Isu kesetaraan gender telah menjadi perbincangan yang hangat dalam beberapa dekade terakhir, merangsang berbagai kalangan intelektual untuk meninjau kembali ajaran Islam dalam konteks relasi gender. Berbagai literatur dan kajian telah berusaha menafsirkan teks Al-Qur’an untuk menemukan pijakan dalam isu kesetaraan gender. Tidak jarang, Al-Qur’an dijadikan sebagai alat legitimasi dalam mendukung atau menentang konsep tersebut, sehingga dalam ranah akademis, keragaman pandangan masih terus menarik perdebatan yang cukup intens.
Di satu sisi, ada kelompok yang menafsirkan Al-Qur’an dengan memperkuat gagasan kesetaraan gender dalam Islam. Mereka menyoroti nilai-nilai universal dalam ajaran Islam, bahwa semua teks Al-Qur’an membawa misi egalitarian (kesetaraan). Mereka antara lain: Nana Asma’u, Qasim Amin, Huda Sya’rawi, Rokеya Sakhawat Hossain, Fatima Mеrnissi, Amina Wadud, Asma Barlas, Laila Ahmed, Kecia Ali dan seterusnya.
Namun, di sisi lain, terdapat pandangan yang menekankan perbedaan peran dan fungsi laki-laki dan perempuan dalam Islam. Mereka antara lain Abu A’la Al-Maududi, Musthafa Al-Siba’i, atau dalam konteks Indonesia adalah Ratna Megawangi yang secara tegas membedakan peran laki-laki dan perempuan karena faktor perbedaan biologis yang menurutnya akan berimplikasi pada perbedaan paradigma, sosial, budaya dan sebagainya.
Kusmana dalam karyanya yang berjudul “Kodrat Perempuan dan Al-Qur’an Dalam Konteks Indonesia Modern: Isyarat dan Persepsi” mengangkat permasalahan kompleks terkait interpretasi Al-Qur’an dalam perspektif feminis. Di dalam tulisannya, ia mengamati fenomena di mana kaum feminis sering kali merujuk pada Al-Qur’an sebagai sumber normatif yang memperkuat argumen mereka akan egalitarianisme dalam pesan inti Al-Qur’an, termasuk terhadap ayat-ayat yang memiliki afinitas patriarkis (Kusmana, Kodrat Perempuan dan Al-Qur’an dalam Konteks Indonesia Modern: Isyarat dan Persepsi, hal. 23).
Kusmana dalam pandangannya tersebut menegaskan bahwa penggunaan Al-Qur’an sebagai sumber normatif oleh kaum feminis sering kali menghasilkan suatu kesan bahwa terjadi upaya selektif dalam menafsirkan teks-teks agama guna mendukung pandangan-pandangan yang bersifat egaliter terhadap gender. Dalam konteks ini, terdapat kecenderungan untuk memilih data yang sesuai dengan gagasan-gagasan yang telah terbentuk, namun mengorbankan terhadap permasalahan aktual yang dihadapi oleh masyarakat.
Konflik antara perspektif ini menghasilkan keragaman pemahaman dan interpretasi, menciptakan atmosfer diskusi yang dinamis dan kompleks, serta penelitian-penelitian lebih lanjut dalam upaya memahami posisi gender dalam Islam. Tantangan terbesar muncul ketika upaya untuk menyelaraskan nilai-nilai ajaran Islam dengan konteks sosial dan budaya yang terus berkembang, sembari tetap mempertahankan integritas ajaran agama.
Berangkat dari problematika tersebut, saya sebagai peneliti tertarik untuk melihat lebih jauh bagaimana dialektika Al-Qur’an dan budaya patriarki melalui sudut pandang yang menurut hemat peneliti akan mampu menjembatani problematika di atas secara inklusif dan objektif, yaitu dengan pendekatan historis humanistik Muhammad Thalbi.
Historis Humanistik (Qiraah Tarikhiyyah Unasiyah) Muhammad Thalbi sebagai Landasan Teoritis
Pembacaan nash (qiraat al-nushush al-diniyyah) secara historis humanistik (tarikhiyyah unasiyah) sebagaimana yang dirumuskan oleh Muhammad Thalbi dalam karyanya “’Iyâlullâh: Afkârun Jadîdah fî ‘Alâqat al-Muslim bi Nafsihî wa bi al-Ȃkharîn” menjadi sangat penting untuk menjembatani problematika di atas. Thalbi meniscayakan pembacaan dua konteks sejarahyaitu pra-pewahyuan (ma qabla al-wahyi) dan pasca pewahyuan (ma ba’da al-Qur’an). Dua konteks ini bagi Thalbi penting untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif dan objektif, serta untuk melacak sejauh mana respons Al-Qur’an atas budaya patriarki dan bagaimana transformasi sosial yang dikehendaki (Muhammad Thalbi, ‘Iyâalullâh…, hal. 143.)
Sementaraqirâah unâsiyyah yang diperkenalkan oleh Thalbi merupakan sebuah metode interpretasi Al-Qur’an yang bertujuan untuk menggali makna dan tujuan di balik teks Al-Qur’an, melebihi pemahaman literal atau harfiahnya. , kaThalbi menekankan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an selalu mengarah pada nilai-nilai humanisme, yang berarti bahwa pesan-pesan yang terkandung di dalamnya secara fundamental berkaitan dengan kemaslahatan umat manusia.
Dalam upaya pengumpulan data, pеrtama peneliti mеnеlusuri ayat-ayat Al-Qur’an yang bеrkaitan dеngan rеlasi gеndеr kemudian membagi kepada beberapa tema pembahasan, selanjutnya melakukan pеnеlusuran tеrkait konteks sеjarah baik pra-pеwahyuan maupun pasca pеwahyuan yang di antaranya merujuk kepada Al-Qur’an, tafsir, Al-Mufasshal fî Târîkh al-‘Arab Qabla al-Islâm karya Jawwad Ali, Al-Mar’atu fi al-Yahûdiiyyah wa al-Masîẖiyyah wa al-Islâm karya Zaki Ali Al-Sayyid Abu Ghadhah, Al-Tahrîr Al-Islâmi li al-Mar’ah karya Muhammad Imarah dan beberapa karya lainnya sebagai data historis itu sendiri. Data historis ini kemudian dianalisis secara deskriptif dan eksplanatoris dengan menggunakan perspektif humanistik Muhammad Thalbi.
Budaya Patriarki (Akar Sejarah, Respons dan Transformasi Sosial yang Diinisiasi Al-Qur’an)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa periode pra-pewahyuan menjadi tahap penting dalam pemahaman tantangan yang dihadapi oleh perempuan dalam usaha mereka mencapai keadilan dalam kehidupan sosial. Dalam konteks ini, perempuan sering kali menghadapi berbagai hambatan yang signifikan, seperti keterpinggiran sosial, alienasi, dan berbagai bentuk diskriminasi yang begitu masif.
Pentingnya memahami budaya patriarki pra-pewahyuan adalah sebagai langkah awal yang krusial dalam menjelajahi perubahan yang terjadi pasca pewahyuan Al-Qur’an (ma ba’da al-wahyi). Tradisi-tradisi pra-Islam dari berbagai peradaban, seperti Mesopotamia, India Kuno, Mesir Kuno, Yunani, dan Romawi sebagai faktor yang berperan signifikan dalam membentuk kerangka konseptual yang mengarahkan perilaku individu serta struktur sosial mereka. Selain itu, peran ajaran agama pra-Islam juga tidak dapat diabaikan dalam membentuk pandangan sosial, norma, dan nilai-nilai yang berkaitan dengan gender. (Ramlani Lina Sinaulan, The Implementation of Nature Law on Human Rights Law of Women Economic Workers, hal. 9-14).
Selanjutnya, dalam konteks India kuno, pandangan terhadap perempuan dan perannya dalam masyarakat tercermin dalam hukum Manu, yang juga dikenal sebagai Manusmriti. Asghar Ali Engineer dalam “Tafsir Perempuan” menjelaskan bahwa Hukum Manu merupakan sebuah teks hukum Hindu kuno yang mengatur berbagai aspek kehidupan, termasuk hukum pernikahan, keluarga, dan sosial. Dalam hukum Manu, perempuan tidak memiliki hak untuk mandiri dari ayah, suami, atau anak laki-lakinya. Bahkan, ketika semua laki-laki yang terkait dengan seorang perempuan meninggal, hukum Manu mengatur bahwa dia harus “dimiliki” oleh seorang laki-laki dari keluarga suaminya yang masih hidup (Asghar Ali Engineer, Tafsir Perempuan: Wacana Perjumpaan Al-Qur’an, Perempuan, dan Budaya Kontemporer, hal. 80).
Benjamin H. Dunning dalam “The Oxford Handbook of New Testament, Gender, and Sexuality” menyebutkan bahwa beberapa sekte Yahudi Tradisional memandang perempuan memiliki posisi yang lebih rendah, bahkan dianggap sebagai pelayan bagi laki-laki dan keluarga. Sebagai contoh, dalam beberapa kasus, seorang ayah memiliki otoritas mutlak untuk menjual atau memberikan perempuan sebagai hadiah. Pandangan ini mencerminkan hierarki gender yang kuat dalam masyarakat Yahudi tradisional, di mana perempuan seringkali dipersepsikan sebagai subordinate dan subjek dari kontrol laki-laki dalam ranah keputusan dan hak-haknya. (Benjamin H. Dunning, The Oxford Handbook of New Testament, Gender, and Sexuality, Oxford, hal. 45).
Dalam konteks masyarakat Arab pra Islam atau yang dikenal dengan sebutan “jahiliyyah,” terdapat berbagai praktik sosial dan budaya yang terkesan kontroversial dengan nilai-nilai kemanusiaan, terutama dalam kaitannya dengan perempuan dan anak perempuan. Pada abad ke-7 Masehi, ketika Al-Qur’an pertama kali diwahyukan, perbudakan menjadi bagian integral dari kehidupan sosial masyarakat di seluruh Jazirah Arabia. Namun, menariknya, pada masa itu tidak ada pergerakan atau upaya yang serius untuk mengakhiri praktik perbudakan tersebut. (Valentina A. Grasso, Slavery in First Millennium Arabia: Epigraphy and the Qurʾan, hal. 65-89).
Penyebab utama perempuan pra-Islam termarginalisasi adalah keterbatasan akses mereka terhadap finansial, bahkan dirinya dipersepsikan sebagai harta benda yang dapat dimiliki dan dinikmati oleh laki-laki sebagai kelompok yang memegang otoritas tinggi. Sebagai respons atas realitas tersebut, Al-Qur’an melakukan transformasi sosial yang signifikan terhadap status dan hak-hak perempuan dalam berbagai aspek kehidupan.
Al-Qur’an memperkenalkan konsep hak waris bagi perempuan dengan proporsi yang adil, serta menegaskan bahwa perempuan memiliki kemampuan untuk menjadi saksi dalam proses hukum dan peradilan. Dalam hubungan pernikahan, Al-Qur’an mengatur hubungan antara suami dan istri dalam prinsip ketersalingan. Al-Qur’an juga memberikan legitimasi bahwa perempuan memiliki potensi untuk menjadi pemimpin.
Meskipun Al-Qur’an menegaskan beberapa perbedaan dalam hak dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan, seperti perbedaan dalam pembagian warisan 2:1 antara anak laki-laki dan perempuan, perbedaan dalam kesaksian hukum antara perempuan dan laki-laki, serta kewajiban atas ketaatan perempuan terhadap suami, namun Al-Qur’an menggarisbawahi nilai-nilai humanisme yang ingin dicapai melalui aturan-aturan tersebut.
Misalnya, dalam kasus pembagian warisan, Al-Qur’an melimpahkan tanggung jawab laki-laki untuk menyokong keluarga mereka, sementara juga memberikan perlindungan terhadap hak-hak perempuan dengan memastikan bahwa mereka menerima bagian yang adil. Demikian pula, dalam hal kesaksian hukum, Al-Qur’an juga dalam rangka melindungi saksi-saksi perempuan yang saat itu belum banyak terlibat dalam urusan finansial dan bisnis. Selain itu, kewajiban berhijab bagi perempuan yang diperintahkan oleh Al-Qur’an dapat dilihat sebagai upaya untuk melindungi martabat dan kehormatan perempuan dalam masyarakat, bukan sekadar memaksakan kehendak.
Dalam perspektif historis humanistik, ketentuan-ketentuan tersebut dapat dipahami sebagai usaha untuk mencapai nilai-nilai humanisme yang mencakup keseimbangan, keadilan, dan perlindungan terhadap martabat manusia, yang menjadi inti ajaran Al-Qur’an. Secara keseluruhan penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat tiga orientasi Al-Qur’an dalam konteks budaya patriarki, yaitu penolakan sepenuhnya terhadap budaya patriarki (rejection/al-radd), reduksi budaya patriarki yang berlebihan (reduction/ al-taqlîl), dan representasi budaya patriarki yang tidak merugikan salah satu pihak (reception/ tamtsîl).
Referensi
Engineer, Asghar Ali. Tafsir Perempuan: Wacana Perjumpaan Al-Qur’an, Perempuan, dan Budaya Kontemporer, diterjemahkan oleh Ahmad Affandi & Muh. Ihsan dari judul The Qur’an, Women, and Modern Society, Yogyakarta: Diva Press, 2022.
Grasso, Valentina A., “Slavery in First Millennium Arabia: Epigraphy and the Qurʾnn,” Millennium, Vol. 20 No. 1 Tahun 2023.
Kusmana, “Kodrat Perempuan dan Al-Qur’an dalam Konteks Indonesia Modern: Isyarat dan Persepsi,” dalam Musawa: Jurnal Studi Gender dan Islam, Vol. 19 No. 1 Tahun 2020.
Sinaulan, Ramlani Lina. “The Implementation of Nature Law on Human Rights Law of Women Economic Workers,” Perfecto: Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 1 No. 1 Tahun 2023.
Thalbi, Muhammad. ‘Iyâlullâh: Afkârun Jadîdah fî ‘Alâqat al-Muslim bi Nafsihî wa bi al-Ȃkharîn, Tunis: Dâr Sarâs li al-Nashr, 1992.