikir kontemporer terkemuka asal Pakistan, telah menarik perhatian global dengan dedikasinya dalam kajian gender, terutama dalam konteks dunia Islam. Salah satu karya monumentalnya nan eksentrik ialah Believing Women in Islam (2003), di mana ia secara mendalam membahas argumentasi tentang keharusan pembacaan Al-Qur’an secara egaliter.
Karya ini tidak hanya mencerminkan keahlian akademisnya, tetapi juga menjadi salah satu tonggak dalam arus perdebatan intelektual tentang Islam dan gender. Dalam pandangannya, Barlas membawa nuansa baru untuk menafsirkan teks suci (Al-Qur’an) yang selama ini dianggap patriarkis, membuka pintu bagi wacana yang lebih inklusif dan menyeluruh.
Dalam usahanya untuk mereinterpretasi Al-Qur’an, Asma Barlas memperkenalkan model pembacaan yang dikenal sebagai metode “tauḥīdī” atau paradigma tauhidik. Konsep ini telah menarik perhatian banyak akademisi, termasuk Hadia Mubarak, yang secara mendalam mempelajari pendekatan Barlas. Menurut Mubarak (2021: 321), Barlas menganggap model pembacaan tauḥīdī bukan sekadar upaya untuk menyampaikan interpretasi alternatif, tetapi juga merupakan sebuah langkah penting dalam pembangunan epistemologi yang anti-patriarki di dalam Al-Qur’an.
Model ini menekankan pada konsep singularitas Tuhan (Tuhan Yang Maha Esa), sebagai landasan utama. Dengan fokus pada konsep tauḥīd (keesaan Tuhan), Barlas berusaha untuk mengonstruksi kerangka interpretatif yang membebaskan teks dari interpretasi yang dipengaruhi oleh nilai-nilai patriarki yang mungkin telah menyusup ke dalam pemahaman tradisional. Dalam prosesnya, ia menyoroti dimensi kesatuan dan keadilan dalam ajaran Al-Qur’an, yang sering kali terabaikan dalam tradisi penafsiran yang lebih konvensional.
Dalam usahanya untuk menerapkan konsep egaliter-tauḥīdī, Asma Barlas memberikan serangkaian argumentasi mendalam dengan melakukan penegasan terhadap ontologi Tuhan. Salah satu konsekuensi yang muncul dari konsep Tuhan Yang Satu adalah desakralisasi Nabi, yang menjadi salah satu titik penting dalam pandangan Barlas.
Dalam konteks ini, desakralisasi Nabi menjadi suatu konsekuensi logis bagi Barlas, karena menempatkan kesatuan Tuhan sebagai fokus utama memungkinkan penghapusan hierarki dan pengagungan yang berlebihan terhadap figur-figur lain, termasuk Nabi dengan figurnya sebagai seorang laki-laki dan pemimpin. Untuk memahami hal ini, perlu dipahami terlebih dahulu konsep tauḥīdī secara lebih lanjut.
Konsep Egaliterianisme-Tauḥīdī
Para penafsir feminis mengadopsi paradigma tauhidik dari konsep fundamental Islam, yaitu tauhid, yang menegaskan bahwa tidak ada yang bisa campur tangan atau memiliki otoritas selain Tuhan sebagai satu-satunya penguasa mutlak. Mereka, seperti Barlas dan Wadud, menekankan bahwa semua ciptaan hanya berada di bawah Sang Pencipta dalam tingkatan yang sama rendah, yang menandakan bahwa satu-satunya Yang Maha Tinggi adalah Tuhan. Hal ini juga mengimplikasikan bahwa Al-Qur’an sebagai Kalam Tuhan menjadi satu-satunya pedoman umat Islam dan sumber utama otoritas keagamaan (Hidayatullah, 2014: 110).
Prinsip ini menghasilkan konsekuensi bahwa sumber-sumber keagamaan lainnya, seperti Hadis Nabi dan karya-karya tafsir, dipertanyakan dan dianggap tidak memadai. Barlas bahkan berpendapat bahwa seringkali dari sumber-sumber ini muncul pandangan misoginis yang bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an itu sendiri (Mubarak, 2021: 324). Dengan demikian, paradigma ini digunakan oleh para penafsir feminis sebagai penolakan terhadap interpretasi atau praktik agama yang patriarkis dan misoginis yang jelas-jelas berasal dari luar Al-Qur’an.
Barlas mengembangkan argumennya dengan menegaskan bahwa dalam Islam, yang merupakan agama monoteisme, tidak ada tempat bagi pengagungan terhadap entitas selain Tuhan. Oleh karena itu, menurutnya, tidak mungkin bagi Al-Qur’an untuk memuat perbedaan berdasarkan jenis kelamin guna memberikan keistimewaan kepada satu pihak sementara merendahkan yang lainnya.
Ia menegaskan bahwa konsep penggambaran Tuhan sebagai sosok laki-laki merupakan kesalahan dalam memahami ontologi Ilahi. Maka sebelum melakukan rekonstruksi terhadap penafsiran Al-Qur’an agar bersifat egaliter, langkah yang paling mendasar adalah merekonstruksi pemahaman terhadap ontologi Tuhan Yang Maha Esa. Menurutnya, pemahaman ini tidak hanya penting untuk memahami Tuhan yang Maha Tunggal, tetapi juga untuk memperoleh pengetahuan yang berorientasi pada pembebasan dan kesetaraan dalam memahami makhluk lain, terutama manusia.
Bagi Barlas (2005: 192), Surah al-Ikhlāṣ/112:4 memiliki kekuatan teologis yang sangat kuat dalam menegaskan bahwa tidak ada yang dapat dibandingkan atau disamakan dengan Tuhan, sehingga sangat mustahil bagi manusia untuk merujuk Tuhan dengan atribut jenis kelamin manusia. Pernyataan ini memperkuat pandangannya bahwa Islam secara tegas menolak upaya menggambarkan Tuhan dalam bentuk atau sifat manusia.
Sebagai gantinya, ia menekankan bahwa pemahaman yang benar tentang Tuhan haruslah membebaskan diri dari segala bentuk pembatasan atau keterbatasan manusia. Dengan demikian, Barlas menafsirkan bahwa pendekatan yang benar terhadap ontologi Tuhan akan memperkuat upaya untuk memahami manusia secara lebih egaliter, menghapuskan segala bentuk diskriminasi berdasarkan jenis kelamin, dan mempromosikan kesetaraan sebagai pesan universal Al-Qur’an sebagai kalam-Nya.
Desakralisasi Nabi sebagai sebuah Keniscayaan
Konsekuensi lainnya dari memahami ontologi Ilahi Yang Maha Esa ialah desakralisasi nabi, baik sebagai ayah secara simbolis maupun dalam makna yang sebenarnya. Menurut Barlas, datangnya Islam dengan agama yang monoteisme dalam historisitasnya dapat dipahami sebagai penghapusan terhadap Tuhan-Tuhan yang dianggap sebagai Ayah. Di saat yang sama, Al-Qur’an juga melakukan dekonstruksi terhadap konsep hak atau otoritas ayah melalui diri para nabi, yang mana hal ini merupakan sistem-sistem patriarkis yang berlaku sebelum Islam (Barlas, 2005: 206).
Penolakan kaum kafir terhadap ajaran yang dibawa oleh para nabi pada zamannya ialah karena kesetiaan pada kepercayaan atau agama nenek moyang mereka/agama para ayah (sebagaimana dalam Surah al-Maidah/5: 104 dan al-Anbiyā’/21: 52-56). Barlas memaknainya sebagai konflik yang terjadi antara monoteisme dan kesetiaan pada patriarkisme, yang berujung pada penolakan akan Tuhan Yang Maha Esa. Maka kehadiran para nabi juga bukan sebagai pengganti ayah simbolis bagi kaumnya, melainkan sebagai penekanan terhadap otoritas tunggal Tuhan.
Barlas memaparkan beberapa dalil dalam Al-Qur’an yang menyatakan penolakan akan otoritas ayah, baik Tuhan sebagai “ayah” maupun nabi, di antaranya: Surah Maryam/19: 42-43 dan al-Anbiyā’/21: 52-56 tentang penolakan Nabi Ibrahim pada tuhan ayahnya dan otoritas ayahnya; Surah al-Baqarah/2: 133 tentang pemuliaan terhadap keturunan Ibrahim karena mengikuti Tuhan “ayah” mereka, bukan mengikuti Ibrahim itu sendiri; Surah al-Ṣāffāt/37: 102-105 tentang desakralisasi diri Ibrahim sebagai ayah karena mendahulukan hak Tuhan untuk menyembelih anaknya, dan beberapa ayat lainnya yang mengisahkan Nabi Ibrahim.
Bagi Barlas, sejumlah kisah nabi Ibrahim di atas masih banyak disalahpahami oleh para mufasir klasik sebagai ayat yang menekankan akan otoritas ayah terhadap anak, yang mencerminkan sistem patriarkis. Ia menawarkan model pembacaan, dimana ayat tersebut mengisyaratkan akan ketundukan mutlak pada Tuhan di atas hubungan kekerabatan/keturunan.
Tidak hanya mengkaji kisah Nabi Ibrahim, Barlas juga menyinggung kesakralan yang kerap kali ditujukan pada Nabi Muhammad, yang semestinya tidak disakralkan sedemikian rupa sehingga melanggengkan patriarki. Nabi cukup dianggap sebagai teladan bagi laki-laki maupun perempuan, serta mengikuti ajarannya tanpa mengkultuskannya. Begitu juga dalam memperlakukan sunnah/hadisnya dalam kehidupan sehari-hari.
Barlas menekankan bahwa hadis Nabi bukanlah tandingan bagi Al-Qur’an. Maka melakukan penafsiran Al-Qur’an dengan hadis merupakan hal yang keliru dan tidak dibenarkan oleh Al-Qur’an dan ajaran Nabi sendiri. Menurutnya, apa yang seharusnya dilakukan ialah Al-Qur’an digunakan untuk memvalidasi keakuratan hadis tersebut (Barlas, 2005: 224).
Dengan demikian, tidak lagi terdapat penyakralan terhadap Nabi sebagai sosok laki-laki (baik perannya sebagai ayah maupun suami) yang memegang otoritas terhadap manusia lainnya yang sejatinya merupakan akar dari sistem patriarki.
Catatan Penulis
Terdapat beberapa poin menarik bagi penulis sendiri terkait konsep egaliter-tauhidik yang diusung oleh Asma Barlas beserta serangkaian argumentasinya.
Pertama, paradigma tauhidik yang disampaikan oleh Barlas sangat sejalan dengan konsep tauhid itu sendiri, yakni adanya dua entitas; Tuhan dan yang bukan Tuhan. Akan tetapi untuk mengatakan bahwa menyakralkan para nabi adalah hal yang keliru tampaknya juga perlu dipertimbangkan ulang.
Kendati disebutkan oleh Al-Qur’an sendiri bahwa para nabi merupakan manusia biasa dan hanya sebagai pembawa ajaran-Nya, termasuk Nabi Muhammad (Surah al-Kahf/18: 110), namun hal ini hanya kesamaan dalam aspek-aspek naluriyah seperti kebutuhan makan-minum, dorongan seksual, dan sebagainya. Sementara dalam aspek yang paling penting, yaitu akhlak, level para nabi tentu sangat jauh berbeda dari manusia biasa karena merupakan manusia-manusia pilihan Tuhan.
Misalnya sebagaimana Al-Qur’an mengabadikan sifat Rasulullah SAW dalam Surah al-Qalam/68: 4: “Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas akhlak yang agung”. Menurut Quraish Shihab, penyematan kata “agung” bila disampaikan oleh orang yang lebih kecil belum tentu bisa diterima oleh orang dewasa (yang lebih besar). Sementara apabila yang menyematkan pujian “agung” tersebut oleh Yang Maha Agung, lantas bagaimana kita sebagai manusia biasa dapat memungkirinya (Shihab, 2021: 244).
Kedua, Barlas tidak memberikan definisi yang jelas terkait apa itu sesuatu yang “sakral” yang ia maksud. Akan tetapi dari pembacaan terhadap karyanya dapat dipahami bahwa penyakralan yang dimaksudkan kepada para nabi ialah mengagungkan nabi sebagai sosok laki-laki dengan berbagai perannya, baik sebagai ayah maupun suami, sehingga secara tidak langsung melegitimasi otoritas laki-laki terhadap perempuan.
Barlas menyadari bahwa Nabi merupakan teladan bagi semua manusia baik laki-laki maupun perempuan sebagaimana yang ia ungkapkan dalam karyanya (Barlas, 2005: 222), akan tetapi ia sendiri juga tampak kebingungan ketika menjelaskan bagaimana cara untuk mengikuti Nabi tanpa mengkultuskan (memuliakannya). Ia hanya menjelaskannya dengan mengutip Surah al-Nisā/4: 80: “barangsiapa yang mengikuti Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah”, yang sejatinya ayat ini justru lebih tampak mematahkan argumennya sendiri.
Lagi-lagi karena konsep egaliter yang diusungnya, penekanan Barlas bahwa taat kepada Rasul semata-mata adalah bentuk ketaatan pada Allah, bukan kepada diri Rasul itu sendiri, membuatnya berpikir terlalu jauh sehingga menyatakan bahwa menyakralkan dan memuliakan Nabi/Rasul termasuk tindakan syirik. Bahkan secara umum, manusia merupakan sesuatu yang kudus karena ditiupkan di dalamnya ruh-Nya sebagaimana yang termaktub dalam Surah al-Hijr/15: 29 (Nawawi, 2024).
Ketiga, pernyataan Barlas bahwa penolakan keberimanan kaum terdahulu terhadap ajaran yang dibawa oleh para nabi merupakan konflik antara kesetiaan pada sistem patriarkis dan agama monoteisme. Ia melandaskan argumentasinya pada kata “ابآءنا” yang kerap diucapkan oleh kaum musyrik untuk merujuk pada agama/kepercayaan yang mereka anut ketika diajak beriman.
Barlas memaknai kata tersebut sebagai “bapak-bapak kami”, yang diartikan sebagai kesetiaan kaum musyrik pada ajaran Tuhan dari bapak-bapak mereka. Hal ini disebut sebagai bentuk dari sistem patriarkis yang mengakar kala itu, sehingga patriarki menghalangi mereka untuk beriman.
Akan tetapi jika ditelusuri pemaknaan kosa kata “ابآءنا” yang mana merupakan bentuk jamak dari kata “أب”, terdapat makna lain yang tidak hanya berarti “bapak” secara spesifik (berdasarkan jenis kelamin). Kata tersebut bisa bermakna ancestor (leluhur) dan forefather nenek moyang) (Wehr, 1976, 2).
Misalnya dalam penafsiran Quraish Shihab (2021: 270), kata tersebut diartikan sebagai “nenek moyang”. Keengganan kaum terdahulu yang menolak beriman disebabkan karena kebodohan/ketidaktahuan mereka, sehingga mereka hanya mengikuti kepada ajaran yang telah dibawa oleh nenek moyang atau orang tua mereka, yang sebenarnya juga tidak mempunyai pengetahuan (Surah al-Maidah/5: 104).
Ayat ini juga mengisyaratkan akan fanatisme kaum Jahiliyah terhadap tradisi dan budaya yang telah berlaku sebelumnya, termasuk penyembahan berhala yang didapatkan dari nenek moyang mereka. Maka ketika datang ajaran monoteisme layaknya Islam, menjadi sangat wajar apabila ajaran ini sangat ditentang dan sulit bagi sebagain besar masyarakat untuk langsung beriman, karena merupakan hal yang dianggap asing dari apa yang telah mereka pegang.
Oleh karena fanatisme ini juga, Al-Qur’an memiliki format interaksi terhadap tradisi-tradisi lainnya dalam masyarakat Jahiliyah secara berbeda. Ada yang dihapuskan secara bertahap dan ada pula yang dilestarikan dengan berbagai modifikasi sesuai dengan prinsip Islam. Dengan demikian, tampaknya terlalu terburu-buru untuk mengatakan bahwa ketidak-berimanan kaum terdahulu diakibatkan karena kesetiaan mereka pada bapak-bapak mereka (sebagai implikasi dari mempertahankan warisan sistem patriarkis).
Bahan Bacaan
Barlas, Asma. Cara Qur’an Membebaskan Perempuan. Terj. R. Cecep Lukman Yasin, Believing Women in Islam. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2005.
Hidayatullah, Aysha A. Feminist Edges of the Qur’an. New York: Oxford University Press, 2014.
Mubarak, Hadia. “Women’s Contemporary Readings of the Qur’an”. London & New York: Routledge, 2022.
Nawawi, Abdul Muid. “Al-Qur’an dan Konsep Alam Kudus sebagai Upaya Pelestarian Lingkungan”, dalam https://ibihtafsir.id/2024/03/26/al-quran-dan-konsep-alam-kudus-sebagai-upaya-pelestarian-lingkungan/.
Shihab, Quraish. Tafsīr al-Mishbāẖ: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an. Tangerang: Penerbit Lentera Hati, 2001.
Wehr, Hans. A Dictionary of Modern Written Arabic. New York: Spoken Language Services, Inc, 1976.